Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terdengar lagi. Padahal Algo baru saja pergi dari rumahnya. Hal itu membuatnya kesal sendiri.
"Astaga, ada tamu lagi."
Clara yang baru selesai mencuci muka langsung pergi ke pintu utama. Sebelum membukakan pintu, ia mengintip dari jendela siapa yang datang. Karena ia tak mau sampai kecolongan seperti tadi.
"Oh, ternyata suami aku. Huh ... akhirnya bisa bernapas lega," ujarnya bermonolog.
Krekkk ....
"Welcome my cute husband."
Clara menyambut suaminya dengan wajah berseri-seri. Rasanya ia bahagia bisa bertemu dengan Dev. Padahal setiap hari mereka bertemu dalam satu atap.
Namun, tetap saja. Rasanya selalu rindu saat ia tak kunjung memberi kabar.
"Kenapa lama banget bukain pintunya? Lagi semedi di dalam?" tanya Dev.
Ia langsung nyelonong masuk tanpa mengatakan pesan rindu kepada istrinya. Sangat tidak mencerminkan dirinya.
"Aku tadi di kamar mandi, Dev. Jadi ya butuh waktu untuk berjalan sampai sini," balas Clara.
"Oh iya, pasti kamu laper banget, kan? Ayuk makan. Aku udah nyiapin makanan kesukaan kamu," ajak Clara.
"Nanti aja, Ra. Aku masih males makan. Mood hancur banget setelah ngampus," ucap Devaro.
"Mood Dev hancur? Karena apa?" tanya Clara dalam hati
Ia merasa bersalah pada suaminya. Karena sudah menerima tamu laki-laki masuk ke rumah saat ia tidak di rumah. Ia takut jika mood Dev akan semakin hancur saat tahu akan hal itu.
"Kamu nggak mau nanya kenapa aku bisa nggak mood begini? Kok kelihatannya kamu berbeda. Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku?" tanya Dev penasaran.
"Ng-gak kok. A-aku nggak pernah nyembuyiin apapun dari kamu," balas Clara terbata-bata.
Dev menatap istrinya penuh selidik. Karena eskpresi Clara tidak bisa dipercaya begitu saja. Ia bukan laki-laki bodoh yang hanya akan iya-iya saja saat tidak ada yang tidak beres.
"Yakin kamu nggak ada apa-apa? Atau ... memang ada apa-apa selama aku nggak di rumah?" tanyanya lagi.
Clara terdiam kaku. Ingin rasanya ia berkata jujur jika Algo datang kemari. Tapi, ia takut akan membuat Devaro marah.
"Nggak ada, Dev. Kenapa nggak percaya banget, sih?" kesalnya.
"Habisnya sikap kamu mencurigakan, Ra. Aku kenal kamu udah satu bulan. Mana mungkin aku nggak tahu kapan kamu berkata jujur dan kapan kamu berbohong."
Devaro mendekatkan wajahnya pada gadisnya. Kontak mata yang begitu dekat itu, membuat jantung Clara berdegup kencang.
Dengan cepat, ia langsung menoleh ke arah lain dan mundur selangkah.
"Kenapa kamu ngehindar? Itu artinya kamu memang nyembuyiin sesuatu. Jika tidak, kenapa kamu terlihat takut saat jarak kita dekat?"
"Dan ya, kamu tahu sendiri kalau aku paling benci dengan kebohongan. Aku harap kamu nggak melakukan sesuatu yang akan membuat hubungan kita renggang," ujar Devaro.
Ia tersenyum kecut. Ia memang tidak ingin memaksa Clara untuk bersuara. Tapi ... ia tidak ingin jika kebohongan terus menyelimuti rumah tangganya.
Karena hubungan yang penuh kebohongan, hanya akan mendatangkan perpisahan yang tak terbantahkan.
"Maafin aku, Dev. Entah mengapa aku takut untuk speak up. Aku takut kamu marah kalau aku berkata jujur. Aku nggak mau bikin kamu sedih dan marah. Aku nggak kuat marahan sama kamu," batinnya.
Dev langsung pergi ke atas. Ia kecewa dengan sikap Clara yang tak mau terus terang padanya. Padahal jika gadis itu berkata jujur itu jauh lebih baik meskipun nantinya menyakitkan.
"Dev, tunggu!"
Ia sama sekali tak menghiraukan perkataan Clara. Karena ia terlanjur kecewa dan merasa tidak dianggap sebagai suami.
"Yaampun, Clara! Kenapa kamu bisa bodoh banget, sih? Harusnya tadi kamu ngomong kalau Algo meminta balikan. Tapi kenapa malah begini? Hih, kenapa ngomong jujur susah banget, sih?" gerutunya.
Ia memukul-mukul kepalanya sendiri. Karena begitu bodoh mengatasi situasi. Padahal Devaro tak pernah marah jika ia memang berkata jujur.
****
Karena jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, Clara langsung bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Karena semenjak ia dirawat di rumah sakit, ia memutuskan untuk kuliah sore.
Selain karena faktor kesehatan, hal ini ia lakukan untuk menghindari bertemu dengan seseorang yang membuatnya trauma. Bahkan ... trauma itu belum menghilang hingga saat ini.
"Dev, aku berangkat ke kampus dulu ya. Kamu baik-baik di rumah. Kalau mau makan tinggal ngambil aja. Aku udah masak banyak buat kamu. Dan ya ... jangan keluar rumah kalau nggak penting," pesan Clara.
"Ya," balas Dev acuh.
"Ya Allah, Dev. Kamu masih marah sama aku? Kenapa kamu sekarang jadi kayak anak kecil, sih?"
"Ya," jawab Devaro dengan jawaban yang sama.
"Dev, please! Aku nggak mau kamu kayak gini. Aku tahu aku salah. Aku benar-benar minta maaf untuk itu. Tapi bukan berarti aku nggak mau kamu tahu. Aku hanya tidak ingin kamu marah," jelas Clara.
"Ish, kalau mau berangkat ya berangkat aja, Ra. Nggak usah ceramah. Ini bukan di masjid," ketus Dev.
Clara hanya bisa mengelus dada atas sikap Devaro yang dingin. Padahal ... ini bukan sifat Dev. Ia adalah suami yang penyayang dan friendly.
"Yaudah kalau begitu aku pamit dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Clara mencium punggung telapak tangan suaminya sebagai bentuk baktinya sebagai istri. Namun, Dev hanya acuh. Ia sama sekali tidak menatap istrinya sedikit pun.
"Nggak papa, Clara. Mungkin nanti Dev akan bersikap manis lagi. Anggap aja ini sebagai cobaan dalam rumah tangga," ujar Clara dalam hati.
Ia menatap suaminya sekilas, kemudian langsung pergi. Setelah punggung gadis itu menjauh, Devaro langsung menatapnya.
"Jujur saja aku tersiksa dengan sikap dinginku ke kamu. Tapi aku nggak mau kalau kamu nggak terbuka sama aku. Karena aku takut kehilangan kamu, Ra," lirih Devaro.
Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia menyesal telah bersikap acuh pada Clara. Padahal dalam hatinya, ia ingin selalu bersikap manis seperti biasanya.
"Nggak perlu merasa bersalah, Dev. Kamu laki-laki, harus punya pendirian," ujarnya bermonolog.
Ia pun mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
["Halo, Dev!"] sapa seseorang dari sambungan telepon.
["Gue mau lu awasin Clara saat di kampus. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin gue."]
Ia langsung memutus sambungan telepon sepihak. Dengan cara ini, ia lebih tenang. Karena ia takut jika terjadi sesuatu pada istrinya.
****
Setelah sampai di kampus, pemandangan pertama yang Clara lihat sangat tidak membuatnya bersemangat.
Ia merasa benci dan trauma setiap kali melihat wajah sosok laki-laki tak punya moral seperti Arya.
"Apa kabar, Clara Marshita Anjelika? Masih ingat dengan saya?" tanya Arya dengan senyum yang miring.
Tangan Clara mengepal sempurna. Ia merasa jijik sekaligus ilfeel dengan wajah orang yang sudah merenggut keperawanannya secara paksa.
"Kamu ternyata masih sama, Sayang. Cantik dan menggoda," goda Arya.
Tatapannya yang menjijikkan membuat Clara malu mengakuinya sebagai laki-laki. Karena ia lebih pantas disebut binatang buas.
Tanpa menjawab sepatah kata, Clara langsung pergi meninggalkan dosen mesumnya itu. Untung saja sekarang ia tidak diajar olehnya. Jika tidak ... ia akan merasa jijik sepanjang waktu.
"Lepasin!" bentak Clara.
Ternyata Arya masih belum puas dengan apa yang sudah ia perbuat pada Clara.
"Bagaimana kalau kita melakukannya sekali lagi? Tapi kali ini tidak di gudang, melainkan di hotel bintang lima," tawar Arya penuh gairah.
Clara langsung menendang dosennya dengan keras. Akhirnya ia terlepas dari cengkraman dosen gila itu.
"Bapak jangan mimpi! Karena saya bukan perempuan gampangan seperti itu!" tegas Clara.
"Kenapa kamu ini munafik, Sayang? Bukankah kamu juga suka bermain dengan saya?"
Arya mengedipkan sebelah matanya. Lantas ... Clara langsung memberikan tamparan yang amat keras.
Splassssh!
"Bapak denger baik-baik! Jangan pernah bersikap kurang ajar lagi sama saya! Karena jika Bapak tetap mengganggu saya, saya tidak akan segan-segan memenjarakan Bapak," ancam Clara tak main-main.
Plok! Plok! Plok!
Arya malah tersenyum miring sembari bertepuk tangan. Ia terlihat menganggap remeh ultimatum yang gadis itu katakan.
"Kamu ini selain munafik juga lucu ya. Apakah kamu pikir semudah itu bisa mengirim saya ke penjara? No! Justru kamu sendiri yang akan tertangkap. Karena image kamu sebagai mahasiswi sudah ternoda. Kamu dianggap sebagai pelacur karena sudah menggoda saya. Hahahaha!"
Clara meneteskan air mata. Ia merasa lemah jika ini menyangkut harga dirinya sebagai seorang perempuan.
Tapi apa yang dosen gila itu katakan memang benar. Meskipun ia adalah korban, tapi semua orang menganggapnya sebagai pelaku. Padahal ia sama sekali tidak pernah punya niat untuk dilecehkan.
Seseorang di seberang sana sedang memperhatikan Arya dan Clara. Ya ... ia adalah Denis, mata-mata Devaro sejak kuliah. Karena Dev bukan orang sembarangan.
["Halo, Dev. Istri lu kayaknya digangguin lagi sama tuh dosen. Clara sampai nangis,"] lapor Denis dari sambungan telepon.
Dari sana, Dev mengepalkan tangannya dan memukul tembok dengan keras.
"Dasar laki-laki biadab! Tunggu pembalasan singa yang marah ini!"