Jiwa Psikopat

Devaro mulai menyusun strategi untuk memberikan Arya sebuah pelajaran yang tidak akan pernah ia lupakan. Ia tidak terima dengan perlakuan kurang ajar dosen biadab itu terhadap istrinya.

"Menurut lu pelajaran apa yang cocok untuk hewan buas seperti Arya?" tanya Devaro penuh penekanan.

Ia duduk sembari mengetukkan jari-jarinya. Otaknya terus berpikir dan menyusun rencana untuk balas dendam.

"Gue nggak tahu sih, Dev. Tapi kayaknya lu harus memberikan pelajaran yang tidak akan pernah binatang itu lupakan. Karena jika binatang seperti dia terus dibiarkan, akan merusak peradaban dunia ke depannya," jawab Denis.

"Kayaknya rencana ini bakalan berhasil," batinnya.

Ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Matanya mengisyaratkan rasa balas dendam yang begitu bergejolak.

"Lu mau ke mana, Dev?" tanya Denis.

Ia mengerutkan keningnya tak mengerti dengan perubahan raut wajah Devaro yang begitu menakutkan seperti mafia.

"Jangan bilang lu mau nyamperin tuh dosen," tebaknya.

Devaro tersenyum miring dengan tatapan remeh.

"Gue emang mau nyamperin tuh dosen gila. Karena pemain yang sesungguhnya tidak pernah bermain dari belakang. Kalau gue nusuk dari belakang, sama aja dong gue sama dia," jelas Devaro.

"Masalahnya tuh dosen bukan orang sembarangan, Dev. Dia punya banyak orang yang selalu ngelindungi dia dari belakang. Lu ngerti maksud gue, kan?"

"Gue tahu. Tapi kalau gue tetap diam, Clara akan terus diinjak-injak seperti keset. Istri gue nggak pantes dapet perlakuan seperti itu," ujar Devaro.

Ia pun langsung pergi menuju kampus untuk memberikan Arya pelajaran dengan tangannya sendiri.

Ia bukanlah laki-laki lemah yang akan tunduk dengan dosennya jika mendapat perlakuan yang kurang ajar. Karena jika dibiarkan, orang seperti itu akan terus mencari korban untuk menjadi pemuas hawa nafsunya.

"Tunggu, Dev! Jangan gegabah," peringat Denis.

Dev pun berbalik dan menatap Denis penuh tanda tanya. Karena ia tidak suka dengan kata tidak.

"Please, pikirkan baik-baik. Kalau lu gegabah, yang ada Clara akan makin disiksa sama tuh dosen gila. Lu tahu kan kalau dia orang yang nekat. Dia juga punya banyak antek-antek yang berbahaya," ujar Denis.

"Maksud lu?" tanyanya penasaran.

Denis membuang napas gusar. Ia merasa kesal dengan sikap Devaro yang selalu gegabah. Padahal ia adalah laki-laki yang berpendidikan dan banyak pengalaman.

"Apa perlu gue jelasin secara detail? Kan lu tahu sendiri kalau Arya adalah seorang psikopat. Apa lu lupa kalau dia bisa saja membahayakan nyawa Clara kalau lu bersikap seperti ini?" jelasnya.

"Lu harus bersikap cerdik jika berhadapan dengan orang seperti itu. Karena lu nggak mungkin selalu ada di samping Clara selama dua puluh empat jam," sambungnya.

"Terus gue harus gimana, Den?" tanya Devaro.

Ia berdecak kesal. Karena hasratnya untuk memberikan Arya pelajaran kian menggebu. Jiwa psikopatnya seakan meningkat hingga seratus delapan puluh derajat. Ia ingin segera menerkam laki-laki itu dengan tangannya sendiri.

"Seperti yang pernah gue bilang ke elu. Cari tahu kelemahan Arya agar kita bisa menghabisinya secara perlahan. Karena menghabisi dengan tahapan akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan sekali hantaman," saran Denis. Ia memiringkan senyumnya.

"Jadi, gue harus menunggu lagi hingga gue tahu kelemahan tuh dosen biadab? Yang benar aja. Tangan gue udah gatel banget pengen mutilasi orang. Kayaknya bakalan seru kalau korbannya seperti Arya," sahut Dev.

Ia membayangkan menghajar Arya hingga laki-laki itu tak sanggup untuk melawan lagi. Ia ingin laki-laki tak bermoral itu berlutut di hadapannya semari berkata menyerah.

"Semua butuh proses dan persiapan yang matang, Dev. Sebagai teman dan mata-mata buat lu, gue mau memberikan saran. Karena ini juga demi kebaikan lu sama Clara. Lu nggak mau kan kalau istri lu sampai celaka karena keegoisan lu? Pikirkan ini baik-baik sebelum melangkah lebih jauh."

Denis menepuk bahu Devaro ala laki-laki gentle. Kemudian ia beranjak untuk melanjutkan pekerjaannya. Ya ... ia adalah seorang preman yang bertugas untuk menjadi bodyguard beberapa orang penting.

Ia kenal dengan Devaro saat acara perkumpulan anak geng motor. Meskipun Devaro sudah vakum, ia masih sering ikut ngumpul bersama teman-teman lamanya.

"Apakah gue harus ikutin saran Denis?" tanyanya dalam hati.

****

Clara menatap langit sore yang begitu indah. Namun, tak seindah takdir hidupnya yang terus mengalami gejolak.

"Ya Allah, kenapa aku harus bertemu lagi dengan Pak Arya? Rasa trauma itu belum hilang, tapi ... kenapa dia muncul lagi dan membuat aku merasa terancam?"

Ia meneteskan air mata. Make up-nya sampai luntur karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.

Meskipun sudah tidak diajar oleh Arya, ia tetap merasa takut jika kejadian di masa lalu akan terulang kembali. Ia takut jika Arya akan memaksanya untuk menuruti hawa nafsunya.

"Clara!" panggil seseorang dengan suara yang menggelegar.

Clara pun langsung menengok ke sumber suara dan mendapati sahabatnya sedang melambaikan tangan ke arahnya. Ia pun segera menghapus air matanya dan melambaikan tangan ke arah Caca.

Caca pun datang menghampirinya.

"Ngapain kamu di sini, Ra? Bukannya jam segini kamu ada mata kuliah ya?" tanya Caca.

"Aku nggak papa, kok. Hanya cari angin saja. Bosan di kelas terus," jawabnya sambil tersenyum kecut.

"Yakin kamu nggak papa? Tapi itu apa?" tunjuk Caca pada mata Clara yang berkaca-kaca.

"Kamu nggak bisa bohongin aku, Ra. Aku tahu kalau kamu habis menangis, kan? Kenapa, Ra? Apakah suami kamu melakukan kekerasan dalam rumah tangga? Atau ... dia udah selingkuh dari kamu? Ngomong, Ra! Biar aku beri dia pelajaran kalau sampai berani nyakitin sahabat aku yang paling cantik ini."

Sikap Caca yang penuh simpati hanyalah untuk menutupi keburukannya. Semua itu palsu. Ia sebenarnya tidak tulus berteman dengan Clara.

Karena dialah dalang dibalik kejadian menyedihkan yang dialami Clara hingga membuatnya ingin mengakhiri hidupnya.

"Devaro itu sangat baik dan setia, Ca. Dia nggak pernah bersikap kasar dan selingkuh dari aku. Jadi, kamu nggak boleh nuduh dia yang enggak-enggak," tutur Clara.

"Makasih juga atas kepedulian kamu. Tapi aku beneran nggak papa, Ca. Aku hanya kelilipan," tambahnya.

"Tinggal ngomong apa susahnya sih, Ra? Aku tahu kapan kamu bohong dan kapan kamu berkata jujur. Aku ini sahabat kamu," ujar Caca penuh ketegasan.

"Tapi entah mengapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dari aku, Ca," ujarnya dalam hati.

Ia menatap ke bawah dengan tatapan kosong. Ia terus kepikiran dengan perkataan suaminya beberapa hari yang lalu.

"Ra, kok malah bengong sih?" kesal Caca.

Ia geleng-geleng kepala dengan sikap Clara yang tidak bersemangat sama sekali.

Bagaimana tidak kehilangan semangat? Hidupnya saja hancur lebur seperti pasir. Ia merasa dipermainkan oleh seseorang yang tidak ia ketahui siapa itu.

Jika saja ia tahu kedok Caca yang sebenarnya, mungkin hatinya akan semakin hancur. Ia bisa kehilangan kepercayaan terhadap siapapun. Karena ternyata sahabatnya justru adalah orang paling berbahaya baginya.

"Kayaknya aku mau pulang aja deh, Ca. Aku merasa nggak enak badan. Nanti aku minta catatan kamua aja ya. Dadah!"

"Eh ... kok main cabut aja. Ra! Clara!"

Perkataan Caca tidak digubris oleh Caca. Ia terus berjalan ke arah pulang. Karena ia butuh waktu untuk sendiri dalam beberapa saat.

****

Clara memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Ia masih merasa sedih dicuekin oleh suaminya karena Algo.

Ia pun pergi ke sebuah taman, di mana ia dan Algo sering ke sana setiap akhir pekan. Ya ... itu adalah tempat kenangan paling romantis yang pernah ia kunjungi selama di Malang.

Di sanalah Algo mengungkapkan isi hatinya. Di sana pula, ia mendapatkan banyak cinta dari bunga-bunga yang selalu mekar dan tersenyum ke arahnya.

Bruukk ....

"Eh, kamu nggak papa, Dek?" tanya Clara.

"Aw, hiks ... Mama!" teriak gadis kecil yang menabraknya.

Clara pun langsung menolong gadis mungil itu dan menggendongnya.

"Udah, Sayang, jangan menangis. Tuan putri tidak boleh cengeng. Nggak papa, nanti sakitnya hilang, kok," ujar Clara mencoba menenangkan gadis kecil itu.

"Hiks ... hiks ... hiks ...."

Gadis kecil itu terus menangis. Clara yang bingung harus bagaimana pun tidak tahu harus melakukan apa. Karena ia belum pernah mengurus anak.

"Mama kamu ada di mana, Sayang?" tanyanya dengan lemah lembut.

Gadis kecil itu hanya geleng-geleng kepala.

"Tadi kamu ke sini sama siapa?" tanyanya lagi.

Lagi, gadis kecil di gendongannya itu gelang-gelang kepala. Hal itu semakin membuat Clara bingung.

"Duh, gimana ini? Mana aku nggak tahu siapa mamanya lagi," gerutunya dalam hati.

Alhasil ia pun menelepon suaminya agar menjemputnya. Karena ia merasa juga bertanggung jawab atas gadis kecil yang menabraknya tadi.

["Halo, Dev!"] sapanya dari sambungan telepon.

["Ada apa?"] tanya Dev to the point.

["Kamu bisa jemput aku nggak? Aku ada di taman, nih."]

["Tunggu di sana, jangan ke mana-mana. Lima menit lagi aku sampai,"] pinta Devaro.

Drt ... drt ... drt ....

Devaro memutus sambungan telepon sepihak dan langsung menancap gas menuju taman.

"Yaudah gadis manis, kamu ikut tante aja ya. Nanti biar tante juga sambil nyariin mama kamu," ucap Clara.

Gadis kecil itu mengangguk kecil. Walaupun mereka baru pertama kali bertemu, ia merasa jika Clara adalah orang yang baik. Bahkan ia menatapnya terus menerus. Seakan-akan Clara adalah ibunya.

Clara menatap ke arah jam tangannya. Karena langit nampak hampir gelap.

"Kenapa Devaro belum sampai juga ya? Katanya lima menit, tapi ini udah hampir sepuluh menit," ujarnya bermonolog.

"Tuan putri, kamu duduk di sini dulu ya. Tante mau hubungin suami tante lagi," pintanya.

Gadis kecil itu hanya menurut saja. Tiba-tiba ....

Seseorang membekap mulut Clara dari belakang. Ia meronta-ronta, namun ... karena mengandung bius, Clara pun jatuh pingsan. Ia dibawa oleh sebuah mobil berwarna hitam.

"Hueeeee ...."

Gadis kecil itu menangis. Karena melihat Clara diculik. Sepertinya sang penculik tidak memperhatikan keberadaannya. Karena gadis kecil tadi bersembunyi di balik semak saat menyadari ada orang-orang bertopeng yang datang.