Fida menyiksa Clara tanpa ampun. Ia menampar dan memukul dengan sangat keras. Ia seperti binatang buas yang kelaparan tujuh hari tujuh malam.
Splassssh! Splassssh! Splassssh!
Clara hanya bisa pasrah dan menahan rasa perih di area wajahnya. Sangat sakit, namun ia tak bisa berkutik. Karena Fida mengikat kedua kaki dan tangannya.
"Gimana rasanya Clara? Apakah sakit?" tanya Fida menyerigai.
Clara meringis kesakitan. Namun, sebisa mungkin ia menguatkan diri dan hatinya. Karena jika ia menangis, Fida akan semakin menjadi-jadi.
"Lu nggak usah sok kuat, deh. Gue tahu pasti rasanya sakit banget. Tapi ini belum apa-apa. Masih pemanasan, hahahaha."
Fida tertawa jahat melihat memar di beberapa bagian tubuh Clara. Terutama wajah mulus gadis itu yang penuh luka lebam akibat tamparan dan pukulan.
"Kamu harus kuat, Clara. Jangan teteskan air mata kamu hanya untuk perempuan murahan seperti Fida. Kamu harus yakin kalau suami kamu akan menyelamatkan di waktu yang tepat," ujar Clara dalam hati dengan mata tertutup.
"Ya Allah, aku berserah kepadamu. Jika hari ini Devaro tidak datang, maka aku akan bertindak nekat," batin Clara.
"Udah gue bilang, Devaro, suami lu yang suka selingkuh itu nggak bakalan dateng buat nyelamatin lu. Jadi, siap-siap lu mati di tangan gue," ancam Fida tak main-main.
Tidak ada rasa takut dalam wajah Clara. Ia hanya tersenyum tipis dan meremehkan ancaman Fida yang dinilai pasaran.
"Kenapa lu senyum-senyum? Gila? Atau lu punya permintaan terakhir sebelum gue jadi malaikat maut buat lu?" tanya Fida. Ia tersenyum miring.
"Kamu jangan percaya diri terlalu tinggi, Fida. Karena orang yang jahat tidak akan menang. Kebaikanlah yang akan menang. Jadi, tunggu saja ... Devaro akan menjebloskan kamu ke dalam jeruji besi!" tegas Clara.
Splassssh!
Fida menampar Clara dengan sangat keras. Padahal ia sudah menyiksa gadis itu tanpa rasa ampun. Ia pun melotot ke arah Clara dengan penuh rasa marah.
"Nggak usah belagu lu! Gue adalah Fida. Gue nggak akan biarin hal itu sampai terjadi. Jadi, nggak usah nakut-nakutin gue, ngerti?!"
"Berarti kamu takut, dong?" tanya Clara dengan senyum miringnya.
Fida terdiam. Ia memang sedikit ketar-ketir jika menyangkut jeruji besi. Ia trauma dengan apa yang dialami orang tuanya dulu. Karena tidak bisa membayar utang, ayahnya dijebloskan ke dalam penjara.
"Lu ...."
Fida menunjuk ke wajah Clara dengan muka merah. Ia sangat murka dengan perkataan Clara yang tidak berpikir dulu.
"Kenapa, Fida? Apa kamu takut kalau Devaro sampai menjebloskan kamu ke dalam penjara? Kamu belum tahu bukan, bagaimana rasanya dipenjarakan oleh orang yang kamu cintai? Maka ... rasakan itu. Karena kamu sudah berani menyentuh istri seorang Devaro yang penuh rahasia!" tegas Clara penuh rasa percaya diri.
Karena sudah tak terkendali, Fida langsung mencekik leher Clara seperti orang kesetanan. Bahkan, Clara sampai hampir kehabisan napas.
"Apa lu bilang? Sebelum Devaro menemukan lu, gue akan buat nyawa lu melayang duluan."
"De-dev, a ... a-a-akh-a," ucap Clara yang lehernya tercekik. Sehingga membuatnya sulit untuk berbicara.
Krekkk!
"Claraaaaaa!!!!" teriak Devaro terkejut.
Ia langsung menghentikan Fida yang hampir saja menghilangkan nyawa istrinya.
Devaro langsung menarik Fida dengan kasar dan mendorongnya hingga terjatuh. Ia pun langsung memeluk istrinya yang kehabisan napas.
"Huh ... huh ... huh ... huh ...!"
Clara berusaha mengatur napasnya. Hampir saja nyawanya melayang karena ulah konyol Fida yang seperti orang kesurupan.
"Kamu nggak papa, Sayang? Maafkan aku karena datang terlambat," ucap Devaro penuh rasa sesal.
Ia mencium puncak kepala istrinya berkali-kali. Ia merasa sangat bersalah pada Clara. Karena sikapnya yang kekanak-kanakan, istrinya sampai harus disiksa seperti budak.
"A-aku nggak pa-papa, Dev," jawab Clara terbata-bata.
Devaro melepas tali yang digunakan untuk mengikat tangan dan kaki istrinya. Wajah Clara yang dipenuhi luka, membuat air mata Devaro menetes.
Ia merasa gagal menjaga istrinya. Padahal ia sudah berjanji untuk selalu bersama dan menjaga Clara baik dalam suka maupun duka.
"Fida! Lu benar-benar keterlaluan!" teriak Devaro.
Wajahnya terlihat murka. Karena Fida sangat kelewatan. Padahal Devaro sudah mengatakan jika Clara tidak ada sangkut pautnya dengan hancurnya hubungan mereka.
"Aw," ringis Fida.
Kaki Fida terkilir karena dorongan Devaro yang terlalu keras. Ia meringis kesakitan, namun Devaro sama sekali tidak merasa iba padanya.
"Aw, kaki aku sakit Dev," lirih Fida.
"Nggak usah akting deh, Ratu Drama! Lu udah bikin istri gue hampir sekarat dan menyiksa dia sampai kayak gini. Apa lu masih mau ngedrama lagi? Sorry, lu salah server!" tegas Devaro.
"Perbuatan lu pada Clara sangat salah. Gue bisa aja bawa kasus ini ke jalur hukum kalau gue mau. Tapi, gue akan memberikan lu satu kesempatan lagi," tutur Devaro.
Fida mendongak ke arah mereka berdua. Ia menatap Clara dengan tatapan iri. Ia merasa jika Devaro yang ia kenal dulu, sudah lenyap.
"Apa kamu pikir aku ini orang yang perlu kamu kasihani? Aku hanya butuh kamu, bukan belas kasihan kamu, Dev!"
Dev tak habis pikir dengan perkataan Fida. Ia sama sekali tidak menyesali perbuatannya pada Clara. Padahal seharusnya Fida menyadari jika Devaro sudah memiliki istri yang sah.
"Apa lu nggak punya malu, Fid? Gue udah baik nggak jeblosin lu ke dalam penjara. Apa itu masih belum cukup? Kalau lu masih gangguin istri gue lagi, gue nggak akan segan-segan buat nyakitin lu dengan tangan gue sendiri!" ancam Devaro penuh penekanan.
Mata Clara langsung membulat sempurna. Ia tak percaya jika Devaro yang mengatakan itu. Ia memang bahagia memiliki suami yang bertanggung jawab seperti Dev.
Namun, ia tak mau kalau Devaro sampai bersikap kasar. Apalagi terhadap perempuan. Ia sangat menentang hal itu.
"Dev, apa kamu nggak keterlaluan?" tanya Clara, tepat di samping telinga kanan suaminya.
Dev bisa merasakan desiran napas istrinya yang terasa hangat. Ia pun langsung menoleh dan mereka saling menatap satu sama lain. Hidung mereka saling bersentuhan.
Dan ....
Cup!
Devaro langsung mencium bibir Clara dengan lembut. Fida yang melihatnya langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Hatinya terasa semakin sakit. Devaro bahkan tak pernah melakukan hal semanis itu kepadanya.
"Apakah kamu benar-benar sudah melupakan aku, Dev? Apakah secepat itu?" batin Fida.
"Kenapa hidup gue nyesek banget ya Tuhan," lirih Fida.
Ia memegang dadanya yang terasa sesak. Rasa sakitnya belum terobati, kini Devaro sudah menorehkan luka yang lebih menyakitkan.
"Mama, Papa!" teriak Tania yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Dengan cepat, Tania pun menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Wajahnya merona seperti tomat melihat kemesraan kedua orang tua angkatnya.
Clara yang menyadari kehadiran gadis kecil itu pun, langsung mendorong tubuh Devaro.
Ia nampak salah tingkah, karena ciumannya dilihat oleh anak di bawah umur. Ia merasa kikuk.
"Sayang, sini," panggil Clara.
Kesempatan ini Fida gunakan untuk melarikan diri. Karena ia tak mau sampai dirinya masuk penjara karena kejadian ini.
"Woi! Jangan lari!" teriak Dev melihat gerak-gerik Fida.
Ia pun langsung mengejarnya, namun tangannya dicekal oleh Clara.
"Nggak usah Dev. Biarkan dia pergi. Dia sedang terluka," lirih Clara.
Devaro berdecak sebal. Istrinya ini terlalu baik, hingga siapapun akan memanfaatkan dirinya. Ia memang memberikan Fida kesempatan kedua, tapi bukan berarti ia akan melepaskannya begitu saja.
Tania pun memeluk Clara seperti seorang anak yang merindukan pelukan seorang ibu.
"Bagaimana keadaan kamu, Sayang? Apakah suami Momma bersikap tidak baik?" tanya Clara.
"Tidak, Papa sangat baik dan juga ...."
Gadis kecil itu menjeda kalimatnya. Kemudian ia mendekatkan bibirnya pada telinga Clara dan membisikkan sesuatu.
"Tampan."
Setelah membisikkan kata tampan di telinga Clara, Tania langsung terkekeh. Ia nampak sangat imut dan lucu.
"Wah ... kamu ini memang anak yang jenius. Kalau begitu mulai sekarang kamu manggilnya Momma dan Dadda. Oke?"
"Oke, Momma."
Devaro yang melihat interaksi antara keduanya hanya bisa senyum-senyum sendiri.
Walaupun banyak luka memar di wajah Clara, gadis itu tetap cantik. Memang benar apa kata orang, kalau udah cantik dari lahir, dalam keadaan apapun akan tetap cantik.
"Tadi Momma sama Dadda ngapain kok bibirnya nyatu?" tanya gadis kecil itu.
Sontak, Clara langsung melotot ke arah suaminya. Namun, Devaro seolah bersikap tak tahu apa-apa.
"Nggak papa kok, Sayang. Dadda sedang memberikan Momma napas buatan. Soalnya tadi Momma kehabisan napas," jawab Clara asal.
"Tapi, itu seperti adegan di drama Korea tahu, Momma? Kalian sangat romantis dan menggemaskan seperti aku," ucap Tania sok tahu.
"Astaga nih bocah tontonannya kok begituan, sih. Padahal kan dia nggak tahu asal muasalnya dari mana, hadeh," batin Devaro.
Clara hanya tersenyum. Ia bingung bagaimana menghadapi bocah yang jenius ini.
"Kalau begitu aku mau Momma yang memberikan napas buatan ke Dadda, kan tadi Dadda udah. Jadi biar Dadda nggak iri," pinta Tania dengan polosnya.
"Eh, anak kecil nggak boleh kayak gitu, Sayang. Kamu harus lupain adegan tadi. Nggak boleh diingat-ingat, oke?"
Clara geleng-geleng kepala dengan kepolosan Tania yang membuatnya gelagapan. Jika saja bukan anak kecil, mungkin Clara akan menendangnya hingga ke planet mars.
"Kalau begitu, ayo nanti nonton drama Korea," ajak gadis kecil itu.
"Anak baik nggak boleh nonton begituan ya. Nanti kita nobar kartun aja," balas Clara.
Wajah Tania langsung masam karena permintaan anehnya tak dituruti.
"Yaudah kalau gitu, ayo kita pulang. Sebentar lagi larut malam, kita lanjut besok aja ngobrolnya."