Cinta pertama ya? Hhh. Walaupun itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu, mungkin sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, tapi aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Tentang bagaimana aku dan dia bertemu, berteman, bersahabat, lalu berpisah.
Cinta pertama tak selalu berlangsung dan berakhir dengan indah. Akan ada kerikil tajam yang berserakan dalam setiap hubungan yang terjalin. Begitupula dengan kisah cinta pertamaku yang tak berjalan semulus cerita di negeri dongeng.
Cinta pertamaku bernama Radit, Raditya Darmawan. Aku bertemu dengannya saat aku duduk di bangku kelas dua SMA. Dia teman sekelasku. Orangnya baik, manis, dan setia kawan, walau kadang menjengkelkan!
Awalnya aku tidak mengenal Radit. Aku hanya sering mendengar namanya dari teman-temanku yang membicarakan dia. Menurut gosip yang beredar, Radit dirawat di Rumah sakit, karena menderita penyakit (malaria atau penyakit apalah) yang cukup parah, sehingga dia tidak bisa masuk sekolah selama enam bulan.
Sebelum mengenal Radit, pada semester pertama di kelas dua, aku meraih peringkat pertama di kelas, dengan nilai rapor yang cukup memuaskan. Waktu itu aku masih polos. Benar-benar polos, sehingga aku tidak sempat memikirkan apapun selain belajar, belajar, dan belajar untuk membanggakan orang tua. (Betapa polos dan mulianya jalan pikiranku dulu)
Saat masuk ke semester dua, di hari pertama sekolah setelah libur panjang selesai, Radit hadir. Dia datang lebih awal dari murid-murid lain, duduk di kelas, di deretan bangku pojok belakang, sendirian sambil mendengarkan musik MP3 yang berasal dari ponselnya. Ponsel jadul merk Sonny Ericsson, Bro! Aku tidak mengenalnya, awalnya kupikir dia adalah murid baru, atau senior nyasar yang hanya numpang duduk di kelas.
Menyadari kehadiranku, Radit mendongak, dia menatapku yang berdiri kikuk di depan pintu kelas. Senyum kecil mengembang di bibirnya.
"Hai. Ayo masuk," sapanya ramah. "Kamu anak kelas XI Bahasa juga kan? Nggak ada yang bakal gigit kamu kok, kalau kamu masuk."
Aku meringis mendengar perkataannya. Yaaah, aku akan masuk. Tapi, haruskah aku bilang padanya kalau bangku yang dia duduki itu adalah tempat duduk favourite-ku. Hei, jangan menatapku seperti itu! Tidak ada yang salah dengan juara kelas yang gemar duduk di bangku di pojok belakang. Itu mengasikan, karena saat ulangan kita bisa memantau secara keseluruhan, siapa yang menyontek dan siapa yang tidak!
Okay. Back to story.
"Kenapa masih berdiri di situ? Ayo masuk," panggilnya ramah.
Aku cuma cengengesan di depan pintu. Dengan ragu aku berjalan memasuki kelas. Karena tempat duduk kesukaanku sudah diduduki oleh mahluk asing dari negeri antah-berantah, aku terpaksa mengambil tempat duduk di deretan terdepan. Aku menjaga jarak. Ibuku pernah bilang ; Jangan berduaan atau berdekat-dekatan dengan laki-laki asing di ruangan sepi! Bahaya! Karena akan ada setan yang jadi orang ketiga diantara kalian. Aku cuma mengamalkan ajaran ibu.
Kami berdua terdiam. Jam baru menunjukan pukul tujuh liwat lima. Teman-teman dan guru belum datang. Dan masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum kelas dimulai.
Aku mendesah tak nyaman, mengeluarkan ponsel nokia tanpa kamera dari dalam tas selempangku, aku kemudian memainkan game snake xenzia untuk mengusir rasa bosan.
Masih tak ada yang bicara diantara kami. Aku sibuk dengan game di ponselku, dan dia tampaknya terhanyut dengan lagu di ponselnya.
Alunan musik pop mendayu telingaku. Lagu 'Puisi' yang dinyanyikan Band Jikustik terdengar dari MP3 ponsel Radit, aku suka lagu itu.
"Kamu anak baru ya?"
"Apa?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan Radit. Aku berbalik dan melihat dia duduk bersandar sambil menatapku serius di bangkunya, lebih tepatnya bangku milikku!
Dia memutar mata melihat reaksiku. "Apa kamu punya masalah dengan pendengaran?" Sindirnya.
Apa-apaan itu? Alisku menukik tajam mendengar perkataannya. "Apa masalahmu?" Ketusku sembari membuang muka dengan gaya jutek. Aku lalu melanjutkan acara bermain game-ku.
Aku mendengarnya terkikik pelan. Lagu di MP3 ponselnya telah berganti menjadi Cinta tak bersyarat milik Band Element.
"Namaku Radit." Dia memperkenalkan diri tanpa kupinta. "Raditya Darmawan. Kalau kamu?"
Sudah menyindirku, sekarang dia ingin berkenalan denganku? Super sekali. Aku mengabaikannya. Oh ya? Raditya Darmawan? Dia murid yang sakit itu? Pikirku.
"Ck. Sombong sekali," ketusnya. "Sebenarnya kamu ini tipe cewek jutek? Pendiam? Atau ... Kamu lagi sakit gigi ya?"
Anak ini ... Ya Tuhan, kalau menyakiti orang lain bukanlah sebuah dosa, bolehkah aku menamparnya?
"Halooo. Cewek. Punya mulut kan?"
"Namaku Fiza," potongku gusar tanpa menoleh ke arah Radit.
"Eumm ... Fiza ya? Nama yang bagus."
Beberapa menit kemudian beberapa teman sekelas kami mulai berdatangan, masuk ke dalam ruangan. Disusul Pak Buchari, wali kelas kami yang merupakan seorang guru agama.
***
Di minggu pertama. Aku tidak begitu menyukai Radit, menurutku dia agak tengil dan bodoh? Iya aku tahu dia ketinggalan pelajaran selama enam bulan. Tapi tetap saja aku tidak suka laki-laki bodoh. Tapi ... Dia juga tidak pernah bilang suka padaku kan? Ugh. Aku kepedean.
Aku ingat. Hari itu hari selasa, dan aku hampir tersedak ludahku sendiri saat Pak Buchari memanggilku ke ruang guru, beliau memintaku sebagai juara kelas, untuk membimbing Radit yang tertinggal pelajaran selama enam bulan.
Aku hanya mengajarinya selama di sekolah, duduk sebangku dengannya, sambil menjelaskan pada Radit mengenai materi-materi pelajaran yang tidak dia mengerti.
Aku ingin menolak, tapi aku bukanlah tipe orang yang bisa menolak tanggung jawab yang telah diberikan padaku.
Hingga akhirnya, mulai hari rabu, aku duduk sebangku dengan Radit. Sejak dari rumah, aku sudah mempersiapkan semua buku panduan belajar yang berkaitan dengan materi pelajaran hari itu. Kami berdua duduk di deretan sebelah kiri, di bangku paling belakang.
Radit yang hari itu baru tiba di kelas, nyengir melihatku. Tanpa basa-basi dia langsung beranjak duduk di sampingku.
"Jam pertama pelajaran sejarah," bisiknya di telingaku.
Aku mendelik padanya, tapi dia hanya tersenyum sambil mengangkat bahu santai.
Dan tak lama kemudian, Pak Anwar, Guru mata pelajaran sejarah kami memasuki kelas, dan beliau mulai menyampaikan materi pelajaran.
Setelah satu minggu mengajari Radit, aku bisa mengambil kesimpulan. Radit sebenarnya bukan anak bodoh, dia cerdas, hanya saja dia tidak mau membuka lagi buku catatan pelajarannya, dan enggan memperhatikan penjelasan guru.
***
"Mau pulang?" Suatu siang, sepulang sekolah. Aku sedang berdiri di teras sebuah kios kecil di depan gerbang. Tiba-tiba Radit datang, dengan motor Mio matic berwarna biru, dia berhenti di depanku.
"Iya," sahutku sambil mengerutkan bibir, melihat teman-temanku yang lain, yang sedang berebut untuk naik delman.
Aku bersekolah di pedesaan, kendaraan yang biasa dipakai oleh murid-murid di sini untuk pulang dan bersekolah hanyalah motor dan delman, tidak ada yang namanya mobil pribadi bermerk.
"Pulang bareng yuk."
Alisku menukik ke atas mendengar tawaran ramahnya.
"Bukannya arah rumah kita berlawanan? Kamu tinggal di Lido kan?"
Dia mengangkat bahu. "Apa salahnya? Aku cuma mau mengantarmu pulang. Ayo naik," ajaknya.
Aku menggigit bibir ragu. Dalam hati aku tergoda untuk ikut dengan Radit, tapi ... Sebentar lagi jemputanku datang.
"Hei. Sampai kapan kamu mau berdiri di situ? Sekolah udah hampir sepi, mau jadi hantu penunggu sekolah ya?"
Bibirku mengerut sebal mendengar ledekannya. Baru saja aku maju menghampiri Radit dan Motornya, tiba-tiba ...
"Kak Fiza!"
... Adikku, Fathur, memanggil namaku. Dia memarkirkan motor supra tak jauh dari kami.
Dahinya berkerut melihat Radit. Fathurrahman, adikku, umurnya empat belas tahun, dan dia baru duduk di bangku kelas tiga SMP. Namun, walaupun masih SMP, tapi fisik adikku terlihat seperti cowok-cowok SMA.
Radit balas menatap Fathur, sebelah alisnya terangkat tinggi.
"Terimakasih tawarannya, tapi maaf Dit, jemputanku datang," pamitku sembari berlari kecil ke arah Fathur, lalu naik ke atas motor.
"Siapa dia kak?" Tanya Fathur saat motor kami melaju menuju rumah.
"Teman," jawabku kalem.
"Teman?"
"Iya. Teman sekelas," aku memutar mata menyadari kalau penyakit sister complex adik manisku ini kambuh lagi.
"Hn," responnya.
Haaah. Dasar!
***
Sebulan kemudian, aku dan Radit makin dekat. Awalnya hanya sekedar teman, tapi mungkin karena kami 'terlalu akrab' teman-teman sekelas kami jadi mempertanyakan, seperti apa hubungan 'pertemanan' kami yang sebenarnya.
"Okay. Beritahu aku, kamu pacaran atau nggak, sama dia?"
Aku melongo mendengar pertanyaan Ima, sahabat sekaligus sepupuku, yang tiba-tiba pada jam istirahat menarikku keluar kelas, ke taman di samping Laboratorium Bahasa.
Bersama Hana, Ima menginterogasiku, mengenai hubunganku dengan Radit.
"Fiza, jawab!" Desaknya tampak antusias.
"Jawab apa?"
"Jawab kamu pacaran atau nggak sama Radit?!" Dia mencengkram kedua lenganku, lalu mengguncang tubuhku tanpa ampun.
Aku meringis. "Aku? Pacaran? Sama Radit?"
"Hu'um." Hana dan Ima mengangguk antusias.
"Nggak."
"Tapi kenapa kalian deket banget?"
"Kami dekat?" Well, jujur aku makin bingung dengan pertanyaan Ima dan Hana. "Memangnya kami sedekat apa?"
"Sangat dekat." Hana mendesis gemas mendengar pertanyaanku. Dia lalu menjatuhkan diri untuk duduk bersila di atas rerumputan, seperti halnya aku dan Ima. "Kamu tidak sadar? Dimana ada kamu disitu ada Radit. Dan ... Dimana ada Radit, di situ ada kamu."
Owh. Aku benar-benar tidak sadar akan hal itu.
"Lalu ... Apa kamu suka sama Radit?"
Aku merasa jantungku seakan berhenti berdetak mendengar pertanyaan Ima. Aku menyukai Radit, tapi ... Hanya dalam tahap pertemanan. Aku 'belum benar-benar' menyukainya.
"A-aku ..."
"Kalian lagi ngomongin apa? Kelihatannya serius sekali," Aku, Ima, dan Hana menoleh, mendapati Radit yang sedang berjalan ke arah kami. Dia terlihat berkeringat, seragam sekolahnya berantakan, dan dia tidak memakai sepatu.
"Habis main bola ya?" Aku mendongak saat dia berhenti tepat di depanku, lalu duduk di sampingku.
"Hmm," responnya dengan cengiran lebar. "Dion yang ngajak aku main lawan anak dua IPA tiga. Kami taruhan, dan dua Bahasa menang!" Dia merangkulku main-main.
Aku tertawa. Sambil mendorong tubuhnya, aku bergeser menjauh. "Ugh jorok. Keringetan! Lengket tuh!" Protesku.
Radit terkekeh. "Pinjem buku dong," gumamnya sambil melirik buku LKS Antropology yang sejak tadi kubawa. "Buat ngipas-ngipas, biar nggak lengket, bau, dan keringetan lagi." Tanpa peringatan dia lalu merebut buku LKS itu dari tanganku, kemudian Radit mengipasi dirinya.
Aku mengerutkan bibir, cemberut.
"Pantas nggak pernah bisa pintar. Buku dipakai buat kipasan, nggak pernah dibaca."
"Selama kamu masih ada di sisiku, rasanya aku nggak butuh buku buat dibaca." Radit mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Yaiyalah nggak butuh buku buat dibaca, orang yang disebelah udah khatam buku-buku seperpustakaan." Ima mencibirku dan Radit.
Sepertinya dia tidak menyukai fakta bahwa aku mengabaikannya, karena kehadiran Radit.
"Tepat!" Canda Radit sembari mengacungkan jempol pada Ima.
Hana meringis. "Kami ke kelas dulu," dia pamit sambil mencengkram lengan Ima, membawanya untuk berdiri bersama. "Pengantin baru, silahkan lanjutkan acara mesra-mesraannya," sindirnya sembari menyeret Ima kembali ke kelas.
Aku dan Radit melongo. Kami saling berpandangan. "Pengantin baru?"
***
Orang-orang pernah mengatakan, bahwa cinta ada karena terbiasa. Mungkin perasaan itulah yang kualami pada Radit.
Hei, aku mengerti. Orang--yang mengaku--polos sepertiku tidak mungkin bisa mengetahui bahwa aku sedang jatuh cinta pada seseorang dengan cepat. Tapi ... Dulu aku benar-benar tidak tahu kalau aku sedang jatuh cinta pada Radit.
Aku hanya merasa nyaman dan bebas menjadi diriku sendiri, ketika aku bersamanya. Terlepas dari prestasi belajarku yang mulai menurun, saat masuk ke semester dua peringkatku anjlok ke rangking tiga. Apes.
Keakrabanku dengan Radit membuat gosip tentang hubungan kami yang beredar, makin menjadi-jadi.
Tak jarang, setiap kami berjalan atau nongrong berdua, anak-anak lain selalu menyoraki dan menggoda kami dengan kalimat : "Cie ... Cie ... Cie, yang pacaran, mesra amat sih?" Atau "Ehem, ehem, pasangan pengantin baru lewat."
Awalnya aku biasa saja mendengar ledekan teman-temanku. Namun, ekspresi tak nyaman yang ditunjukan Radit ketika mendengar ejekan mereka, membuatku merasa tak enak.
"Eng. Gimana kalau untuk sementara kita jaga jarak dulu?" Aku menyuarakan pikiranku, bel jam istirahat sudah terdengar lima belas menit yang lalu. Aku dan Radit, tengah bersantai di atas dahan pohon bunga kamboja yang berdiri kokoh, di belakang Laboratorium bahasa.
"Jaga jarak?" Radit menatapku bingung.
"Yah. Jaga jarak," aku mengangguk sambil menyeruput minuman pop ice dingin, yang kubeli di kantin beberapa menit lalu.
"Untuk apa jaga jarak?"
"Biar gosip yang nggak-nggak tentang kita, nggak nyebar," jelasku.
"Maksudmu, gosip tentang kita berdua yang pacaran?" Tanya Radit sembari mengayunkan kedua kaki panjangnya, mata hitamnya tampak mengamati beberapa siswi yang berlalu-lalang pulang dari kantin.
"Yup."
Dia menatapku sebentar lalu mengerutkan bibirnya. "Kamu malu ya digosipin pacaran sama aku?"
E-Eh? Apa? Aku gelagapan. Aku merasakan semua aliran darah mengalir ke satu titik syaraf di wajahku.
"Ng-nggak kok," gagapku. "Justru aku takut kalau kamu yang malu gara-gara digosipin pacaran sama aku."
"Malu digosipin pacaran sama kamu?" Dia tampak sedikit terkejut mendengar jawabanku. "Kayaknya aku bakalan jadi orang yang nggak tahu diuntung, kalau aku sampai malu digosipin pacaran sama cewek manis yang cerdas seperti kamu."
Bohong jika aku tidak tersipu mendengar perkataan Radit. "A-apaan sih?" Berpura-pura cermberut aku memukul pelan lengannya.
Ya Tuhaaaannn! Aku merasakan wajahku memanas dan jantungku berdetak tak karuan. Kenapa jantungku berdentum begitu cepat dan keras? Apa ini gejala awal penyakit jantung?
"Daripada digosipin terus-terusan, gimana kalau kita pacaran benaran aja?"
A-APA? Mata hitamku melebar mendengar tawarannya. Dan ...
"Hwaaaaa!"
"E-Eeeh?" Kalau saja Radit tidak segera menahanku, mungkin aku akan terjatuh dari atas pohon kamboja. "Tadi aku cuma bercanda. Aku nggak nyangka kalau reaksi kamu sampai segitunya," ucapnya tampak menyesal.
Aku melongo. Apa? Dia bilang apa tadi? Cuma bercanda?! Aku pikir tadi itu beneran, padahal aku sudah senang banget dan hampir ngejawab IYA! Asem!
"Jadi ... Kita nggak perlu 'jaga jarak' ya?" Aku bertanya sambil berusaha mengembalikan keseimbangan hati dan pikiranku. Kenapa aku jadi kecewa gini ya?
"Nggak perlu. Sudah jelas kan kalau kita hanya berteman? Jadi nggak usah peduliin apa kata orang lain."
Aku mengangguk lesu membenarkan perkataan Radit.
Hwaaaa! Aku masih kecewa!
***
Walaupun aku sudah berjanji pada Radit untuk tidak mempedulikan apa kata orang lain, tapi tetap saja saat beberapa temanku membicarakan hal yang tidak-tidak tentang hubungan kami, aku merasa tak enak.
Apalagi gosip yang beredar di sekolah makin ngaco. Seperti : Radit 'memanfaatkan'ku untuk mendapatkan nilai bagus dalam setiap mata pelajaran. Atau, aku yang terlalu bodoh mengejar-ngejar Radit padahal Radit sama sekali tidak menyukaiku. Sialan! Darimana datangnya gosip-gosip bodoh itu?!
"Fiza."
Alisku bertaut heran saat Widya, teman sekelasku, tiba-tiba mengajakku untuk berbicara empat mata. Dia menyeretku ke dalam kelas yang sedang sepi.
"Ada apa Wid?" Tanyaku bingung. Tidak biasanya Widya mau bicara denganku, seingatku dia tidak begitu suka padaku, karena aku adalah sepupu dekat Ima, musuhnya di Sekolah. Aku tidak begitu mengerti dengan masalah mereka berdua. Dan aku juga tidak mau ikut campur.
"Kamu pacaran ya sama Radit?" Tanyanya sembari menyeretku untuk duduk di bangku di sebelahnya.
Aku memutar mata mendengar pertanyaan Widya. "Nggak," jawabku kalem.
"Tapi kenapa kamu nempel banget sama dia? Kayak amplop sama perangko." Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan Widya. Wajah cantiknya yang terbalut jilbab putih itu menatapku penuh harap.
"Mungkin karena kami ... sahabat," sahutku ragu.
"Aku tidak yakin dengan jawabanmu."
Jangankan kamu Wid, aku aja nggak yakin sama jawabanku.
"Dimana ada kamu disitu ada Radit, dan dimana ada Radit, disitu ada kamu. Kamu kelihatan kayak lagi ngejar-ngejar dia."
APA?!
"Kamu kayak cewek murahan Fiz, nempel terus sama Radit, padahal Radit cuek sama kamu."
APA YANG DIKATAKAN MAHLUK DI DEPANKU INI? KENAPA DIA MEMBUAT KESIMPULAN BODOH SEPERTI ITU?!
Aku tidak mendengar apalagi yang dibicarakan Widya. Aku sibuk memikirkan kenapa dia bisa berkata seperti itu? Apa benar selama ini aku terlihat seperti perempuan murahan yang sibuk mengejar cinta Radit?
Apa benar aku tampak seperti ...
" ... Pelac*r."
... PELAC*R?!
Lakban! Mana lakban?
***
Perkataan Widya tadi membuatku shock, aku menangis.
Apakah persahabatanku dengan Radit membuatku terlihat murahan sebagai seorang perempuan?
"Fiza, mau kemana? Bell masuk udah bunyi tuh." Mata hitam Ima melebar kaget saat melihat air mata yang mengalir membasahi pipiku.
"Ya ampun Fiza, kamu kenapa?!" Pekiknya panik sembari menghampiriku, lalu mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku seragam sekolahnya. Dia melap air mataku, agar aku tidak menjadi pusat perhatian teman-teman sekelas.
"Kenapa dia?" Aku mendengar salah satu temanku, bertanya heran pada Ima mengenai penyebab aku menangis.
"Nggak tahu," jawab Ima dalam sebuah bisikan.
Aku mengutuk diriku sendiri karena tidak bisa berhenti menangis. Sambil menunduk sesegukan, aku berkata pada Ima, "Ma, bolos yuk," ucapku pelan.
Dia tersentak. "Apa? B-bolos?" Ima tampak terkejut mendengar ajakanku. Ini pertama kalinya aku memiliki niatan untuk bolos.
"Hu'um."
"T-tapi ... Ah, baiklah. Ayo kita bolos." Dia mengalah. "Tunggu di sini. Aku akan mengambil tas kita," gumam Ima, sembari berjalan menuju bangku tempat duduknya, lalu mengambil tas selempang berwarna hitam dari dalamnya.
Kemudian dia berjalan menuju ke bangkuku dan Radit, untuk mengambil tas selempang biru milikku.
"Ayo kita pergi," ajaknya.
Setelah sukses membohongi guru dan satpam sekolah. Ima memberitahu mereka kalau aku sakit. Akhirnya Ima mengajakku ke rumahnya. Dia ingin tahu apa yang membuatku menangis.
***
"KURANG AJAR!" Pekik Ima marah. "Berani-beraninya si Cungkring itu ngatain kamu cewek murahan! Kenapa kamu nggak gampar aja sih mulutnya? Atau jambak rambutnya," dia menggerutu kesal sambil memukul-mukul bantal guling.
Sekarang aku sedang berada di kamar Ima. Di atas tempat tidurnya. Aku sudah menceritakan mengenai pembicaraanku dengan Widya, yang membuatku menangis.
"Kalau memang dia naksir sama Radit, kenapa dia nggak kasih tahu aja langsung sama orangnya? Malah ngatain kamu pelac*r lagi. Awas aja ya dia besok," geram Ima kemudian memelukku. "Kamu istirahat aja dulu di sini. Nanti pas jam setengah satu, aku bakalan nelpon Fathur buat jemput kamu di sini."
Aku mengangguk. Ibuku adalah adik kandung dari ayahnya Ima, jadi kedua orang tuaku tidak akan khawatir dengan keberadaanku di tempat ini. Hanya saja ... Alasan apa yang harus kuberitahu pada kedua orang tuaku? Mereka pasti akan bertanya, kenapa aku membolos?
***
Keesokan harinya. Aku sengaja tidak datang secepat biasanya ke sekolah. Aku ingin menghindari Radit. Aku tidak mau lagi dikatakai sebagai perempuan murahan bodoh yang mengejar-ngejar cowok.
Suasana di sekolah saat aku tiba pagi itu sudah agak ramai. Sambil sesekali tersenyum membalas sapaan murid-murid kelas lain, aku berjalan menuju ke kelasku.
Dan setibanya di sana, aku mematung. Mataku menatap lurus ke arah Radit dan Widya yang sedang bercanda di taman bunga mini, di depan kelasku. Mereka tertawa, dan sesekali Widya memukul pundak Radit main-main.
Perasaanku campur aduk. Aku marah. Aku marah pada Widya yang sudah mengatai aku perempuan murahan karena kedekatanku dengan Radit. Dan aku juga marah pada Radit yang begitu akrab dengan perempuan yang baru saja menghinaku kemarin.
Aku mendengus. Sebelum mereka melihatku, aku segera masuk ke dalam kelas.
Hari ini aku memilih untuk duduk dengan Tamrin, salah satu teman sekelasku yang meraih peringkat pertama. Kebetulan Tamrin duduk sendiri, dan letak bangkunya juga, tepat dibelakang bangku Hana dan Ima.
"Tumben hari ini nggak duduk sama 'suami tercinta', pengantin baru berantem ya?" Cibir Tamrin.
Aku menyipitkan mataku ke arahnya. "Jangan mulai deh, Tam," ketusku.
Cowok berambut cepak itu tertawa. "Oke. Oke. Aku cuma mau mastiin, kalau Radit nggak bakal ngehajar aku, karena pacarnya lebih milih duduk sama aku daripada sama dia."
"Diam dan tutup mulut. Aku bosan duduk di belakang. Aku cuma mau cari suasana baru," ujarku sembari mengeluarkan buku catatan sastra arab-melayu dari dalam tasku.
Tamrin tersenyum geli. "Iya. Iya. Aku tutup mulut. Tapi ... Kasih tahu sama yang berdiri di depan pintu," dia menunjuk ke arah pintu kelas menggunakan dagunya. "Aku nggak ngerayu kamu buat duduk di sini. Dan jangan biarin dia mukulin aku."
Aku mengikuti arah pandang Tamrin. Dan wajahku langsung tertekuk cemberut saat melihat Radit, yang menatapku bingung di depan pintu. Dia pasti heran karena melihat aku duduk dengan Tamrin.
"Hmm." Aku kembali berpura-pura membaca buku.
Tamrin menyikutku pelan. "Kalian kenapa? Berantem ya?" Dia menggodaku lagi.
Aku menginjak sadis kakinya. Tamrin memekik pelan. "Kejam amat sih Za," keluhnya. "Eh. Radit datang tuh."
Aku menolak untuk mendongak melihat Radit. Aku berpura-pura membaca. Aku bisa mendengar langkah kaki Radit yang mendekat, lalu berhenti di samping bangkuku dan Tamrin.
"Hai," sapanya.
"Hai juga." Tamrin mewakiliku menjawab sapaan Radit.
"Aku dengar kemarin kamu sakit. Bagaimana keadaanmu sekarang?" Tanyanya.
"Seperti yang kamu lihat, dia baik-baik saja. Sehat wal'afiat. Walau mood-nya sedang tidak sehat."
Aku menahan tawa mendengar jawaban Tamrin. Aku bisa merasakan Radit mendelik tak suka mendengar jawaban Tamrin.
"Aku tidak bertanya padamu," geram Radit.
"Aku hanya membantunya menjawab. Fiza 'isterimu' yang cantik ini sepertinya sedang sakit gi ..." Aku kembali menginjak kaki Tamrin dengan keras. "Aduh! Apa-apaan sih Fiz?" Protesnya memelototiku kesal.
"Di-am!"
"Iya. Iya."
Kudengar Radit mendesah. "Kenapa kamu nggak duduk di bangku kita?"
"Aku ... Mau cari suasana baru." Aku buru-buru menjawab pertanyaan Radit, sebelum Tamrin kembali ikut campur dalam urusan kami.
"Owh. Selamat menikmati suasana baru," gumamnya sembari melangkah melewatiku.
Beberapa menit kemudian, Ibu Ida, guru mata pelajaran Sastra Arab-Melayu masuk dan mulai mengajar.
Selama Jam pelajaran berlangsung, aku enggan menoleh ke bangku Radit di belakang. Menurut Ima dan Hana, yang duduk di depanku, Radit sekarang sedang duduk bersama Widya, mereka bercanda mesra.
Nyess banget.
***
"Fiza!" Aku yang sedang duduk sendirian di kelas, sambil membaca novel Layar Terkembang, terkejut saat beberapa temanku menghambur memasuki kelas, sambil menyerukan namaku.
Hana, Novi, dan Ditta. Mereka menatapku panik.
"Ada apa?" Tanyaku bingung.
"Ima sama Widya berantem di kantin! Widya nangis gara-gara digampar dan dijambak Ima," jawab Ditta ngos-ngosan.
"Apa?!" Ampun. Sepupuku yang satu itu, benar-benar deh.
"Katanya Ima nggak terima kamu dikatain cewek murahan sama Widya. Dan sekarang mereka dibawa ke ruang guru," jelas Hana panik.
Sial! Setelah menyimpan novelku ke dalam laci meja, aku segera beranjak bangun dan mengikuti teman-temanku ke ruang guru.
***
Selama dua tahun bersekolah di SMANSA Woha, baru pertama kali ini aku mendapatkan hukuman dari guru. Catatan kelakuanku yang selama ini baik dan bersih, kini harus ternoda oleh perkelahian konyol dua mahluk cantik di depanku.
"Ini semua gara-gara kalian!" Desis Widya melirik kami berdua tajam.
Sekarang kami bertiga sedang dihukum, berdiri di bawah terik matahari sambil hormat ke arah bendera.
"Apa? Ini semua salahmu, ngatain sepupuku pelac*r, nggak tahunya kamu sendiri kegatelan," balas Ima mendelik sinis.
"Apa kamu bilang?"
"Kalian berdua diam!" Bentakku memelototi mereka sebal.
Widya dan Ima saling melemparkan pandangan sinis.
***
Aku tidak tahu sampai kapan aku, Widya, dan Ima akan dihukum seperti ini.
Keringat mulai mengalir turun dari pelipisku, aku haus, perutku keroncongan, dan kakiku mulai gemetaran. Ima dan Widya yang berdiri di sampingku juga terdengar menggerutu dan merengek.
"Pak! Sampai kapan sih kami harus dihukum kayak gini?!" Ima berseru kesal pada Pak Raihan yang duduk mengawasi kami di pinggir lapangan, menggunakan kursi plastik.
"Lima belas menit lagi!" Sahut beliau.
"Apa?!" Ima menggeram.
"Sialan!" Ketusku.
"Huu. Lapar." Rengek Widya.
***
Aku pikir aku akan mati kepanasan dan terkena dehidrasi. Namun tiba-tiba Radit datang membawa tiga botol aqua dingin untuk kami bertiga.
"Pak Raihan nyuruh aku ngasih ini ke kalian," katanya datar sambil memberi kami masing-masing satu botol minuman.
"Trims Radit," ucap Widya manis.
"Makasih," ketus Ima dengan nada tak ramah sembari menerima minuman dari Radit.
Aku menunduk enggan menatap Radit. Aku melihat sepatu ATT-nya berhenti tepat di depanku.
"Terimakasih," gumamku sambil menerima minuman yang dia sodorkan.
Tak berkata apapun, Radit melangkah menjauhiku. Hatiku melengos. Aku segera membuka botol aqua tanggung dingin itu, lalu meminumnya. Setelah selesai, aku terkejut melihat Radit yang melangkah menjauh, tiba-tiba berbalik lalu berdiri di depanku.
Dia menatapku sebentar. Lalu membuka topi pet hitamnya, kemudian memakaikannya ke kepalaku.
"Nanti aku antar kamu pulang," ucapnya pelan. Setelah itu dia pergi meninggalkanku yang berdiri mematung, salah tingkah di tengah lapangan.
Beberapa murid yang tak sengaja melihat kejadian tadi, bersiul dan menggoda kami.
"Cie, cie, cie. Radit sama Fiza ternyata pacaran beneran?!"
"Suit! Suit!"
Ampun. Aku maluuuuu.
***
Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Radit mulai membaik. Namun kalau kalian menebak bahwa Radit akan menyatakan cinta padaku, saat dia mengantarkanku pulang, kalian salah besar.
Saat di SMA, kami tidak berpacaran. Kami hanya bersahabat, dan aku tidak lagi mempedulikan gosip bodoh mengenai hubungan kami yang beredar.
Setelah lulus dari SMA, kami berpisah. Aku dan Radit lost contac. Aku melanjutkan kuliah ke Malang. Dan Radit mendaftar sebagai calon Tamtama di Mataram. Kami tidak bertemu selama enam tahun.
Dan sekarang ...
"Ibu guru mau pulang?"
... Aku tidak bisa menahan senyumku.
Di tempat yang sama, seperti enam tahun yang lalu, saat untuk pertama kali Radit menawariku tumpangan untuk pulang. Seorang laki-laki tampan, berseragam TNI dengan motor dinasnya, menawariku tumpangan untuk pulang.
"Radit? Kapan kamu pulang dari Irian?" Tanyaku senang.
"Dua hari yang lalu," jawabnya kalem.
"Owh."
"Hei. Sampai kapan kamu mau berdiri di situ? Sekolah udah hampir sepi, mau jadi hantu penunggu sekolah ya?"
Aku tertawa. Aku merasa seperti dejavu mendengar teguran Radit.
"Iya ... Iya." Aku beranjak menghampiri Radit dan motor dinasnya.
"Aku nggak nyangka kalau kamu bisa jadi guru di bekas sekolah kita dulu," gumamnya.
"Yah. Aku juga nggak nyangka kalau kamu sudah jadi tentara sekarang."
Baru saja aku akan naik ke atas motornya. Tiba-tiba ...
"Kak Fiza!"
... Adikku, Fathur, memanggil namaku. Dia memarkirkan motor sport hijaunya tak jauh dari kami.
Dahinya berkerut melihat Radit. Fathurrahman, adik kecilku yang dulu, sekarang sudah bekerja sebagai seorang dokter di sebuah puskesmas di desa kami.
Radit mendesah melihat Fathur. "Cuma perasaanku aja, atau kita seperti ..."
"Dejavu."
SELESAI