Chapter 2 - Mulai

Biak, Nugini Belanda

28 Agustus 1962

Biak, sebuah pulau yang dijadikan sebagai markas dan pangkalan tentara Belanda. Dikarenakan statusnya inilah, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) menargetkan pulau ini untuk dibom dikarenakan keberadaan pangkalan-pangkalan itu. Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) juga menargetkannya untuk diserang dengan bantuan kapal selam Uni Soviet. Namun, serangan-serangan itu tidak pernah terjadi dikarenakan Perjanjian New York, yang mana telah ditandatangani satu hari sebelum pindahnya Indonesia dan Nugini Belanda ke dunia antah berantah ini.

Ditengah kebingungan yang melanda semenjak 16 Agustus, nampak seorang perwira berseragam US Navy turun dari kapal selamnya. Perlahan dia berjalan menuju seorang perwira Belanda yang berada didepannya.

"Dedrick." Ucap kapten itu sambil mengulurkan tangannya.

"Pieter." Balas perwira Belanda yang menerima uluran tangan untuk jabat tangan itu.

"Terimakasih telah mau menampung kami disini. "

"Sama-sama. Sebagai sekutu, maka kita harus saling membantu. Meskipun terkadang, memang tidak selalu. "Ucap Perwira Belanda itu merujuk kepada Pemerintahan AS yang tidak mau mendukung Belanda di konflik ini.

Ucapan Pieter dibalas dengan senyuman kecut Dedrick. Dia kemudian melihat lagi ke kapal selamnya, USS Halibut yang sebelumnya sedang patroli untuk tugas deterrent di kawasan Pasifik melalui Guam, Nugini Belanda, dan akhirnya Australia. Tentu saja, alasan utama kehadiran mereka di Nugini Belanda adalah keberadaan Personil Uni Soviet di Indonesia beserta alutsista mereka, yang mana mereka bahkan ikut bertugas di garis depan.

"Yah, mari ikut saya. " Ucap Pieter mengajak Sam menuju bangunan utama.

Djakarta, Indonesia

30 Agustus 1962

Djakarta, ibukota dari negara Indonesia Raya yang meskipun merupakan kota besar, nampak sedang kebingungan. Penduduk Djakarta penasaran dimanakah para atlet luar negeri yang seharusnya telah datang untuk kejuaraan Asian Games ke empat yang kiranya harusnya telah diselenggarakan sejak 24 Agustus lalu. Namun, sampai hari ini juga tidak ada informasi mengenai hal itu.

Lapangan Ikada, Stadion Ikada, Stadion Menteng, Gelanggang Olahraga, Kompleks Asian Games atau  Stadion Utama Senajan dan bangunan-bangunan lainnya seperti Hotel Indonesia sepi semua. Tidak ada tanda-tanda event sedang dilaksanakan ataupun para atlit sudah datang. Bahkan para wartawan juga penasaran, dan menjawab tidak tahu saat ditanyai.

"Kau tak jadi terbang ke Uni Soviet? " Tanya seorang pemuda ke kawannya.

"Tak. Kata menteri dan Duta Besar Soviet, saat ini sedang ada masalah mendadak. Kawan-kawan beasiswa yang lain juga sama. Tidak bisa terbang ke Korea Utara dan Cina. "

"Oh, jadi semua kena ya. Kalau begitu harus menunggu informasi lebih lanjut kan? "

"Iya."

"Lalu, apa yang akan kau lakukan sembari menunggu? "

"Belajar bahasa Rusia supaya tidak ada kesulitan bahasa nantinya. "

"Bagus sekali, aku mau ikut belajar kalau boleh. "

"Wah, ayo belajar bareng! "

Disisi lain, beberapa ibu-ibu sedang keheranan dengan apa yang terjadi.

"Anakku gak jadi berangkat. Katanya menunggu keterangan lebih lanjut." Ucap seorang Ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar.

"Hmm, anakku sampai sekarang belum pulang juga. " Balas tetangganya.

"Anakmu kapan berangkatnya?"

"Tahun 1957. Harusnya kemarin tanggal 15 sudah kembali ke rumah. Sekarang, sudah tanggal 30 belum juga pulang. "

Seorang ibu-ibu yang baru datang dan mendengar dia tetangganya berbicara mengenai anak mereka yang kuliah di luar negeri langsung bergerak mendekat.

"Anakku juga belum pulang ini. "

"Ah, anakmu berangkatnya bareng anakku kan ya? "

"Iya, tapi dia di Jerman Timur, bukan Cekoslowakia. "

"Dekat lah ya. Aku dulu tengok kat peta, Jerman Timur dan Cekoslowakia itu bertetangga. Mungkin anak-anak kita kadang saling ketemu. "

"Hahaha, benar lah tu. Dulu dia ada kirim surat kalau dia naik kereta dari Praha ke Dresden. "

"Kota dimana itu? "

Ketiganya langsung berbincang-bincang mengenai anak-anak mereka yang sedang menempuh pendidikan di negara asing nan jauh di Eropa sana. Sebuah prestasi besar bagi mereka tentunya. Mampu kuliah di luar negeri secara gratis, terlebih lagi di benua Eropa. Hal yang masih cukup jarang terjadi.

Istana Merdeka

Di Istana Merdeka, Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia sekaligus Kepala Staf Angkatan Darat, Jendedal Abdul Haris Nasution sedang berbincang dengan Presiden Soekarno.

"Jadi Nas, di selatan ini ada benua asing yang memiliki naga, begitukah? "

Pak Nas langsung menarik napas dahulu.

"Betul sekali pak. Berdasarkan laporan dari pesawat Tu-16 yang AURI kirimkan, di selatan dan barat kita ada daratan yang mana, memiliki naga. "

"Tunggu, di barat juga ada? "

"Betul sekali pak. Tetapi, di barat baru ditemukan pulau saja. Kami masih tidak tahu kalau tentang apakah diarah sana juga ada benua lainnya. "

"Hmm, begitu. "

"Apakah perlu kita mengirimkan prajurit untuk mengecek daratan-daratan disana? "

"Mungkin, tetapi tidak sekarang. Kita harus berbicara dengan Belanda dan Amerika terlebih dahulu. Mereka, Belanda masih bercokol di Irian dengan pasukan yang cukup besar. Jones sendiri sudah siap untuk membantu pembicaraan. "

"Baik pak. "

"Oh ya, tetapi kamu siapkan beberapa unit yang akan selalu siap dikirimkan kapanpun kalau saya perintahkan! "

"Siap pak! "

Setelah Nasution keluar dari ruangan, Soekarno langsung duduk dan memandang keluar jendela. Dimana, dia memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.

Kedutaan Besar Amerika Serikat

Howard Palfrey Jones, Duta Besar Amerika untuk Indonesia nampak bingung.

Setelah berhasil memenangkan konflik antara Pro Indonesia dengan Pro Belanda di tubuh Pemerintahan AS sebelumnya, dimana dia mewakili Pro Indonesia yang didukung oleh NSA, kini tiba-tiba saja Indonesia dan Nugini Belanda berada di dunia lain.

"Ini cukup sulit. "

Baik Belanda maupun Indonesia saling menahan diri, dengan menggunakan kedutaan besar Amerika sebagai tempat saling berkomunikasi dikarenakan Soekarno telah memutus hubungan diplomatik dengan Belanda sebelumnya. Dengan begitu, Amerika selaku Sekutu Belanda dan memiliki hubungan baik dengan Indonesia melalui Duta Besarnya, Jones mencoba untuk memfasilitasi hubungan komunikasi di antara keduanya.

Jangan sampai ada pertempuran, adalah prioritas utama.

"Apakah Indonesia akan menginvasi? " Tanya Sersan John dari US Marine yang bertugas menjaga kedubes bersama unitnya.

"Sepertinya tidak. Soekarno berkata tadi malam bahwa dia akan menahan diri selama Belanda tidak memprovokasi, dan dia akan menghormati New York Agreement. "

"Begitu."

"Lagipula, Nasution juga telah mengatakan bahwa dia tidak ingin membuang-buang amunisi yang terbatas. "

"Dalam menghadapi situasi yang tidak jelas ini, baik Soekarno maupun Platteel saling menahan diri mereka masing-masing. Soekarno tahu bahwa menyerang Nugini akan berakhir dengan kemenangan Indonesia, namun itu akan membuang sumber daya yang berharga sementara ini masih bisa diselesaikan dengan baik-baik. "Lanjut Jones.

Seseorang berjalan mendekat ke arah mereka.

" Dan Belanda sendiri cukup khawatir mengenai kemampuan pertahanan mereka. 1 Destroyer sedang melakukan perawatan di Den Helder yang mana terletak di tanah air mereka, sementara 1 kapal selam tidak jadi dikirim. " Ucap seorang anggota CIA.

"Begitulah, terlebih lagi Soekarno mengatakan bahwa tidak semua kapal yang dibeli dari Soviet telah sampai di Indonesia, dan yang telah sampai pun tidak semuanya sudah siap. Baik Indonesia maupun Belanda berada dalam kondisi yang tidak baik. "Ucap Jones menyimpulkan.

Sersan John mengangguk.

" Lalu, Jones, ada satu hal. "

"Apa itu Mark? "

Anggota CIA yang bernama Mark langsung membuka mulutnya dan berkata, "Ada sebuah kapal selam US Navy yang sedang berlabuh di Biak saat ini. Kita harus melakukan sesuatu mengenai mereka. "

Jones yang mendengar itu langsung tertawa kecil.

"Yah, Platteel sudah mengatakan soal itu. Aku sudah meminta kepadanya untuk menjaga dan merawat mereka untuk sementara waktu. "

"Baiklah kalau begitu. Bagaimana dengan Soviet? "Tanya John.

" Itu sedang diurus oleh Michael. "Jawab Mark.

Kedutaan Besar Uni Soviet

4 September 1962

Duta Besar Mikhailov sedang membolak-balikan lembaran kertas didepannya. Sesaat kemudian dia menaruhnya di meja, kemudian menatap orang yang berdiri di depannya.

" Ivan. "

"Ya! "

"Apakah informasi ini benar? "

"Ya kamerad! HNLMS Utrecht, De Ruyter dan De Zeven Provincien sedang maintenance di Den Helder, sementara HNLMS Zeehond tidak jadi dikirim. "

Melihat lagi ke arah laporan dari anggota KGB yang satu ini, Mikhailov mengambil kesimpulan bahwa Indonesia dengan bomber nya sudah cukup untuk melumpuhkan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Namun, menginvasi Nugini Belanda itu sudah beda urusan lagi.

"Soekarno harus mengambil keputusan dengan hati-hati, dan semoga saja dia masih berpikir dengan kepala dingin. " Ucapnya.

"Lalu ada satu hal lagi kamerad Duta Besar. "

"Apa itu? "

"Ada satu kapal selam nuklir Amerika yang sedang berlabuh saat ini di Biak. "

"Apa!? Apa yang mereka lakukan disana dengan kapal selam bersenjata nuklir? "

"Belum diketahui. Kapal ini adalah kapal selam bertenaga nuklir, dan kabarnya selalu membawa senjata nuklir setiap saat menurut Moskow. Ada kemungkinan mereka disana untuk menunjukkan dukungan mereka kepada Belanda, namun saya cukup meragukan itu. "

"Berarti, mungkin saja mereka disana disaat sedang dalam perjalanan. Tetapi, di Biak... "

"Mungkin mereka sedang dalam misi infiltrasi ke Indonesia. Haruskah kita melaporkan ini ke Soekarno? "

"Iya. Tetapi, apakah ada buktinya? "

"Ya. Boris! "

Seorang pria yang berdiri di sampingnya langsung membuka tas yang dia taruh di bawah, lalu mengeluarkan beberapa lembar dokumen. Salah satu dokumen itu dibuka, yang mana menunjukkan foto kapal selam US.

"Ini bukti-buktinya. "

Mikhailov langsung mengeceknya, dimana foto itu adalah fofo yang diambil dari udara. Kemungkinan besarnya berasal dari foto pesawat yang ditugaskan untuk recon yang mana itu merupakan pesawat Soviet dan dipiloti oleh pilot Soviet juga dalam misi mereka untuk membantu Indonesia. Terdapat juga keterangan bahwa foto itu diambil pada tanggal 29 Agustus 1962 pukul 11 lebih satu menit waktu setempat.

"Baiklah. Aku akan menyerahkannya besok. "