4. Me$um di pondok tengah sawah

Di pondok tengah Sawah

"Aku bilang juga apa Mur, kamu tuh cuma dimanfaatin sama keluarganya Karto. Lagian kamu tuh ya, masih muda, cantik, pinter bahasa enggres juga. Ngapain kamu mau dinikahkan sama Karto yang mokondo- modal Kent! doang- itu. Nggak liat kamu muka emaknya, dah kek setan pesugihan!"

Sarti ngomel nggak berenti berenti sejak Murti minta izin nginap di rumahnya.

"Untung lakiku lagi tugas Mur, kamu bisa menginap di sini, kalau lakiku di rumah ya nggak akan aku izinkan kamu nginap di sini. Tar kalau lakiku liat kamu bening begini bisa bisa dia khilaf. Mending kamu pergi lagi aja Mur keluar negeri, cari sana pangeran Arab!"

Mendengar ucapan Sarti kali ini, Murti yang santai makan keripik pisang langsung keselek.

Uhuk uhuk!

Sarti langsung menyodorkan minum. "Loh kenapa. Kali aja ada pangeran Arab butuh selir, kamu daftar aja Mur, daripada dapat label janda bekas Karto, mending jadi selir pangeran Arab!"

"Jangan ngaco deh Sar!" Desis Murti setelah minum.

"Ngaco gimana aku Mur, daripada kamu balik lagi ke kampung ini dan jadi babunya keluarga Karto. Kamu tuh nggak sadar apa Mur. Dari zaman kamu sekolah kamu disuruh jualan nasi uduk sama es lilin, duitnya dipakai karto jajan dan traktir teman-teman. Alasan aja mereka tuh angkat kamu jadi anaknya padahal itu mereka cari babu gratisan!"

Murti paham betul apa yang diomongkan Sarti adalah benar tapi masalahnya adalah dia udah nggak punya uang lagi, dan kalau dia mau berangkat lagi ke Arab dia harus nunggu panggilan dulu karena nggak mungkin langsung dapat majikan.

"Aku minta tolong lah sama kamu Sar, kasih aku tempat tinggal lah selama 1 bulan sampai aku dapat panggilan kerja lagi ke luar."

"Lama amat Mur, laki ku keburu balik. Lagian apa kata orang nanti!"

"Terus aku harus kayak gimana Sar. Kamu teman satu-satunya yang aku punya. Lagian Karto itu nggak bakalan berani sama kamu, cuma kamu tempat Aku berlindung."

"Yaelah Murti, aku nih udah punya suami. Udah gak bisa melindungi kamu kayak zaman kita sekolah dulu. Kamu tuh jadi wanita harus kuat dong. Hempaskan butiran-butiran debu yang menempel kayak lintah di badan kamu itu. Kamu pasti bisa punya masa depan lebih baik Kalau lepas dari keluarga itu. Mereka tuh cuma menghisap darah kamu!"

Murti setuju sih dengan ucapan Sarti tapi masalahnya dia belum begitu berani seperti Sarti.

Tok tok tok!

"Tuh ada yang datang. Aku bukan pintu dulu ya. Kamu makan yang banyak ya, ampun badan kamu kurus begitu Kamu nggak lihat apa ini badan aku dikali 3 badan kamu!"

Murti mengangguk pelan, mempersilahkan Sarti membuka pintu sementara dia melanjutkan makan di meja makan ruang tengah.

"Sar, aku tahu pasti Murti ke rumah kamu kan. Suruh dia keluar Sar aku mau ngomong sama dia!"

Murti bisa mendengar suara karto di depan sana, nggak tahu kenapa dia mual mendengar suara Karto dan langsung lari ke kamar mandi.

"Nggak ada Murti di sini. Lagian kamu Karto emangnya kamu nggak punya malu apa, Kamu tuh yang salah! Kamu udah selingkuh dari Murti! Sekarang lepasin aja deh Murti dan kamu bisa kawin tuh sama selingkuhan kamu! Aku tuh dari dulu tahu kalau kamu itu Playboy dan pengecut tapi dasar Murti-nya aja bego! Kalau aku jadi Murti, nggak bakalan Aku mau nikah sama kamu, kamu tuh udah bekas orang!" Sarti puas ngata-ngatain Karto sambil menunjuk-nunjuk wajah Karto.

"Ya aku juga nggak bakalan mau nikah sama kamu Sarti, badan kamu udah kayak gajah!"

"Apa kamu bilang!"

Buk! Sarti langsung memukul pundak Karto dan membuat pria itu meringis.

"Ampun Sarti, aku ngaku salah aku yang khilaf, sekarang di mana Murti Aku pengen ngomong langsung sama Murti. Aku janji nggak bakalan mengulangi kesalahan yang sama, aku bakalan tobat asalkan Murti mau nerima aku lagi!"

"Udah pergi sana kamu Karto. nggak ada Murti di sini!" Sarti terburu-buru menutup pintu rumahnya Tapi Karto menahan pintu itu.

"Aku yakin Murti pasti ke rumah kamu. Ayolah sar, aku mohon bantuan kamu Masa kamu mau sih lihat kami bercerai."

"Ya aku mau lah lihat kalian bercerai bahkan itu doaku di setiap malam!"

"Sar kamu bercanda kan. Tolonglah kasih aku waktu, semua orang berhak dikasih kesempatan kan sar!"

"Semua orang tapi bukan kamu Karto!" Sarti benar-benar jengkel.

"Aku mohon sar kali ini aja. Aku janji deh bakal urusin surat-surat laki Kamu setiap kali dia mau jalan. terus aku juga bakalan urus semua administrasi kewarganegaraan kamu supaya cepat hanya dalam satu jam kelar!"

"Kamu nggak bisa nyogok aku!" Sarti tambah marah.

"Ya ampun sar, terus apa dong yang bisa aku lakuin buat kamu asalkan kamu kasih aku kesempatan ngobrol sama Murti. Kalau aku udah ngobrol sama Murti terserah Murti deh dia mau ceraikan aku atau dia mau gimana yang penting aku sudah berusaha tapi kalau kayak gini artinya kamu nggak kasih aku kesempatan berusaha memperbaiki kesalahan aku dong sar."

Karto itu memang paling pintar bermain dengan kata-kata itulah mengapa banyak cewek yang klepek-klepek sama dia.

Sambil memijat dahi Sarti akhirnya mengalah. "Pokoknya aku bakalan jadi orang ketiga mendengar obrolan kalian dan jadi saksi hidup. Aku cuma kasih kesempatan ini untuk terakhir kalinya ya. Kalau sampai kamu nyakitin Murti lagi, Aku nggak tahu bakalan gimana sama kamu to! Benci aku tuh sama kamu!"

"Iya Sarti aku paham, aku minta maaf, aku benar-benar khilaf tapi kamu tahu kan kalau aku itu memang cinta banget sama Murti. Aku nggak bisa hidup tanpa Murti. Aku selingkuh itu juga karena aku kesepian dan terus membayangkan Murti sampai akhirnya tuh aku khilaf padahal sebenarnya di kepala aku itu hanya ada Murti."

"Alah, Ya sudah kamu tunggu disini dulu biar aku panggil Murti-nya."

"Makasih ya Sar aku tahu kalau kamu itu orang yang baik."

Sarti tersenyum tipis. Ternyata pesona dan ketampanan Karto memang mampu memikat semua wanita di desa ini, dengan gaya lenggak-lenggok Sarti masuk ke dalam rumahnya.

"Mur, Murti!"

***

Hosh hosh….

Ngos-ngosan Murti berlari dari pintu belakang rumah Sarti melewati kebun dan persawahan, berkali-kali Dia hampir jatuh di pematang sawah karena sudah lama tidak berjalan di tanah tanpa alas kaki, dia nggak peduli kakinya luka dan lecet Yang penting dia nggak ketemu dengan Karto.

Hosh!

Tersengal-sengal dia mengelus keringat yang membanjiri wajahnya. "Semoga aja dia nggak ngejar aku. Soalnya aku nggak yakin Sarti bisa lolos dari rayuan maut Karto."

Sambil cemberut, Murti terus berlari. "Bodoh banget aku bisa terjebak dalam pernikahan dengan karto padahal aku tahu banget kalau dia itu Playboy. Ini semua karena emak sama bapak, tapi benar kata Sarti aku harus membebaskan diri dari semua belenggu itu, kalau nggak mau sampai kapan aku kayak begini. Bisa-bisa sampai tua hidupku menderita, Dan hasil kerja kerasku nggak bakalan pernah ada!"

Melihat di kejauhan ada pondok di tengah sawah, Murti segera melanjutkan langkahnya tapi rasa perih di kaki bercampur dengan kerikil panas diterpa matahari membuat Murti meringis. Dia memeriksa telapak kakinya yang berdarah.

"Ya ampun, aku nggak sadar kalau kaki aku sampai luka begini." Katanya terpincang-pincang menuju pondok itu. "Sabar Mur, sedikit lagi sampai dikit lagi sampai," dia menguatkan diri sendiri.

"Kasihan banget ya aku. Sudah bekerja dari dulu dari kecil bahkan sampai ke luar negeri tapi nggak punya apa-apa bahkan alas kaki pun gak ada. Sekarang selain baju di badan apalagi yang aku punya. Sarti tempat satu-satunya yang aku harapkan bisa tidur malam ini sepertinya nggak bisa diharapkan. Apa aku harus tidur di pondok itu malam ini?"

Murti mengasihani nasibnya.

Sesampai di pondok kecil itu dia langsung membersihkan luka di telapak kaki. Ada sumur di sebelah pondok itu, dia mencuci kakinya sambil menahan rasa perih.

"Alah ini sih luka kecil, rasa perih dan nyerinya itu cuma sedikit, aku sudah biasa merasakan sakit dari aku kecil. Dipukuli sama emak sama bapak, disuruh dagang keliling desa, kalau dagangan nggak abis Nanti aku dicubit dan malamnya aku nggak boleh makan. Disuruh nikah sama Karto yang nggak aku cintai. Disuruh pergi ke luar negeri cari duit, tapi pulang-pulang malah diselingkuhin dan sekarang semua hartaku udah abis!"

Sambil meringis membersihkan luka, Murti meratapi nasibnya sambil tersenyum getir.

hatinya mendung sama seperti awan petang ini. matahari terik sudah hilang dalam sekejap.

"Mas, ini pondok siapa mas?"

Suara seorang wanita mengejutkan Murti. Bersamaan dengan deru sepeda motor butut.

Murti langsung bersembunyi di balik tumpukan kayu bakar.

"Ini pondok kosong dek, Malam ini kita nginap di sini ya. Ini sawah jauh dari mana-mana, aku udah survei, kita bakalan aman kalau mau ha-he-he di sini."

"Ah mas bisa aja deh… nanti gimana aku bikin alasan untuk orang tuaku Kalau sampai malam ini aku nggak pulang."

"Kamu tenang aja dek, Mas yang bakalan urus semua itu. Nanti mas bilang kalau di organisasi kita ada camping untuk pendalaman materi. Pasti nanti orang tua kamu kasih izinkan."

"Ah mas bisa aja deh kalau masalah bohong…"

"Tapi kamu setuju kan dek? Jangan cuma Mas aja yang mau, Mas nggak mau kalau kamu terpaksa."

"Ah Mas kalo aku jawab aku mau kan aku jadi malu…"

Murti merinding mendengar percakapan dua insan yang dimabuk cinta itu, dia membayangkan adegan Karto dan Tuti dan itu membuat perutnya kembali mual.

'duh kenapa sih banyak sekali buaya lepas!' batin Murti mencoba menahan diri supaya tidak muntah dan membuat suara yang mencurigakan. Dia bersandar pada tumpukan kayu bakar, Murti mengadakan kepalanya menatap langit sore yang berwarna hitam. Merenungi nasibnya.

Cup… cup… cup…

Suara kecupan dua insan yang memburu bersamaan deru nafas yang penuh dengan gairah, membuat Murti merinding dan rasa mualnya semakin menjadi-jadi.

"Oo… oeek!!"

Murti menutup mulutnya mencoba menghentikan suara supaya tidak membuat dua insan yang sedang melakukan hal tak masuk akal di dalam pondok terganggu.

Oeek! Tapi rasa mual itu semakin menjadi-jadi.

Byuurr!!

Bersamaan suara muntah, langit juga memuntahkan air dalam volume deras, suara Murti menjadi samar, suara adu bibir di dalam pondok juga menjadi samar.

"Syukurlah…" desis Murti pasrah, dia terus bersandar dengan wajah pucat dan lemas, tak sadar kalau pakaiannya sudah basah terkena tetesan air hujan.

"Ahhh… mas, pelan pelan dong…"

"Pelan dek, ini mas pelan… tapi hujannya yang deras dek, jadi dingin, mas cepetin dikit ya biar kita hangat."

"Uuhh… ah… maaaassss…."

Murti menutup telinganya, air matanya jatuh… yang terbayang adalah Karto yang menggagahi Tuti, dia yakin kalau dia tidak jatuh cinta dengan Karto tapi kenapa perselingkuhan itu membuat hatinya sakit seperti teriris-iris sembilu.

"Mass, akhh… mass… uh…"

"Enak dek… enak? Teriak aja dek! Nggak ada yang dengar kita sekarang! Teriak yang kencang dek!"

"Akh! Mass!!!"