Galau

Pov Tante Sarah.

Dentingan suara sendok almunium yang beradu dengan gelas kaca seolah jadi irama musik alami yang membuatku semakin larut dalam kesedihan. Sepi ...

Itulah yang kurasa saat ini. Menjadi janda di umur tiga puluh dua hanya karena sulit punya anak dan suami selingkuh. Bukan, akulah Si Madu. Ya ... ternyata akulah wanita selingkuhannya.

Lucu bukan?

Ya, mereka bilang kalau aku ini adalah seorang pelakor. Padahal nyatanya aku tak tau ia sebenarnya sudah memiliki istri.

Belasan tahun bekerja di luar negeri dan sama-sama jatuh hati pada pekerja laki-laki yang juga berasal dari satu negara denganku.

Kang Hasan, itulah panggilan kesayangan untuknya. Karena merasa ia punya usia yang sama denganku, juga merasa cocok dan ia sering bersumpah jika masih single. Siapa yang menyangka jika itu dusta belaka?

"Huffffttt!"

Kembali kusesap lemon tea hangat yang baru saja kubuat. Seketika tenggorokanku menghangat saat cairan kemerahan itu membasahi bagian dalam mulut dan masuk ke dalam perut.

"Kang Hasan ...," lirihku.

Kembali wajah itu terbayang di pelupuk mata. Sikapnya yang baik, rajin beribadah dan juga amat santun itu ternyata menyimpan banyak kebohongan untukku.

Biduk rumah tangga yang baru saja seumur jagung, dua tahun, harus kandas karena sebuah slip gaji yang memang selama ini tak pernah ia tampakkan padaku.

Ya, karena aku juga masih bekerja, dan tak perduli dengan gajinya. Bagiku, gajiku sendiri sudah lebih dari cukup untuk diriku dan juga dirinya.

Banyak teman yang mengatakan bahwa aku ini bod*h karena mau memakai uangku untuk biaya rumah tangga, tapi pada saat itu kebucinan sudah membuatku gelap mata.  Bukankah wajar jika istri membantu perekonomian keluarga?

Namun, Tuhan punya cara jitu untuk membuatku membuka mata dan melihat kebenaran. Pantaslah selama ini aku amat susah punya anak, tapi Kang Hasan biasa saja. Tak banyak menuntut apalagi berkeluh kesah.

Berulang kali ia ucapkan jika memilikiku sudah cukup baginya. Karena aku adalah prioritas dan tak akan tergantikan. Rupanya itu hanya rayuan gombal semata!

Jelang habis kontrak dan kepulangannya ke Indonesia, aku sering memperhatikan ia berbincang dengan seseorang di telepon. Sering terkekeh dan sembunyi-sembunyi. Apa-apaan, itu?

Saat ia tertidur dan melihat kontak yang sering menelponnya, aku hanya melihat satu nama saja, Fikar. Nama laki-laki tapi membuatku begitu terusik. Apa ia seorang penyuka sesama? pedang-pedangan? owhh, tidak!

Saking penasarannya, nomor telponnya ku save dan berencana menghubungi nomor tersebut di lain waktu, saat senggang tentunya.

Kebenaran rupanya tak dapat di tutupi begitu lama dengan kedustaan dan kebohongan. Bagaimanapun aku dan dia menikah secara agama, atau bisa disebut pernikahan 'siri', karena rencana pulang ke Indonesia kami akan menikah resmi.

Ya, mungkin sudah nasibku menjadi janda, karena saat ku telpon nomor itu, suara wanita dan anak kecil yang menyahut dari ujung sana.

Terdengar mereka amat sopan menyambut dari sana. Selembut dan setenang mungkin aku bertanya siapa mereka dan apa ketertaitan dengan suamiku, walaupun dalam hatiku seperti ada bara yang terbakar, panas,  dan membuat jiwa melepuh seketika .

Hanya deraian air mata yang sedari tadi sudah menganak sungai yang keluar saat mendengar siapa sebenarnya pemilik suara lembut dan menenangkan di ujung sana. Ya, dengan jelas dan lugas, ia menyebut dirinya sebagai 'istri' Kang Hasan dan mereka sudah punya anak dua.

Dengan tangan menutup mulut, aku menahan isakan karena tak ingin wanita diujung sana tau siapa diriku ini sebenarnya, berdalih hanya ingin bertanya kabar sebagai teman semasa SMA, aku pun bisa dengan lancar bertanya padanya. Beruntung, ia wanita yang amat lembut dan sepertinya tidak menaruh curiga.

Wanita mana yang ingin didustai? mungkin memang ada yang bercita-cita jadi pelakor, tapi itu bukan aku.

Itulah mengapa di usia hampir menginjak tiga puluh tahun baru memutuskan untuk menikah dan menjalin hubungan serius dengan lelaki. Selama ini hanya sibuk bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi dollar.

Jangan tanya bagaimana rasanya hati ini. Luluh lantak dan tiada lagi sisa cinta untuknya.

Di mana perasaanku sebagai sesama wanita? istrinya di sana pasti susah. Menghidupi dua anak sekaligus tanpa adanya pendamping, sedangkan orang yang ia nanti sedang asik bermesraan dengan wanita lain. Bagaimana jika aku berada di posisinya?

Mau berpisah pun pasti sulit karena ada ikatan anak. Mereka yang akan menjadi korban dari keegoisan Kang Hasan semata.

Aku menggeram saat itu, tangisku pecah dan ingin melempar semua benda. Namun, semua itu aku urungkan. Untuk apa menangisi seorang penghianat? merusak semua barang yang ku beli dengan susah payah? bodoh!

Dan ... inilah yang terjadi padaku saat ini. Menjadi janda yang mohon maaf, punya penghasilan sendiri. Aku tak mau terpuruk lebih lama dan segera bangkit.

Uang tabungan selama bekerja di luar negeri, kugunakan sebagai modal untuk membuka toko online dan juga toko yang menjual segala perabotan. Memilih untuk tinggal sendiri agar tak banyak yang mengetahui masa laluku yang sebagai madu, atau pelakor lebih tepatnya walau itu bukan inginku.

Semua karena mulut manis seorang lelaki yang pandai mempermainkan hati wanita lemah sepertiku.

"Hhhmmhh!"

Kembali kuhembuskan napas menahan sesak di dada. Di saat bersamaan mataku tak sengaja menangkap sekelebat bayangan yang baru saja lewat di depan rumahku.

Bayangan yang selama beberapa hari ini sempat membuat hatiku tergetar bila dekat dengannya. Entahlah, aku sendiri merasa aneh dengan gelanyar yang tiba-tiba hadir saat bersamanya.

Sosoknya yang tampan mengingatkanku pada artis korea favoritku, So Ji-sub. Aku benar-benar tergila-gila padanya berkat serial Mister Sun.

Ah, entahlah. Berawal dari ke-alayan, kata anak jaman sekarang, mungkin karena itu, selalu berdebar-debar jika dekat dengannya.

Sembari mengulas senyum yang merekah tanpa kusadari di wajah polosku, aku menatap sosok itu hingga hilang dari pandanganku.

Seketika hayalan itu muncul. Bagaimana jika suatu saat dia dan aku menjadi satu?

"Ha-ha-ha! pemikiran bodoh apa itu?bangun Sarah! bangun!" aku berbicara pada diriku sendiri.

Pikiranku mulai menggila. Membayangkan tubuh indah dan otot mencuat yang bila disentuh akan menyebabkan getaran halus di hatiku.

Aku mengusap wajahku kasar. Apa yang kurasa ini cinta pada pandangan pertama? tapi, mana mungkin wanita seumurku menyukai lelaki muda yang jauh berada di bawahku? apa pendapat orang-orang di sekitarku nantinya? keluargaku?

Perasaan ini harus segera ku buang! aku tak ingin kehidupan pahitku kembali terulang lagi. Cukup satu kali merasa terhina, dan tak ingin itu kembali. Cinta hanya membuat hidupku hancur! aku ... tak ingin jatuh cinta lagi!

****