bertemu

Tidak pernah tahu kapan pastinya aku bertemu dengan pria ini, ingatan terjauhku mengenainya berhenti di hari ketika pengambilan hasil nilai akhir semester pada tahun pertamaku sekolah.

Ia datang bersama Ibu dari Miki, melintasi koridor dengan santai tetapi posturnya tegap sembari mengikuti langkah kaki wanita di depannya dengan tenang.

Aku terkejut mendapati pria muda ini adalah Ayah dari teman baruku, ia terlalu muda untuk menjadi seorang ayah dari gadis berusia lima belas tahun. Seharusnya jika memang ia adalah sang ayah, setidaknya ia berusia tiga puluh lima tahun. Kuhitung berdasarkan perhitungan asal jika ia menikah muda saat berusia dua puluh tahun.

"Bokap lo muda banget?" tanya salah satu teman sekelas kami yang tidak pernah ragu untuk menanyakan apa yang menganggu pikirannya. "Ganteng." lanjutnya lagi dengan kekaguman yang nyata.

Saat itu Miki tertawa, lagi-lagi dengan canggung. Ia menghentikan tawanya ketika menjawab itu adalah sepupunya. Lalu ia menolehkan pandangannya padaku. "Itu Om Raihan, tahu! 'kan sering ketemu di rumah gue." jelasnya.

Lalu tersadarlah aku bahwa itu adalah pria yang sesekali kudapati berlalu-lalang di koridor rumah temanku setiap kali aku sedang menghabiskan waktu di sana, ia terlihat lebih rapi hari ini dibanding biasanya.

Mungkin itu adalah kali pertama aku melihatnya dengan jarak sedekat itu, kira-kira dua sampai satu meter, juga kali pertama aku melihatnya dengan cahaya yang cukup terang dan jelas.

Selama ini aku hanya melihatnya dari jauh dengan pencahayaan rumah tersebut yang cukup redup, itu pun hanya bagian samping dari dirinya.

Sejak saat itu aku mulai mengenali wajahnya setiap kali berkunjung ke rumah Miki, ia memiliki jenis wajah yang mudah untuk diingat bahkan untuk ukuran orang sepertiku yang acap kali melupakan wajah seseorang.

Aku ingat suatu hari sepulang sekolah, aku dan teman-temanku menonton film bersama di ruang tamu Miki. Kami memilih film horor, aku yang memberi rekomendasi film hingga akhirnya di pertengahan teman-temanku menganggap film ini lebih mengerikan dari film horor.

"Ih selera lo mirip Om Raihan!" kata Miki ketika ia akan mengganti film.

Aku hanya tertawa mendengarnya, tawaku berhenti ketika orang yang dimaksud temanku itu secara tiba-tiba melintasi ruang tamu dan merasa terpanggil.

Ia menoleh sedikit ke arah kami. Tak menyangka ia cukup berani untuk tetap terus maju ke arah kami saat itu, tentu saja aku cukup bodoh untuk berpikir ia ke sini hanya untuk bertanya ada apa, Ia sudah jelas akan mengambil sesuatu di meja ruangan ini.

Pengisi daya ponsel diraihnya ketika sudah cukup dekat, melihat ke arah televisi seraya berkata "Ini seru tahu."

Jadi benar, ia memang menganggap film horor ini juga bagus, sama sepertiku.

Selain menikmati selera film yang hampir mirip, ternyata ia juga pandai memasak. Seolah pria ini memiliki 1001 cara untuk mempesona gadis kecil sepertiku.

Pernah satu kali ketika kami mengadakan pesta BBQ yang lagi lagi diadakan di rumah Miki, aku mendapatinya sedang memotong daun ketumbar di dapur saat aku akan mengambil air minum di lemari es.

Aku terkejut melihat ada orang yang membuat sendiri saus salsa dan bukannya mengkonsumsi buatan pabrik yang lebih mudah didapat. Jadi di sana lah aku memperhatikannya mencincang daun ketumbar.

Melihat bahan-bahan di mangkuk besar itu aku sudah tahu produk akhir dari hal yang sedang dikerjakannya adalah saus salsa seperti yang kusebutkan tadi, tetapi aku akhirnya berusaha basa-basi dengan bertanya ia akan membuat apa hanya karena kami berpapasan di dapur dan aku merasa canggung jika tak menyapanya.

"Saus salsa, suka nachos ngga?" jawabnya diiringi pertanyaan dengan suara yang ramah.

Ia memalingkan perhatiannya dari mangkuk bahan ketika menjawab pertanyaanku, lalu memberi sedikit senyuman ramah ketika melontarkan pertanyaan.

Ini kali pertama kami berbincang, menyapa pun hampir tidak pernah, setiap interaksi sebelum hari ini hanya sebatas saling tatap dengan ramah yang canggung.

"Suka." jawabku tanpa berusah menutupi kegembiraanku setiap kali ditanya seputar makanan yang kusuka.

Dan mungkin ketika itu pun aku jatuh hati pada pria di depanku ini, pria yang sayangnya memiliki jarak umur terlalu jauh denganku, pria yang juga akan pergi melanjutkan pendidikannya di benua lain.