WebNovela Daydream100.00%

Jarak

Tentu saja selain memiliki selera yang bagus dari segi film dan makanan, ia juga memiliki hal luar biasa lainnya untuk mempesona gadis kecil sepertiku.

Beberapa saat setelah aku meninggalkan dapur, Miki menanyakan keberadaan sepupunya itu dan kujawab sedang membuat saus salsa lalu ia lagi lagi memberikan informasi penting tidak penting yang entah kenapa aku tidak pernah merasa muak mendengarnya.

"Pas udah mau pergi baru baik ke sepupunya," keluhnya. "Pergi ke mana?" tanyaku yang tertarik dengan pembicaraan ini. "Oh? Gue belum bilang ya, dia kan mau lanjut kuliah di Toronto."

Lalu pandanganku kembali ke dapur, meski tidak langsung melihat pria itu, aku terheran-heran mendengar informasi tersebut.

Pria itu tidak terlihat seperti pria tangguh yang kuat dengan perubahan esktrim. Bagaimana ia akan bertahan di negara asing, kota yang juga asing ketika wajahnya terlihat seperti wajah orang mudah kena tipu. Membayangkannya saja sudah cukup mengherankan.

Ia memiliki wajah yang teduh dengan tatapan mata yang juga sama teduhnya, suaranya terdengar tenang hingga ketika mendengarnya bicara seolah suaranya sopan memasuki indra pendengar seperti mengetuk pintu dan membungkukkan badan untuk memberi hormat.

Mungkin memang seperti itu pria seusianya berbicara, lembut dan tenang. Mungkin juga karena aku tidak terlalu mengenalnya. Karena meski aku baru satu kali berbicara dengannya, aku sudah sering mendengarnya bercakap-cakap dengan Miki.

Awalnya aku tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan mengenai pria itu jadi aku mendengarkan tanpa banyak menyela informasi yang sedang dicekokkan padaku oleh Miki.

Informasi tersebut antara lain pria itu memiliki jarak usia yang cukup jauh denganku, ia sudah pernah menempuh pendidikan di negara ini dan merasa tidak puas karena itu adalah jurusan yang diminta orangtuanya untuk ditempuh, jadi ia mengambil pendidikan lain di luar negeri untuk memuaskan keinginannya mengejar ilmu yang didambanya.

Terlihat seperti tipe pria yang akan membuat gadis kecil jatuh hati, bukan? Karena memang kenyataannya begitu.

Ia juga ramah pada orang lain, cara bicara dan tutur katanya lembut pada setiap orang. Menurutku ia adalah contoh dari pria baik di dunia yang penuh orang jahat ini.

Pernah satu kali aku bercanda dengan Miki bagaimana jika aku pacaran saja dengan pria bernama Raihan itu agar kami bisa terus berteman sampai tua nanti karena kami sudah terlanjur menjadi saudara secara hukum, Miki tertawa mendengarnya lalu mengiyakan hal tersebut dan mulai menceritakan banyak hal mengenai Raihan, atau ia lebih sering memanggilnya dengan Om Rai.

Sepertinya keputusanku untuk bercanda saat itu harus disesali selama beberapa waktu ke depan karena ketika ulang tahunku, saat itu kami sedang bermain di rumah Miki, mereka memberikan kejutan untukku hari itu.

Kejutan yang cukup memalukan.

Tanpa diduga Miki meminta Raihan untuk membawakan kue sambil menyanyikan ulang tahun, aku terheran kenapa ia mau melakukan hal konyol seperti itu untuk anak kecil di ulang tahun ke tujuh belasnya.

Ia berjalan perlahan dengan kue yang penuh dengan buah sebagai toppingnya, lilin di tengah kue tersebut terbakar perlahan-lahan, menggambarkan wajahku yang pasti terlihat merah padam karena malu dan salah tingkah.

Aku terdiam ditempatku duduk, sementara teman-temanku sibuk mengabadikan momen sambil sesekali meledekku. Aku terlalu terkejut untuk bereaksi, pasti terlihat konyol sekali.

Pria itu terlihat acuh tak acuh ketika memberikan kue tersebut, ia juga pasti berpikir hal ini konyol.

Hari ini pakaiannya masih sama seperti hari-hari biasanya ketika aku melihatnya di rumah ini, hanya kaus biasa yang kali ini terlihat agak kebesaran di tubuhnya yang ramping. Langkah kakinya kecil seolah pelan-pelan menunggu reaksiku sambil berusaha mendekat.

Aku terkejut.

Aku masih terkejut dan salah tingkah.

"Maaf, Om Raihan. Sini aku pegangin." pintaku menjulurkan kedua tanganku meminta kue tersebut untuk diberikan padaku saja, tak perlu ia yang memberikan karena aku pasti akan malu seumur hidup rasanya.

Ia tidak mendengarkan. Dan ketika ia sudah begitu dekat untukku meniup lilin, ia tersenyum, begitu pun aku dengan senyum canggung dan malu.

"Happy birthday, Serena."

Ucapnya di akhir lagu dengan sengaja menambahkan namaku di akhir lirik, membuatku semakin tidak tahu harus berbuat apa.

Gila sekali.