Hujan panas membuat pandangan sakit. Halte di dekat kampus begitu ramai karena banyak orang yang berteduh. Begitu juga dengan toko-toko di seberang jalan. Semua orang sedang berlindung sambil menunggu hujan reda. Namun, tidak dengan gadis pemarah nan ceria bernama Derima Candranika Eriya. Dia berlari melintasi halte begitu saja. Ransel digunakan sebagai payung tidak membuatnya terhindar dari hujan. Meskipun seluruh tubuhnya basah kuyup, dia terus berlari agar sampai di tempat tujuan, yaitu kantor polisi.
"Ck, sial! Andai aja ada orang baik yang mau ngasih tumpangan. Waktunya nggak cukup buat nungguin bus lewat, jadi gue pilih lari aja. Kenapa paman manggilnya tiba-tiba banget, sih?! Kalau gini gue kayak pahlawan super yang menerjang hujan badai demi keadilan! Ah, nyebelinnya!" gerutu Candra di sela larinya.
Dia terus berlari tanpa peduli betapa sakitnya hujan panas menghantam. Sekarang pukul dua siang. Masih ada sepuluh menit untuk Candra tiba di kantor polisi tepat waktu. Jika tidak, dia harus menerima hukuman dari sang paman berupa ceramah tentang cinta. Bagi Candra itu membosankan dan akan memakan waktu berjam-jam. Lalu, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depan Candra. Pintunya terbuka menghadang jalan Candra. Terpaksa gadis itu harus berhenti dan berdecak marah.
"Hei, ngapain, sih, berhenti gitu aja? Buruan, minggir-minggir! Mobil lo menghalangi jalan gue tau! Gue buru-buru, nih!" Candra mendekati mobil itu.
Seketika dia terbelalak melihat sosok yang keluar dari mobil sambil memakai payung hitam. Mulut Candra tidak bisa terkontrol sehingga terbuka lebar.
"Pak Wisnu?! Bapak ngapain di sini?!" Candra memekik membuat orang di hadapannya mendelik. Ternyata dia adalah dosennya.
"Dasar merepotkan! Ayo masuk, saya antar kamu!" orang yang dipanggil Wisnu oleh Candra itu menunjuk pintu mobil dengan dagunya. Ekspresinya datar seperti biasa.
Candra berkacak pinggang, "Ck! Terima kasih, Pak, tapi nggak perlu. Jangan sok jadi pahlawan buat mahasiswa bodoh kayak saya. Permisi!"
Candra melenggang pergi tak peduli, tetapi Wisnu menghadangnya lagi membuat Candra melotot.
"Bapak tolong minggir, deh. Ntar bapak sakit, loh." ujar Candra sabar. Namun, Wisnu tidak bereaksi.
'Aduh, ini dosen nyebelin banget, sih! Waktu gue keburu habis, nih! Suka banget nyari gara-gara sama gue,' batin Candra.
"Pak, maaf saya harus pergi secepatnya. Kalau ada yang mau disampaikan sama saya, lain waktu saja, Pak. Saya lagi mau menghargai waktu dan nyawa. Jadi, tolong minggir!" Candra menarik napas dalam-dalam masih dalam tahap kesabaran ekstra.
"Berapa waktu yang kamu punya?" tanya Wisnu tiba-tiba.
"Ha?" Candra memekik.
"Sisa waktumu, Candra," jelas Wisnu lagi.
Candra mengerjap dan melihat jam tangannya, "Oh, kurang dari sepuluh menit. Ayolah, Pak, jangan tahan saya kali ini aja."
"Cepat masuk!" tanpa basa-basi Wisnu menarik tangan Candra agar masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya keras. Tidak peduli seberapa kuat Candra memberontak dan berteriak. Wisnu segera berputar ke pintu yang lain.
"Penculikan! Pak Wisnu nyulik saya! Pak, Bapak nggak bisa kayak gini. Buka pintunya, Pak. Salah saya apa coba? Jangan culik saya!" Candra heboh di dalam mobil bahkan ketika Wisnu sudah menyalakan mesin mobilnya.
Wisnu menoleh dan memberikan payung hitam itu ke pangkuan Candra, "Mau ke mana?"
"Hah?!" Candra bingung untuk kedua kalinya.
Wisnu memutar bola mata jengah, "Kalau kamu lama mengatakan tempat tujuanmu, akan semakin memakan waktu."
Candra mengerjap dua kali, "Oh, beneran mau nganter? Baiklah, melaju secepat mungkin, Pak Wisnu! Menuju kantor polisi!" teriak menunjuk jalanan depan dan seketika Wisnu menjalankan mobilnya sampai Candra hampir tersungkur.
"Wow, cepat banget!" pekik Candra. Tanpa sadar dia menggenggam erat payung Wisnu.
"Kantor polisi? Terlalu dekat. Karena itu kamu lari hujan-hujanan?" tanya Wisnu sambil fokus pada jalan raya.
Candra mengangguk, "Iya, soalnya waktunya mepet."
"Keluargamu bakal dipenjara?" tanya Wisnu tanpa beban.
"Jelas nggak, lah, Pak! Ih, ngomongnya nggak pernah disaring dulu!" spontan Candra menoleh.
"Sebentar lagi sampai. Saya cuma mau bilang kalau hujan jangan lari-larian, takutnya kecelakaan. Soalnya trotoar di sini nggak terlalu lebar. Belajarlah berteduh kayak orang lain, bukannya memaksakan diri. Satu hal lagi, kamu hutang budi sama saya," dengan wajah datarnya Wisnu membuat Candra ternganga.
Candra membuang payung Wisnu ke kursi belakang, "Oke, Pak Wisnu! Terima kasih sarannya dan terima kasih sudah membuat saya berhutang sama Bapak. Tenang saja, pasti akan saya bayar. Untung saya masih sayang nilai, Pak. Kalau enggak saya pukul wajah lempeng Bapak habis-habisan!"
Candra memang tidak memiliki sungkan lagi pada Wisnu karena Wisnu selalu memberi nilai jelek di setiap tugas mata kuliahnya, padahal Candra sudah sangat bekerja keras mengerjakannya. Tidak diduga Wisnu menoleh dan tersenyum manis, bertepatan dengan mengehentikan mobil tepat di depan kantor polisi.
"Oh, jadi kamu lebih suka saya tersenyum? Manis sekali! Terima kasih atas perhatiannya." senyum Wisnu semakin manis.
Candra menepuk dahinya pasrah, "Terserah, deh! Saya nggak ngerti lagi harus ngomong apa sama Bapak. Terima kasih tumpangannya." buru-buru membuka pintu, tetapi pintunya masih dikunci oleh Wisnu. Dia protes, "Pak, bukain, dong!"
"Candra, kenapa kamu ke kantor polisi?" tanya Wisnu berubah serius.
"Bukan urusan Bapak!" jawab Candra tegas.
Tersirat betapa gugupnya Candra dengan urusan di kantor polisi meskipun waktu yang tersisa masih cukup banyak. Setelah itu, Wisnu membuka kunci pintunya dan Candra berhasil lari secepat mungkin menuju gerbang.
"Gadis itu tidak takut hujan." tanpa sadar Wisnu tersenyum rapi.
Semua itu hanya kebetulan. Wisnu tidak bermaksud menolong Candra, tetapi melihat Candra yang berlari sambil gelisah membuatnya mengalah. Lalu, dia pergi setelah Candra tidak terlihat lagi. Ketika Candra memasuki kantor tersebut, dia langsung menuju halaman belakang untuk menemui pamannya. Kedatangannya Candra memang menarik perhatian, terlebih lagi dengan kondisinya yang kehujanan. Namun, Candra bukanlah orang asing meskipun bukan bagian dari kantor itu.
Napas Candra terengah, tetapi sang paman tertawa tanpa merasa kasihan. Tentu saja Candra marah. Dia mengeluarkan semua barangnya yang ada di ransel. Sebagian dari mereka basah, tetapi masih bisa diamankan. Lalu, Candra mengambil sebuah flashdisk yang dibungkus rapi dalam kondisi masih kering dan diberikan pada pamannya.
"Ini barang bukti semalam. Sesuai kesepakatan, dengan ini sudah selesai, 'kan? Candra mau istirahat sebentar, Paman! Seharusnya ini tugas Paman!" sedikit berteriak di akhir kalimat karena Candra tidak terima.
"Ahaha, maaf-maaf! Ah, baiknya keponakanku. Setelah ini istirahatlah sepuasnya! Paman janji nggak akan ganggu." pamannya Candra tertawa.
Candra hanya mendengkus lelah. Dia duduk di lantai sambil memandang hujan, membiarkan pamannya menilai barang yang dia bawa.
"Gimana kuliah kamu?" tanya sang paman.
"Hah, menyebalkan! Apalagi dosennya. Eh, tapi cuma satu doang, yang lainnya baik semua," jawab Candra tanpa memalingkan pandangan.
"Dosen? Emangnya dari semester satu nggak ketemu dosen itu? Kok, baru tau sekarang ada dosen yang jahat?" pamannya Candra heran.
"Soalnya baru ketemu di mata kuliah dia sekarang. Bukannya jahat, tapi nyebelin minta ampun. Ah, susah jelasinnya. Walaupun terkadang dia baik dan cara ngajarnya masuk akal," Candra menjadi lemas.
"Hmm? Yahh, apapun itu semoga lancar. Terima kasih kerja kerasnya. Selamat istirahat!" sang paman melambaikan tangan dan meninggalkan senyuman ketika berbalik badan dan pergi.
Candra hanya bergumam malas. Tidak menanyakan kabar dan tidak peduli bagaimana cara Candra mendapatkan sesuatu, begitulah cara kerja pamannya yang bernama Fika Radiansyah. Seorang detektif polisi yang berusia empat puluh tahun. Dia baik dan selalu tersenyum. Namanya yang seperti perempuan membuat Fika selalu tertawa dan menghibur sehingga dirinya tidak terlihat seperti seorang detektif polisi yang mungkin ditakuti banyak orang.
Sejak kecil, Candra dilatih oleh pamannya tentang ilmu bela diri. Bahkan hingga sekarang di usia Candra yang genap dua puluh tahun, latihan itu masih berlanjut. Candra menjadi gadis yang sangat kuat dan tidak mengenal takut. Keberaniannya bahkan diakui oleh seluruh penghuni kantor polisi. Karena itu, bisa dikatakan Candra memiliki dua identitas. Menjadi mahasiswa semester tiga fakultas ekonomi di salah satu universitas swasta Jakarta dan seorang relawan rahasia yang menumpas kasus misteri. Candra menyembunyikan pekerjaan sulitnya dari kehidupan nyata sebagai mahasiswa biasa. Dia selalu bersenang-senang saat kuliah, tetapi serius ketika melakukan pekerjaan rahasianya. Sang paman selalu memberikan misi pada Candra untuk memecahkan kasus misteri yang dapat membantu pekerjaannya. Candra tidak menolak karena dia menerimanya dengan senang hati. Alasannya, karena Candra tidak ingin ada orang yang tertindas lagi. Seperti yang dilakukan orang tuanya pada dirinya waktu kecil. Hingga akhirnya Candra dibesarkan oleh sang paman. Masa kelam Candra mungkin inspirasi tekat bagi Candra, tetapi ada kesenangan lain ketika melakukan tugas pribadinya yang dia sebut sebagai relawan detektif. Candra selalu tersenyum senang karenanya.
Merenggangkan tangan dan mendadak bersin membuatnya tertawa ringan. Menggosok hidungnya sampai merah. Badannya mulai terasa sedikit panas. Dia sudah menduga akan demam. Candra berdiri membereskan barang-barangnya kembali. Semua yang basah akan dijemur nanti.
Memakai ranselnya sambil memandang lurus ke depan, "Baiklah! Terus, gimana cara gue pulang?"
Mengerjap bodoh karena tidak meminta pamannya untuk mengantar pulang. Mendadak handphone di ranselnya berbunyi. Candra penasaran dan mengambilnya. Seketika matanya melebar ingin menutup panggilan telepon itu langsung karena tertulis di layar dengan jelas nama Abirana Wisnu Sanjaya, dosen yang paling menyebalkan sedunia bagi Candra.
"Pak Wisnu lagi? Ngapain, sih, kurang kerjaan? Apa kepencet? Matiin aja, deh! Eh, tunggu dulu! Dosen nggak bakal telepon kalau nggak ada urusan penting. Apa gue kelupaan tugas, ya? Masa iya sampe telepon segala? Angkat aja, deh. Siapa tau bermanfaat," gumam Candra.
Dia menerimanya. Nomor telepon Wisnu memang dimiliki setiap mahasiswa fakultas ekonomi karena Wisnu mewajibkannya ketika pertemuan pertama di mata kuliahnya.
"Halo? Siapa, ya?" sapa Candra sengaja. Ekspresinya bahkan sok tidak kenal. Dia berharap membuat dosennya itu marah dan semakin tidak tahan olehnya.
"Candranika, saya tunggu di gerbang depan," ujar Wisnu di seberang sana.
Sontak Candra ternganga, "Hah?! Gimana, Pak? Maaf, kurang jelas. Sinyalnya lagi jelek!"
Terdengar desahan lelah di sana, "Gerbang kantor polisi. Cepat kesini sebelum saya berubah pikiran. Kamu tidak dipenjara, 'kan? Apa kamu sudah melakukan tindakan kriminal sampai berani masuk kantor polisi sendirian? Merepotkan saja!"
"Apa?! Haha, Pak! Kalau saya jadi tersangka nggak bakalan berani masuk ke sini, lah. Emangnya ada penjahat yang mau nyerahin diri sendiri? Ada-ada aja. Lagian Bapak ngapain di situ? Nungguin saya? Wow, luar biasa sekali, tapi saya nggak terkesan jadi maaf. Mendingan Bapak balik," ujar Candra cepat.
"Oke," kata Wisnu singkat dan hendak mematikan panggilannya, tetapi Candra menahannya.
"Eh, eh, tunggu dulu, dong, Pak! Gitu aja marah. Bercanda kali!" Candra tertawa kaku. Setelah itu menggigit bibir bawahnya menahan malu.
'Aduh, gila gue! Masa iya ngemis sama Pak Wisnu buat ngasih tumpangan lagi? Paman pasti lagi sibuk sekarang. Gue nggak bakal bisa ganggu. Lagian, mau nunggu bus juga di mana? Tukang ojek mana mau hujan-hujanan njemput gue?' pikir Candra bingung.
"Saya tunggu sepuluh detik jika tidak datang saya pergi." Wisnu segera mematikan panggilannya.
"Apa?! Pak, Pak Wisnu?!" pekik Candra saat panggilannya tidak terhubung lagi. Candra berdecak buru-buru berlari menuju gerbang yang tidak mungkin bisa tepat sepuluh detik.
"Argh! Si rese itu! Sepuluh detik mana cukup?!" protes Candra sambil lari secepat kilat. Dia bahkan hampir terpeleset ketika berbelok menuju halaman depan.
Wisnu melihat betapa kerasnya Candra berusaha menghampirinya ketika Candra berada di halaman depan. Dia pun tersenyum dan membuka jendelanya. Lalu, saat Candra berhasil menggapai mobilnya dan terengah di jendela pintu, Wisnu melihat arloji di tangan kirinya.
"Dua puluh detik. Lambat!" ujar Wisnu.
Candra sangat kesal sampai otot di pelipisnya terlihat, "Oh? Kalau gitu kenapa Bapak nggak pergi aja?" sedikit menekan kata-katanya.
Wisnu menoleh menampilkan senyum licik, "Kalau saya pergi, tidak ada yang mengantarmu pulang."
Candra tersentak dan mengumpat dalam hati, kemudian sadar dengan menyeka anak rambutnya yang menutupi dahi, "Hah, terserah. Paling mau nambahin hutang budi saya, 'kan?"
Wisnu melempar handuk kecil pada Candra, "Tepat sekali!"
Candra tersenyum licik, "Wah, wah, baik sekali! Kalau bisa nolongnya yang ikhlas, ya, Pak."
"Candranika, masuk," ucap Wisnu pelan. Tidak terdengar seperti perintah.
Candra meneleng heran. Dia masuk dan duduk di kursi yang basah karena dirinya sebelumnya. Sambil menyeka air di wajahnya, Candra merutuki nasib dalam hati.
'Sial gue gini amat! Mobil dia basah gara-gara gue. Kenapa Pak Wisnu segitunya banget mau jadi tukang ojek gratis sampai rela basah begini?' batin Candra.
Melihat Candra melamun, Wisnu segera menjalankan mobilnya. Dia tidak bertanya di mana alamat rumah Candra. Mereka diam sampai beberapa saat hujan panas hampir reda. Lampu merah menghalangi jalan mereka. Candra tidak bisa membisu lebih lama. Dia tidak tahan dengan keheningan yang mengusik otaknya. Apalagi berdua dengan dosen yang paling tidak terduga akan membantunya untuk hal kecil seperti sekarang. Padahal mereka tidak terlalu dekat.
Abirana Wisnu Sanjaya, itulah nama orang di samping Candra. Seorang dosen yang berusia dua puluh tujuh tahun. Rumor mengatakan Wisnu mengabdikan hidupnya untuk kepentingan orang lain dan tidak peduli dengan diri sendiri. Karena itu dia masih lajang hingga kini. Sifatnya cukup otoriter dan licik, meskipun senyumnya manis. Wajah tampannya seperti racun mematikan bagi setiap kaum hawa, tetapi hatinya tidak pernah luluh terhadap perempuan. Wisnu sering disebut sebagai anugerah di fakultas ekonomi. Hal ini membuat Candra berpikir jika ada seseorang dari kampusnya yang melihat dirinya berada satu mobil dengan Wisnu, maka tamatlah riwayatnya.
"Eee, permisi, Pak. Saya boleh bertanya?" Candra melirik Wisnu. Wajahnya telah kering, sebagai gantinya handuk kecil itu basah.
"Hmm?" dehaman Wisnu membuat Candra tersenyum ragu.
"Kenapa Bapak balik lagi ke kantor polisi?" tanya Candra bersamaan lampu hijau menyala. Mobil pun kembali melaju ke jalanan.
"Karena saya khawatir sama kamu," jawab Wisnu singkat.
"Eh?" Candra mengerjap bodoh.
"Kamu sungguh tidak melakukan tindak kejahatan, 'kan? Kalau iya saya akan mendisiplinkan kamu sebagai dosen dan mahasiswa," kata Wisnu datar. Dia tetap fokus menyetir.
Candra sedikit terkejut bahwa Wisnu mengkhawatirkannya, tetapi sudah dia duga jika dirinya yang masuk kantor polisi akan menimbulkan pertanyaan di benak Wisnu.
"Haha, enggak, Pak. Saya cuma mau ketemu sama paman saya. Dia bekerja di sana. Ada urusan penting yang harus saya selesaikan saat itu juga, jadinya saya terpaksa menerobos hujan. Kalau itu mengganggu pikiran Bapak, saya minta maaf." Candra meringis.
"Huft, merisaukan saja. Saya pikir mahasiswa bodoh seperti kamu mampu berbuat jahat di luar dugaan. Lalu, motor kamu mana?" Wisnu sedikit menoleh dan kembali fokus pada jalanan. Entah mengapa Candra bisa menebak ada sedikit rasa lega yang tersirat di wajah Wisnu.
'Segitu khawatirnya sama gue? Ah, dia cuma nggak mau gue jadi penjahat doang, haha,' pikir Candra.
"Oh, iya! Motor saya lagi di bengkel. Tadi pagi ban belakangnya bocor terus saya taruh bengkel. Mungkin sekarang sudah selesai ditambal. Pak, bisa tolong putar balik? Ke bengkel dekat kampus, saya mau ambil motor saya, hehe." Candra bersikap bodoh. Dia segera ingat kondisi motornya.
Wisnu terkekeh dan Candra heran lagi, "Kamu luar biasa, Candra. Luar biasa menyebalkan."
Candra kembali kesal, "Pak Wisnu lagi nguji kesabaran saya, ya?"
"Tidak," jawab Wisnu santai.
"Kalau gitu kenapa terus buat saya sewot, sih?!" Candra sedikit memekik. Namun, Wisnu tertawa kecil. Dia menoleh membuat Candra tidak bisa berkutik. "Benar-benar menyebalkan," ujarnya tanpa menghilangkan senyum.
Lalu, Wisnu memutar arah menuju lingkungan kampus. Tanpa sadar hujan panas telah berhenti. Candra melamun di sepanjang jalan dengan motor yang sudah bisa dia kendarai. Kata-kata terakhir Wisnu sebelum pergi membuatnya semakin marah. Candra tidak mau memikirkannya lagi karena dia hanya ingin istirahat seharian penuh. Beruntung besok adalah hari libur. Sayangnya, setibanya di rumah, Candra demam. Tidak terlalu tinggi, tetapi cukup mengganggu masa liburnya. Terlebih lagi sang paman tidak pulang malam ini. Ransel dan seisinya telah dijemur di halaman belakang. Mie instan hangat pun sudah tersaji di meja, tinggal menyiapkan obat setelah makan.
Candra bersin, "Hah! Mana obat pusing, ya? Gue demam apa flu, sih?"
Meraba setiap laci di bawah meja televisi untuk mencari kotak obat. Penampilannya sudah jauh lebih baik. Rambutnya yang panjang sepinggang dibiarkan terurai. Jika diikat nanti akan semakin pusing.
"Haha, ketemu! Loh, ini bukannya udah setahun yang lalu? Masih bisa diminum nggak, ya?" dengan hidung memerah dan mata sembab Candra menilai satu-satunya obat penurun demam yang dia temukan.
Setelah makan dan meminum obat, niatnya ingin istirahat, tetapi pamannya mengusik dengan mengirim pesan singkat yang membuat pusing Candra bertambah, yaitu misi baru telah diberikan.