Moksa

Hingga di hari ke tiga, aku baru berani mengutarakan pertanyaan. Siang itu, kami berempat melepas lelah berteduh di bawah sebuah pohon tengah hutan.

"Ampun, Gusti Dewi. Ampun, Pangeran Nanggala. Bolehkah hamba menanyakan sesuatu?" tanyaku ragu-ragu.

Wanita cantik berkebaya jingga itu tersenyum ramah. "Sejak kita melarikan diri dari istana, sudah berapa kali kubilang untuk tidak membatasi diri antara kawula dan junjungan, Mahesa Pati?"

Aku menunduk. "Maafkan, Gusti Dewi. Tetapi ...."

"Ini bukan istana, Kakang. Melainkan hutan belantara. Aku, Ibunda, kau, dan Tantri sama derajatnya. Makanan, minuman, maupun alas tidur kita tidak dibedakan." Pangeran Nanggala menengahi. Tubuh ringkihnya yang bersandar di tonggak kayu, sesekali butuh ditopang sang ibu.

"Tanyakan, Mahesa. Mumpung kita belum melanjutkan perjalanan," lanjut Dewi Gayatri.

Memang, selama masa pelarian, kami berempat saling bahu membahu dalam segala hal. Pangeran Nanggala yang sedang sakit pun tidak mau hanya berpangku tangan. Kadang ikut membenahi alas tidur, meneliti aman atau tidak tempat bermalam, atau sekadar mengumpulkan ranting-ranting di sekitarnya untuk membuat perapian memanggang hewan buruanku.

Meski begitu, rasa canggung kepada ratu junjungan terlanjur melekat. Sulit sekali luntur.

"Maaf, Gusti Dewi. Kenapa waktu hamba dan dayang Tantri masuk kasatrian tanpa mengetuk pintu, Anda berdua tidak marah? Justru sudah bersiap seakan mengetahui bahwa malam itu pasukan pemberontak menyerang?"

"Aku memang sudah tahu, Mahesa. Termasuk sakitnya putraku ini," jawab Dewi Gayatri tenang. Berusaha menyembunyikan getir yang tersirat.

Aku dan Tantri seketika saling pandang kebingungan.

"Maaf, Gusti Dewi. Bis dijelaskan maksudnya?" Tantri mewakili aku bertanya.

Dewi Gayatri tersenyum lembut. "Sudah menjadi rahasia umum di kalangan kami, para selir Kanda Prabu, bahwa Dinda Ratna Lestari dan putranya adalah penyembah ratu iblis. Sejak aku diangkat sebagai permaisuri, mereka berdua menunjukkan kebencian terang-terangan.

Puncak dari kebencian itu adalah ambisi Kurendra Pati menjadi raja, Kanda Prabu terbunuh di tangannya kemarin malam, dan seluruh penghuni kerajaan lenyap menjadi jin pengikut ratu iblis."

Aku dan Tantri kembali berpandangan, Gusti Dewibisa tahu sejauh itu?

"Gusti Dewi mendapat kabar dari siapa?" Tantri terlihat tidak sabar, rasa penasaran terkadang bisa mengubah sikap seseorang.

"Nanggala yang bercerita, Tantri. Coba kau tanya sendiri, tahu dari mana gustimu?" Dewi Gayatri mengedipkan mata kepada putranya.

"Pangeran melihat semua itu dengan mata batin?" tebakku mendahului.

Yang ditanya langsung mengangguk. Kemudian meminum air dalam batok kelapa yang kuberikan.

"Berarti apa yang hamba lihat dalam samadi, satu minggu sebelum para pemberontak itu menyerang istana, Pangeran juga tahu? tanyaku lagi.

Kali ini Dewi Gayatri dan Tantri yang saling pandang.

"Iya, Kakang Mahesa."

"Lalu, tentang sakitmu, Nanggala?" Dewi Gayatri menyela.

"Sakit saya juga bagian dari ulah iblis sesembahan Bunda Ratna. Akan sembuh bila saya tidak tinggal di istana, Makanya saya tidak pernah mau diperiksa tabib, percuma meminum ramuan-ramuan kesehatan yang pahit itu, Bunda."

"Pantas, selama ini kau selalu memaksa berjalan-jalan mengelilingi kota raja, berburu, atau berlatih di luar istana tanpa memperdulikan sakitmu!"

Pangeran Nanggala Seta hanya menyungging senyum tipis.

Sambil berkemas, tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Maaf, Pangeran. Apa tumbal atau kutukan Ratu Iblis itu juga benar?"

"Bisa jadi, Kakang Mahesa. Karena kita orang-orang istana. Tapi, semoga para Dewata sudi menurunkan keberkatan, supaya kutukan itu berakhir lain?"

"Kutukan apa, Anakku? Mahesa?"

"Iya, Kakang. Apa?"

Dewi Gayatri dan Tantri melontar tanya hampir bersamaan, untunglah Pangeran Nanggala bersedia mengambil alih menjawab rasa penasaran mereka. Sambil meneruskan perjalanan, beliau menjelaskan inti kutukan Ratu iblis dan . Selanjutnya, tidak ada hambatan besar selama pelarian kami berempat. Para dewa maupun penghuni hutan belantara seolah melindungi, hingga tiba di sebuah bukit tepat senja hari ketujuh.

Setelah beristirahat dan makan secukupnya, kedua junjunganku itu pamit bersamadi. Oh iya, yang makan cuma aku dan Tantri, sedang beliau berdua bilang kalau selesai permohonan mereka kepada Hyang Agung, baru makan.

Untuk menghilangkan rasa kantuk, aku dan Tantri mengobrol banyak hal. Awalnya semua baik-baik saja, sampai tidak sadar kami terlelap seperti kena sirep.

Kabut gunung yang dinginnya tidak tertandingi memaksa mata terbuka. Aku langsung duduk, mengamati sekitar terutama tempat di mana Gusti Dewi Gayatri dan Pangeran Nanggala Seta semalam bersamadi. Kosong, tidak ada siapa siapa di tempat ini kecuali aku dan dayang kaputren bernama Tantri. Juga kicau burung penanda sudah pagi.

Tantri terlelap dengan tubuh menggigil, gegas kubangunkan untuk mencari sinar matahari sekaligus junjungan kami.

"Tantri, apa kau sempat melihat ke mana Gusti Dewi?" tanyaku hati-hati setelah berhasil menjauh dari kabut tebal.

Tantri menggeleng. "Semalam aku tidur terlalu nyenyak, Kang."

Aku mendadak cemas, firasat mengatakan semalam memang ada yang tidak beres di tempat kami istirahat. Namun, belum sempat menyimpulkan, Tantri langsung memberi ide cemerlang.

"Lihat dengan mata batinmu, Kakang. Tidak mungkin kita mencari dalam kabut tebal begini!"

Aku mengangguk, menyetujui usul cerdas gadis seusia adikku itu. Segera memejamkan mata sambil mengatupkan kedua tangan di dada. Sejurus kemudian, aku tersentak melihat sesuatu.

"Bagaimana, Kakang? Berhasil?" tanya Tantri tidak sabar.

"Mereka bertapa di suatu tempat untuk moksa," lirihku. Kembali membuka mata.

Tantri membelalakkan mata tidak percaya. "Apa? Bagaimana mungkin baru bersamadi dan--"

"Itulah keajaiban, Tantri." Aku buru-buru menyela supaya dia tenang. "Para Dewa menuntun kebenaran dengan cara yang tidak siapa pun bisa mengerti."

Aku berusaha membesarkan hati Tantri yang sama sedihnya denganku. "Sudah, jangan pikirkan mereka yang memilih jalannya sendiri, sekarang tinggal bagaimana kita meneruskan hidup."

"Aku seperti tidak memiliki masa depan lagi, Kakang."

"Jangan begitu, Tantri. Sang Hyang Agung menguji hambaNya sesuai batas kemampuan, dan Dia juga berjanji tidak akan meninggalkan hamba tersebut melewati cobaan sampai lulus."

Kemudian, aku mengajak Tantri ke arah matahari terbit. Mengurangi dingin kabut sebelum berpikir bagaimana melanjutkan hidup. Tetapi, aku terkejut saat Tantri menjerit, mengatakan bahwa kami tidak lagi memiliki bayangan. Di pinggangku terlilit selendang emas yang kemarin siang dipakai Dewi Gayatri, sedang di kepala dayang setia itu bertengger manis mahkota perak.

Itu artinya, kutukan ratu iblis sesembahan Ratna Lestari berlaku juga pada kami. Aku dan Tantri berubah menjadi jin. Bedanya, terkena sinar matahari tubuh kami kuat tidak terbakar.

Marah, kecewa, dan putus asa menjadi satu. Apalagi saat Tantri mengatakan lebih baik kami berpisah mencari jalan hidup masing-masing sambil membawa mahkota dan pedang Gusti Gayatri yang ada di tangan kami masing-masing.

Lengkap sudah penderitaanku hari itu.

°°°°

Sudah habis ceritanya, aku kemudian meneguk minuman jus alpukat sampai habis. Ngomong terus lupa rem, ternyata haus. Untung nggak dehidrasi.

"Terus, gimana ceritanya sampai kamu bisa berada dalam lampu tidur itu?" tanya Naya penasaran.

Yaelah, dasar gadis nggak ada akhlak. Sudah cerita masa lalu sampai dua part setengah, masih juga nambah.

"Lain waktu saja, aku lelah," jawabku.

"Lain waktu ntar lupa, sekarang aja deh mumpung aku masih penasaran!"

Apa boleh buat, demi cinta aku harus cerita lagi. Sangat membagongkan!

°°°°

Sejak perpisahan di gunung kabut, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Tantri. Ratusan tahun mengembara, kabar tentangnya memaksa harus dilupakan.

Aku menyaksikan kehidupan manusia periode demi periode, abad demi abad yang selalu berubah-ubah. Pada akhirnya rasa bosan mengharuskan memiliki satu tempat untuk istirahat.

Kupilih benda unik berwarna kuning tembaga berbentuk mirip piala, kemudian menyepuhnya dengan setengah kesaktian yang kumiliki menjadi warna keemasan. Memagarinya supaya tidak mudah terlihat orang-orang salah jalan. Aku tidak mau diperbudak siapa pun, terlebih penganut ilmu hitam.

Di samping itu, aku juga bersumpah; barangsiapa bisa menemukan benda ini, aku bersedia membantu semua kesulitannya.

Takdirnya, yang memiliki kekuatan batin sama denganku adalah kakekmu, Naya. Tetapi, aku enggan menunjukkan diri. Hanya melalui firasat aku minta lampu tidur itu dibawa pulang.

Dua kebetulan lagi-lagi dipertemukan denganku. Tantri, dia sudah menjadi siluman ular berwatak sangat jahat, tinggal di rumah Kakekmu atas suruhan dukun santet. Dan, kamu yang persis Ayu Rahastri. Adik kandung di mana aku gagal sebagai pelindung.

"Jadi, cerita kemarin itu ...."