Dengan berat hati, akhirnya aku mengangguk. Antara cinta dan nyawa, tentu prajurit akan memilih nyawa.
Nyawa bisa digunakan untuk menghimpun kebaikan terus menerus. Sementara cinta, akan banyak menuntut pengorbanan yang entah apa artinya. Lagi pula, Naya belum tentu mau denganku.
Kebahagiaan? Mungkin iya jika aku masih manusia. Namun, akan menjadi lain jika memaksa menyatukan kodrat yang tidak semestinya. Jin dan manusia terikat pernikahan. Penderitaan satu sama lain yang ada.
Sekarang, kesadaranku akan hal itu dipulihkan kembali.
"Saya bersedia melepas Naya dan menjalani kodrat serta kewajiban saya, Kiai," ucapku lemah.
Jujur saja, ulu hatiku nyeri sekarang. Serasa ditekan runcingnya ujung tombak panas. Aku bahkan mengerjap, hampir saja jatuh butiran-butiran air mata.
Lemah, ya? Coba kamu yang jadi aku.