"Impossible is just an opinion."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Kedua mata mereka pun bertatapan dari kejauhan. Namun, Paing tidak membiarkan Apo lama-lama di bawah sana. Dia segera pamit kepada Miri, tanpa menunggu jawaban. Mematikan telepon, lalu turun meski masih menggunakan bathrobe.
Apo!
BRAKKKHHH!
Apo sendiri tidak bergerak. Dia hanya tersengal panik dengan wajah yang sangat kacau. Menunggu sang Alpha menerobos para pelayan dalam kondisi begitu pertama kali.
"Hahh ... hahh ... hahh ... hahh ...."
"Phi ...."
Paing pun terkejut karena kondisi berantakan Omega itu, bingung, tapi tetap memberikan waktu jeda. "Kau, hm ... are you okay?" tanyanya. Meski, jelas-jelas Apo separuh rusak sekarang. "Apa ada yang bisa Phi bantu? Anything? Just tell me, Apo. Bagaimana kau bisa menyetir sendiri ke tempat ini? Darimana--"
"Phi, aku tidak tahu bagaimana menurutmu. Tapi, hks--boleh tidak ... aku memilihmu saja?" tanya Apo. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. "Aku tahu, ini salah. Sangat. Kau pun boleh merubah pandanganmu padaku. Maksudku--ha ha ... siapa tahu kau memaki "pelacur rendahan" juga karena aku lari ke sini. Seperti suamiku, Phi?"
DEG
"Apa?"
Apo pun mengusap pipi yang mulai basah. "K-Kau boleh menyamakan ini dengan memungut kucing jalan kok, serius ...." katanya. "Hiks ... tapi aku benar-benar tidak mau dipukuli lagi. Itu melelahkan, Phi. Dan aku tidak diberi kesempatan bicara. Hiks ... aku hanya--nn, tidak merasa aman dimana pun. Hiks ... orang-orang sudah tahu aku Omega. Dan baby--"
Paing sudah menggandeng Apo untuk masuk ke rumah. Jangan sampai Apo makin merasa tak aman, sehingga digenggamnya tangan itu agar terus mengikuti langkahnya.
SRAAAAAAAKKHHH! BRAKH!
Para satpam juga langsung menutup gerbang utama. Mereka mengamankan mobil Apo dalam garasi. Toh kebetulan pemiliknya hanya keluar tanpa mencabut kontak.
Pintu-pintu kediaman Takhon juga langsung ditutup. Jendela, balkon, bahkan rooftop-nya yang disiram matahari pagi--semuanya dikunci dengan cara masing-masing.
Untung Yuzu sedang jalan-jalan bersama temannya entah kemana. Adik angkat Paing itu takkan bertanya macam-macam. Setidaknya hingga nanti malam tiba.
Dan daripada ruang tamu, Paing justru membawa Apo ke lantai dua. Alpha itu mendudukkan Apo ke ruang praktek medis yang dimiliki. Memintanya menunggu sebentar. Lalu kembali lagi dengan penampilan yang sama kacaunya (Oh, ternyata dia hanya ganti kaus serta celana panjang. Sangking inginnya cepat-cepat mengobati).
Apo pun bingung karena melihat Paing ribut sendiri. Segala kotak obat dia bongkar-bongkar dari lemari. Panik. Karena memang hampir tak pernah dipakai selama ini. Ada obat merah, antibiotik, kapas, alkohol, kain kasa, dan masih banyak lainnya. Dia membuka beberapa tutupnya di sisi ranjang medis yang Apo duduki. Memilahnya. Lalu meminta Apo terpejam.
"Hold on. Biar kuurus dulu lukamu. Diam sebentar," kata Paing. "Terutama mata dan pipi. Oh, bibirmu juga terkena. Kalau kelamaan nanti tak bagus."
"Iya."
Sang Omega pun menurut karena aura Alpha ini samasekali tidak mengancam. Dia bergerak cepat dengan mata yang fokus, tapi Apo sendiri yang malah disusupi rasa penasaran.
Apakah Paing seperti ini juga saat menolongnya kejang karena demam?
Build bilang, dia baru datang setelah Apo terlonjak kronis di atas ranjang. Sementara Bible malah sempat ditendang ke dinding ketika ingin menolong. Jadi, sudah pasti Paing yang ada untuknya sejak awal. Namun, Alpha itu tidak membicarakan tentang rupanya sekarang. Dia hanya memplester di sana-sini. Bilang "Permisi" sebelum memperban bagian leher dan bahu. Bahkan berlutut untuk mengecek kaki Apo secara langsung.
Paing tidak buta soal Apo agak kesusahan jalan. Pasti ada yang salah dengan kakinya, mungkin saat digunakan membanting Mile dengan teknik Taekwondo di antara perabotan sempit. Dia pun membuka sepatu dan kaus kaki Apo yang berbeda warna--lalu tertawa karena itu pertanda sang Omega terburu-buru kemari.
"Ha ha ha ...."
"Um, Phiii ...." protes Apo dengan pipi memerah. Dia meremas bahu kiri Paing karena malu, tapi juga mulai ketar-ketir. Bagaimana pun, Paing kini sedang meluruskan betisnya. Bagian itu dicek tulang depannya, lalu ditata dengan gerakan cepat.
"Rileks sebentar?" kata Paing dengan lirikan sekilas.
"Iya."
Krataaakhh!
"Agghhh!" jerit Apo dengan desisan sakit. Rautnya berkerut-kerut karena ngilunya sampai ke atas. Menuju ke kepalanya sesaat. Remasannya di bahu Paing juga dilengkapi cakaran kuat. Namun, sang Alpha tidak protes dan menatap wajahnya hingga mereda kembali.
"Mendingan?"
"Iya. Tapi--"
"Belum, sekarang yang bagian kiri," kata Paing.
Selama dua puluh menit ke depan. Paing hanya merawat Apo di sana-sini. Menanyai gejala apa saja yang mungkin dia rasakan. Dan memastikan semuanya sudah terobati. Setelah selesai, Paing langsung keluar meski Apo belum tanya dia mau apa. Ternyata, setelah itu ada dua pelayan masuk. Satu untuk membereskan ruangan, satu lagi membawakan minuman hangat untuknya.
Lantas dimana Paing sendiri? Alpha itu baru muncul lima menit kemudian. Masih dengan penampilan yang tidak berubah. Tapi di tangannya ada sandal lantai lucu.
Sepertinya baru dibuka dari daftar koleksi. Tapi karena bentuknya imut (ya ampun telinga kelinci) pasti itu bukan milik sendiri. Mungkin Paing baru mengambilnya dari kamar Yuzu? Yang pasti jangan sampai Apo jalan dengan kondisi kaki telanjang saja.
"Phi, maaf aku sangat merepotkanmu," kata Apo. Dia berhenti menyesap teh hangat karena pemandangan Paing berlutut itu mengingatkannya dengan Mile sesaat. Dulu, sang suami juga pernah begitu, bedanya Paing versi tidak banyak menggoda. Dia juga bicara seperlunya seperti biasa. Namun, saat kau berkomunikasi dengannya, senyum dan tawa khas gigi gingsul itu tampak menyenangkan.
"Ha ha ha, it's ok. Aku kan baru memungut kucing jalanan," kata Paing dengan nada jenaka. "Kalau disia-siakan majikannya dahulu, kenapa tidak kuambil saja? Kebetulan kucingnya lucu sekali."
DEG
"Umn."
Apo pun menuntaskan cangkir tehnya daripada menanggapi omongan Paing. Dia tahu Paing tipe yang supel saat bicara, apalagi kepada orang-orang terdekat. Candaannya juga sangat natural, tapi memandangnya sebagai "pria"? Jujur Apo belum terbiasa.
"Oke, selesai. Sekarang mau berpindah tempat? Ruangan ini aromanya obat semua. Ha ha."
Apo pun mengangguk dan tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya. "Tapi kita akan kemana? Rasanya agak menakutkan karena rumahmu ditutup semua."
Paing malah tertawa. "Ha ha ha. Apa kau juga takut padaku?" tanyanya. Lantas berjalan lebih dahulu agar Apo semakin merasa aman.
"Ya, sedikit. Tapi, aku tidak menyangka Phi ternyata tinggal sendiri ...." kata Apo. "Maksudku, cuma dengan Nona Yuzu? Kenapa Nona tidak ikut orangtua?"
"Oh, itu ...." Mereka menuju ke ruang tengah karena itu paling dekat. "Adikku memang ingin bersamaku sebelum menikah. Dia bilang karena hampir dibawa Wen pergi, jadi ingin menghabiskan waktu di sini."
"Mm."
"Dan dia bosan suasana rumah," imbuh Paing. Lalu mengambil tempat duduk yang terpisah dengan Apo. "Soalnya Yuzu itu bertubuh mungil. Pa dan Ma jadi sering memperlakukannya seperti bocah. Dan ya, kebetulan dia kekanak-kanakan. Tapi lama-lama bosan juga."
"Eh?"
"Bosan dilarang berkencan, maksudku," kata Paing dengan tawa kecilnya. "Kan kalau bersamaku, kubiarkan pergi dengan Wen kapan pun. Asal dibawa pulang pada waktunya saja."
Apo pun mengangguk pelan. "Begitu."
Namun, Paing lebih dari paham kalau sang Omega rikuh. Bagaimana pun dia enggan pulang karena rumahnya terpisah dari orangtua. Dan kalau pun ikut Miri, mungkin Mile akan memburunya dalam waktu dekat.
"Oh, iya. Apa besok kau ada jadwal ke kantor?" tanya Paing. Dia tak mau mengabaikan hal ini, karena justru yang terpenting. Toh tidak membicarakannya malah super keliru. "Kalau ada, biar kusuruh stylish-ku mempersiapkannya."
"Ah, itu ...."
"Maksudku soal jas dan lain-lain," jelas Paing. Lalu mengecek jam di layar ponsel. "Lagipula ini baru pukul 1 siang. Dia bisa kemari segera. Agar mendesain khusus untukmu. Ya, kau kan tidak mungkin memakai ukuranku."
Apo pun memerah lagi. Faktanya, badan Paing memang lebih besar, apalagi dia sangat tinggi. Kalau dibandingkan dengan Apo yang berpinggang kecil, tentu saja aneh kalau sungguhan memakai jasnya.
"Besok, anu belum ada sih. Soalnya hari ini sebenarnya aku akan ke Oslo."
"Oslo? Norwegia?"
"Iya," kata Apo sambil mengangguk pelan. "Aku mau mengecek sesuatu di sana. Soal kasusnya ...."
Dan sebenarnya, itu milik keluarga Romsaithong yang sekarang sudah tak peduli pada Wattanagitiphat.
Namun, bagaimana pun status Mile masih suaminya. Apo pun tidak mau sangsi akan itu, sehingga dia segan untuk membicarakannya semakin jauh.
"Oh, bagus. Kalau begitu biar kuantar ke sana. Lagipula besok aku masih belum ada jadwal."
DEG
"Benar, Phi?"
"Ya, tentu. Tapi sore nanti aku harus meninggalkanmu hingga malam," kata Paing. Yang membuat alis Apo berkerut. "Soalnya Oma Miri memintaku bertemu."
.....
...
Sumpah, demi Tuhan napas Apo tercuri beberapa detik mendengarnya. Karena sang Ibu bergerak lebih cepat daripada dirinya. Padahal, Apo juga kepikiran meminta bantuan soal perusahaan. Namun, dia bingung sekali mengawalinya bagaimana. Tapi--ibunya?
Miri benar-benar tangguh karena bisa bertindak secepat itu, padahal baru kehilangan suami. Apo pun merasa harus mencotoh ibunya lebih lagi, walau selama ini dia tidak perhatian karena didikan dari wanita itu keras sekali.
Paing pun tersenyum tipis, lalu mengatakan hal-hal kecil lain yang berkaitan. Dia bilang, Apo juga boleh ikut seandainya mau. Toh tempatnya di restoran milik Paing sendiri. Mereka akan berbicara secara tertutup. Dan Apo pun tampak sedikit gelisah.
"Tapi, aku ... ugh ...." Omega itu meremas pinggiran sofa. "Bagaimana kalau Ma salah paham soal aku denganmu? Ma kan tahunya aku pergi entah kemana."
DEG
Paing memang belum kepikiran sampai sana, tapi bukan Alpha namanya jika tidak memikirkan solusi secepat mungkin. "We're friend, remember?" katanya. "Anggap aku seniormu seperti sebelumnya saja. Dan ambil waktu selama apapun sampai kau siap."
"Uh, it's ok?" tanya Apo coba memastikan.
"Of course. I'm not in rush," kata Paing. "Toh, masalah di depan banyak sekali. Kita harus mengurusnya satu per satu. Bergantian. Berurutan. Dan ini bisa dibicarakan setelahnya."
Di titik ini, Apo jadi berpikir ... kenapa dulu dia tidak pernah jatuh cinta dengan Paing saja? Apakah karena Apo terlalu menghormatinya? Toh saat itu Paing juga punya kekasih. Mungkin, dia hanya lupa saja. Tapi bisa jadi dia sayang kepada sosok ini, walau tidak berani berpikir jauh ke sana.
"Oke."
"Good." Paing pun tersenyum lebih lega daripada sebelumnya. "Sekarang beristirahatlah dahulu. Pelayan akan mengantarmu ke kamar tamu," katanya. "Tidur siang, Apo. Aku akan mengurus keperluan Oma-mu sekarang."
"Ugh, iya."
"Dan kalau sudah hampir waktunya bersiap, kau pasti akan dibangunkan mereka."
"Um."
Entah kenapa, rasanya hangat dan nyaman sekali. Apo sendiri tak mengerti mengapa dia mudah patuh kepada Paing, padahal saat bersama Mile rasanya ingin terus mendebat. Ah, kemana jiwa dominannya pergi? Apakah itu hanya reaksi natural kalau sebenarnya dia merasa bahaya di sisi Mile Phakphum?
Apo bahkan merasa tak perlu memberi saran, karena dia sangat-sangat bisa mempercayai Paing Takhon apapun yang dilakukannya.
"Baiklah, see ya," kata Paing. Yang mendekat dengan tepukan ubun seperti saat mereka kuliah dulu. "Sayangi dirimu sendiri agar semakin cepat sembuh, Apo. Dah."
Apo pun mengangguk pelan dengan gumaman "Umn." Tapi tidak bisa melepas pandangannya dari punggung tegap yang menjauh itu.