Setelah 'kita' gak ada lagi, udah pecah jadi dua individu. Setelah perpisahan ala kadarnya lewat sms, gue nunggu. Gue sebagai laki-laki, malah menunggu. Ck. Kalo gini entah kenapa malah jadi keinget pas awal-awal kenal ya.
Awal-awal kenal, waktu itu jaman smp, jaman-jaman masih muda, badan masih fleksibel, sehingga poto-poto dengan sudut ganjil pun masih aman. Sekarang kalo maksain diri poto dengan sudut ganjil, siap-siap dijemput ambulans. *kemudian nebeng ambulans ke mall*
Boleh gak gue bilang lucu sebenernya gimana gue bisa tau dia?
Gue orangnya gak pernah ikut les, sekali gue ikut les itupun kelas tiga smp. Sebelum dan sesudahnya gak pernah ikut les lagi. Dan gue, pertama kali liat dia disitu. Keluar dari becak, dengan kaki kanan terlebih dahulu, abis itu kamu kibasin rambut, terus langsung kabur becaknya gak dibayar. Enggak, enggak. Becanda.
Tapi gue pertama kali liat dia memang disitu. Dan gue gak berani buat sekedar nyapa. Gak berani bukan sekedar senyum. Cuma bisa sekedar liat-liatan. Beberapa kali setelah itu gue dan dia papasan, dan cuma bisa itu tadi, liat-liatan. Satu hal sepanjang gue ingat, ketika kita papasan, dia gak pernah senyum. Kalo gue sih jangan ditanya, setiap ngeliat dia mah senyum mulu kek orang gila. GR-nya gue diwaktu muda yes. Ck.
Suatu hari, dia duluan nanyain gue lewat temen gue, mungkin dia capek gue liatin mulu. Dan setelah itu semuanya mengalir kayaknya, walaupun banyak kejadian anehnya. Tapi gue dan dia selayaknya orang pdkt, mulai sms-an, telponan, dan selayaknya orang pdkt lah.
Tuhan, membuat gue pertama kalinya mau ikut les, dan pertama kalinya gue ketemu lawan jenis yang membuat gue berpikir betapa beruntungnya gue untuk les ketika kelas tiga itu, bukan sebelumnya atau sesudahnya, sehingga gue bisa ketemu dia, sehingga gue bisa tau gimana rasanya gak bisa tidur hanya karena dia belum membalas pesan sebelum tidur.
Dan itu, sayangnya, berlangsung selama enam bulan, sebelum gue berani buat nembak. Itupun lewat telepon nembaknya. 6 bulan, sebuah pdkt yang panjang, diakhiri dengan nembak lewat telepon, dan dia, nolak gue. Dia udah punya pacar. Dan gue paham, dalam pdkt selama itu mustahil gue gak disalip orang duluan. Dan gue terima keputusan dia.
Setelah itu gue dan dia masih tetap komunikasi, walaupun gue akui gue diam-diam berharap gue masih punya kesempatan. Gue dan dia berkomunikasi sampai gue kelas satu sma semester dua. Setelah itu kita putus komunikasi. Gak ada kabar lagi.
Lalu tiba-tiba dia menghubungi lagi, ketika gue kelas tiga sma. Memang selama gue dan dia putus komunikasi gue sempet beberapa kali pacaran. Tapi dalam hati sebenarnya gue menunggu. Bisa dibayangkan betapa senangnya sewaktu dia menghubungi lagi, dan dia, sudah putus dengan pacarnya. Gue gak mau kembali nyesel lagi dengan kelambanan gue dan gue tembak dia, dan dia terima. Gue dan dia akhirnya jadi 'kita'.
Tapi sebenarnya dibalik kesenangan itu gue sering bertanya. Apa alasan dia terima gue sekarang? Gue bilang di awal bahwa gue dan dia sudah jadi 'kita', tapi, benarkah, sebenarnya kita itu, 'kita'?