Tiga hari setelah putus, manusia itu kadang jadi kek orang gila. Tiba-tiba marah, tiba-tiba jadi pengen nyalahin diri sendiri, tiba-tiba ketawa. Semua emosi itu kadang bertumpuk, yang menghasilkan marah sambil ketawa, atau ketawa sambil teriak-teriak kek orang kemalingan.
Tiga hari setelah kita putus, gue lebih banyak berdiam diri dikamar. Pemandangan yang paling sering gue liat setelah putus adalah plafon kamar dengan bercak noda yang gambarnya kadang berubah-ubah sesuai suasana hati. Kadang-kadang berganti dengan gelap, karena membenamkan muka ke bantal jauh lebih menenangkan daripada melihat warna yang sudah kehilangan pesonanya. Warna yang tidak berwarna. Datar.
Dunia dalam satu gerak lamban.
Entah kenapa bercak noda di plafon hari itu menyerupai wajah manusia yang sedang membuka mulutnya, seolah berteriak. Seperti orang marah. Dan memang, tiga hari setelah putus, emosi yang mendominasi adalah amarah. Kadang tidak jelas rasa panas di dada ini untuk siapa, dan karena siapa. Gue hanya ingin marah, menyalahkan lebih mudah dan lebih cepat datang daripada introspeksi saat ini.
Marah terhadap dia yang cuma bisa menjadi pasif. Seolah semua pergerakan dari gue, mulai dari sms atau sekedar membuka obrolan. Seolah-olah kita tidak ditanggapi dan menanggapi pun hanya sekedar basa-basi yang berfokus pada kata 'basi'.
Marah terhadap dia yang tidak toleran terhadap kita, tidak toleran terhadap kekurangan kita. Ingin sempurna. Ingin kita tetap stabil. Tidak berubah. Standar. Tapi sempurna.
Marah mengingat sikap dia ketika dia mengangkat sendok ketika makan, gerak mulutnya ketika berbicara, atau bahasa tubuhnya ketika ia sedang malu. Gerakannya jadi tidak lagi anggun, sekarang yang ada hanya gerakan yang merendahkan rasanya. Mengintimidasi. Mengecilkan.
Dan kalau sudah tidak kuat, apa lagi selain membenamkan muka ke bantal yang lebih menenangkan?