Hari Ke-8: Isi Kepala

Segera setelah mulai mencoba menutup mata, kenangan yang paling indahlah -- atau kadangkala yang paling memalukan -- yang akan memaksa maju kedepan, minta diputar. Kadang malah memutar sendiri.

Entah kenapa, rumah hari ini sunyi. Televisi yang biasa menyala di ruang keluarga -- terlepas ditonton atau tidak -- hari itu gak bergerak. Yaiyalah gak bergerak, kalo bergerak gue juga yang repot.

Oke fokus.

Udaranya sejuk, jenis udara yang ketika kita merasakannya, apalagi sambil menggeliat menggeretakan badan, sambil menggesekkan kaki ke selimut, sepotong rasa surga turun. Tapi kali ini gue diam, sambil berusaha masuk ke kepala, mencari kenangan yang mana dulu yang mau kita cari cacatnya. Ah, plafonnya sudah mulai kabur. Berbayang. Blur. Mari mulai.

Hari itu gue ada double-date, gue dan dia, beserta temen gue dan sepupunya. Sebelum ngedate gue gak mempersiapkan apa-apa. Bukan, bukan karena gue easy going. Tapi gue terlalu excited. Ketika excited, yang tadinya mau nulis planning mau kemana aja malah jadinya ngayal kemana-mana. Yaa harap dimaklumin saja.

Gue dan temen gue berangkat barengan dari rumah gue ke tempat gue akan menjemput dia dan sepupunya. Gue kira gue akan ngejemput dia di rumahnya, ternyata kami disuruh menunggu di suatu tempat dan nanti dia dan sepupunya akan kesana. Duh. Nasib. Dia memang gak boleh pacaran dulu, katanya, sama orang tuanya. Ck.

Tapi, gue jadi mikir, mantannya yang segudang itu apakah mengalami kesulitan seperti ini ketika hendak jalan? Ah sudahlah.

Akhirnya dia dan sepupunya sampai dan setelah banyak 'eh kok lama', 'yah ini dia orangnya', dan lainnya, kamipun berangkat.

Hari itu, sepanjang perjalanan adalah hari paling basi di dunia. Dia hanya diam, sementara gue yang memancing obrolan megap-megap kek ikan ngeloncat ke darat, ilang napas, mau mati. Mengejutkannya, gue gak segugup yang gue kira dan gue rasa dia juga segugup waktu pertama kali. Obrolannya mati, basi, atau orangnya?

Ketika sampai tujuan pun gue banyak sekali usaha untuk memancing ia tertawa. Duh, gue benci senyum setengah wajah itu. Sedang gak pengen bicara, sedih, atau risih?

Kenangan ini belum habis, tapi plafon yang menguning itu tampaknya lebih jauh dipandang daripada isi kepala.