Berlibur adalah hal terbaik yang pernah dilakukan, apalagi mengunjungi rumah orang tuanya di Labat. Dia sungguh tak sabar...
Ris menatap keluar dari dalam pesawat. Sungguh, pemandangan Kota Kupang sudah sedikit berbeda setelah lima belas tahun tidak mengunjunginya. Banyak bangunan tinggi telah berdiri di antaranya. Dan mungkin temannya, Popi, sudah tidak ada lagi. Kalian tahu apa itu Popi? Popi ialah Pohon Pisang. Ya, Ris sangat menyukainya karena hanya pohon pisang, satu-satunya teman waktu kecil. Manusia yang dia temui hanya dua, ayah dan ibunya. Selain itu tidak ada.
Saking dekatnya dengan Popi, Ris bahkan sampai dianggap aneh oleh kedua orang tuanya, dan dibawa ke psikolog anak. Tapi bagi Ris, Popi adalah teman terbaik. Dan pohon pisang ini, tumbuh di halaman belakang rumahnya, tepat pada jendela kamarnya. Dia bisa leluasa bercerita dengan pohon itu.
"Mohon perhatiannya, pesawat akan segera mendarat. Karena itu, pastikan sabuk pengaman telah terpasang pada tubuh anda. Terima kasih." Seruan seorang pramugrari mengagetkannya. Tapi seruan itu tidak dipedulikannya. Toh, sabuk pengamannya juga sudah terpasang dari tadi. Lagipula, dia juga tidak kemana-mana.
"Kak," tepukan kecil mendarat di pundak kirinya. Ris menoleh. Gadis kecil yang duduk disampingnya tersenyum tipis. Ris pun balas tersenyum. "Iya? Ada apa?" tanyanya.
"Itu.." anak itu menunjuk-nunjuk padanya. "Sabuk pengaman kakak terlepas," ujarnya gugup. Ris melihat ke arah sabuk pengamannya. Dan, yup, that's really –astaga, perasaan tadi masih terpasang, kok, tiba-tiba lepas sih?! Batinnya kesal.
Dia kembali menoleh pada gadis kecil tadi. "Thanks ya," ujarnya.
***
Ini masih Ris yang sama. Hanya, kali ini dia sangat kecewa. Tidak ada yang menjemputnya. Dia tahu, karena selain Ibu yang sedang merawat Ayahnya yang sakit, tidak ada orang lain yang mengetahui keadatangannya. Suaminya akan menyusulnya hari senin nanti. Dia sendiri, menjenguk Ayahnya yang sakit.
Dari bandara tempatnya berada, dia langsung memesan mobil Grab menuju rumahnya di Labat. Biayanya memang mahal, tapi mau bagaimana lagi. toh, tidak ada yang menjemputnya juga.
Lima menit menunggu di depan bandara, mobil pesanannya sudah tiba. Ris segera meminta sang sopir untuk menaikkan barang bawaannya ke dalam mobil. Then, berangkat.
Perjalanan menuju Labat sangatlah jauh untuk kategori Ris yang belum pernah jalan kaki. Jaraknya sekita 10 Km dari bandara. Sang sopir sama sekali tak mengajaknya bicara. Ris hanya menatap pemandangan sepanjang perjalanan melalui kaca mobil. Dan sejauh ini, pemandangannya masih sama. Hanya berubah sedikit. Ya, mungkin gedung-gedung pencakar langit telah merebut sebagian milik alam. Wajah gedung kantor Gubernur juga berubah. Tapi, membosankan.
Di Surabaya tempatnya tinggal bersama sang suami, dia selalu disuguhkan dengan pemandangan yang sama setiap harinya. Pergi kerja, pulang kerja. Sama saja.
Memasuki kawasan Labat, Ris terlihat lebih rileks. Pemandangan masa kecilnya terlintas. Dia selalu suka ketika masuk ke bagian ini, di mana alam mampu menetralkan suasana hatinya jika Popi temannya tidak ada. Kenapa jadi ingat Popi, ya? Batinnya.
Begitu mobil itu berhenti di depan gerbang, Ris segera turun dari mobil. Sang sopir menurunkan dua koper sedangnya –satu milik suaminya, lalu Ris menyerahkan uangnya. "Terima kasih," ucap sang sopir sebelum kembali pada mobilnya.
Selepas kepergian mobil itu, Ris menghubungi Ibunya, mengabarkan jika dia sudah tiba di depan. Dia masih termenung beberapa saat sebelum Ibunya muncul dari dalam, berlari-lari kecil dengan tampang terkejut.
"Cepat banget, perasaan tadi baru kamu kasih kabar kalo udah di Bandara," celetuknya sambil membuka gerbang. Ris tersenyum tipis, "Yang penting aku udah sampai, Ma.." tukasnya. Sang Ibu tersenyum. Begitu gerbang terbuka, keduanya segera berpelukan, melepas rindu.
"Lima belas tahun lama, sayang. Suamimu mana?" tanya Ibu setelah melepas pelukan. Ris terkekeh pelan, "Hari senin nanti baru nyusul, Ma," jawabnya.
"Kok, gitu? Kan, kasihan, kamu sendiri begini. Kenapa?"
"Biasalah, Ma. Pekerjaan."
Ibunya mendengus pelan, "Ya sudah. Ayo masuk, biar Mama bawa saja kopermu," tukasnya sembari menarik dua koper sedang di samping Ris.
"Nggak berat ditarik dua sekaligus?" tanya Ris. Dia tiba-tiba ragu dengan kekuatan Ibunya. Beliau kembali mendengus. "Sudah, kamu tutup gerbang saja," pintanya. Dia sudah menarik dua koper Ris masuk ke halaman. Meskipun begitu, Ris masih bisa mendengar omelan wanita tua itu.
"Aku nggak tua-tua amat, kok, .." Bla, bla, bla. Ris sudah masuk dan mengunci gerbangnya. Sambil tersenyum kecil, dia melangkah menghampiri Ibunya yang menunggu di depan teras.
"Kamu datang nggak tepat waktu, Ris," tukas Ibu tiba-tiba membuat Ris bingung. "Kenapa?" tanyanya.
"Bapak lagi tidur, sayang. Kalah debat sama Mama," kekehnya.
"Kalah debat soal apa?"
"Pohon Pisang." Ibu berdecak, lalu menggeleng. "Udah, masuk, yuk.." pintanya.
Ris terdiam sejenak. Pohon Pisang? Sejak kapan Pohon Pisang jadi topik perdebatan mereka? Batinnya. Dia menggeleng heran, kemudian mengikuti Ibunya masuk ke dalam rumah.
***
Ris sangat ingin segera melihat wajah Ayahnya. Itu memang tujuannya datang ke sini. Lantas sebelum masuk menyimpan, Ris meminta izin Ibunya untuk menyapa sang Ayah.
"Tapi, kan, lagi tidur.. kamu mau sapa gimana?" protes Ibunya. Memang, kalau soal istirahat –apalagi pas lagi sakit, perempuan ini selalu protektif. Ris saja dulu juga begitu.
"Ayolah, Ma," bujuknya dengan tatapan memohon. Sang Ibu terpaksa menyetujui –meskipun Ris masih bisa mendengar omelannya saat dia berlalu. Ris menghela napas, wanita itu selalu saja mengomel.
Dia masuk ke dalam kamar Ayahnya dengan tatapan sendu. Lihatlah, di depannya sang Ayah terlihat damai, beda sekali dengan perangainya yang suka berdebat. Tubuhnya terlihat kurus, dan bulu-bulu halus di dagunya sudah mulai banyak, nampak tidak terurus. Ya, meskipun ada Ibu yang merawatnya, Ayah tidak akan mengizinkan wanita itu menyentuh dagunya sebelum menang perdebatan dengannya. Kau tahu apa yang mereka perdebatkan? Hal-hal kecil seperti mengapa rambut halus di dagu harus dibersihkan, dan bla, bla, bla.. tergantung topik apa yang dia keluarkan.
Dan Ris tahu, Ibunya pasti berjuang mati-matian melawan Ayah hingga bisa memenangkan debat itu dan merawatnya. Apalagi Ibunya seorang Dokter –sebentar lagi pensiun, sudah pasti pasien sepertinya gampang dihadapi.
Ris mengecup kening Ayahnya lalu keluar dari kamar itu. Dia menarik pintu sepelan mungkin agar Ayahnya tidak terbangun, dan beralih melangkahkan kakinya menuju kamar lamanya.
Sudah lama dia tidak menginjakkan kakinya di sini. Sejak 15 tahun terakhir dia pergi, susunan kamar ini masih rapi, tidak berubah sejengkal pun. Dia meraih kopernya yang tersimpan di samping pintu, meletakkannya di lantai, dan membongkar satu per satu isinya kemudian menyimpannya di lemari miliknya –yang dia pakai waktu remaja tapi tak pernah dibongkar. Begitu juga dengan pakaian suaminya.
Ketika selesai dan menutup pintu lemari, matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang berbeda dari jendela kamarnya. Kakinya bergerak perlahan sambil memikirkan apa yang hilang dari situ.
"Apa ya?" gumamnya sambil terus mengamati. Lantas, dia menepuk keningnya. Benar. Popi. Tak ada pohon pisang lagi di situ. Apakah ini yang diperdebatkan kedua orang tuanya?
"Ris, kalau sudah selesai, makan dulu." Ibunya tiba-tiba muncul di pintu kamarnya. Ris terkejut dan menoleh. "Astaga! Ma, bikin kaget aja!" serunya sambil mengelus dadanya. Ibunya mendengus, "Kamu aja yang terlalu serius merhatiin jendela kamu. Biar seharian penuh kamu pandang, nggak bakalan bolong jendela itu," gerutunya. Memang, wanita tua itu suka sekali mendengus.
Ris menghela napas, kembali memandangi jendela. "Ehm, Ma, pohon pisang di sini sudah ke mana?" tanyanya. Wanita itu terkekeh, pelan sekali. "Kau ingat yang Mama bilang tadi? Bapak kalah debat soal pohon pisang itu makanya bisa tidur. Kalau nggak, mungkin sekarang lagi main catur sama Beni-"
Beni? Siapa lagi itu?
"–lagian dia sendiri yang motong pohon pisang itu, makanya sakit." Cerocosnya akhirnya berhenti juga. Tapi bagaimana bisa pria tua itu menebang pohon pisang kesayangannya? Sakit lagi? Apa ini ada hubungannya dengan dia? Tapi kalo soal Beni-
"Beni itu anak tetangga sebelah. Remaja, di suruh Bapak nemenin main catur tiap hari," jelas Ibu tanpa dia tanya. Mungkin Ibunya menangkap raut bingung anaknya.
Ris mengangguk paham. "Oh.. ya udah, mama duluan aja, aku ikut dari belakang." Ucapan Ris membuat Ibunya berlalu begitu saja. Ketika mencapai ambang pintu, Ris teringat jendelanya yang belum dibuka. Bisa-bisa ruangannya pengap saat dia kembali. Dia membuka jendelanya perlahan sambil menghirup udara yang masuk. Rasanya seperti jendela itu seperti bertahun-tahun tidak dibuka. Dia tersenyum kemudian berbalik.
BRUUKK!!
Tangannya tak sengaja menyenggol rak buku di samping jendela, sehingga membuat beberapa buku berceceran di lantai. Ris segera meraih satu per satu buku itu dan menyusunnya kembali seperti semula. Itu kumpulan novelnya, dia dapat dari sang Ayah karena berhasil memenangkan perdebatan dengannya. Entahlah, dia sudah lupa topik apa yang mereka perdebatkan, tapi ya sudah. Yang penting dia ingat dari mana buku itu ia dapatkan.
Matanya tak sengaja mengarah pada meja belajarnya. Ada satu bingkai foto tertelungkup di atasnya. Tangannya segera meraih benda itu. Tapi begitu diangkat, Ris tertegun. Itu foto dirinya bersama ketiga sahabatnya; Sela, Yun dan Ensi. Sudah lama dia tidak berjumpa dengan mereka. Dia jadi rindu ketiganya.
Sembari tetap memegang foto itu, Ris duduk di kasurnya. Matanya masih terpaku pada foto itu. 15 tahun terakhir, sejak ia tinggal di Surabaya, dirinya tak pernah bercengkerama dengan mereka, bahkan melalui handphone sekalipun. Ditatapnya satu per satu wajah sahabatnya. Dia jadi ingat kisah mereka, kisah yang membuatnya berubah total. Dari seorang anti sosial menjadi social lover. Sela, Yun, dan Ensi. Ketiganya sangat menyenangkan. Hanya saja dirinya masih mengingat rasa sedih itu.
Rasa itu membuatnya memeluk foto itu, dengan mata terpejam seloah melengkapi rasa rindu yang sempat hadir beberapa saat.
Ketika matanya terbuka, seseorang muncul begitu saja di depannya. Masih dengan gaun putih kesukaannya, senyum manisnya tak akan pernah pudar untuk Ris.
"Aku merindukanmu." Tanpa sadar, ucapan itu keluar dari bibirnya. Rasa itu kembali menyergap Ris, membuat setetes cairan bening luruh di pipinya.
Dia masih berdiri di sana, dihiasi senyum manis di wajahnya.
"Jangan sedih. Aku selalu bersamamu.." ucapnya diakhiri dengan tawa ketegaran yang selalu tersimpan di benak Ris, lalu hilang begitu saja.
"Ris.."