BAB 2: ADA YANG BISA DIPALAK!

Mile  bersembunyi di balik balkon entah siapa. Dia menundukkan kepala, lalu mengintip semua bodyguard itu dari balik daun-daun bunga. Kedua matanya bergulir. Dari kanan ke kiri. Dari kiri ke kanan. Semua demi memastikan situasi aman lalu dia baru berani keluar.

"Cih ... kalian harusnya paham kapan harus menyerah," gumam Mile  jengkel. Dia kemudian menelpon sahabatnya sekali lagi, lalu mematikan ponsel yang sudah lowbat sedari pagi. "Awas saja, Bible. Kalau kau sampai tidak menjemput, aku pasti akan menghajarmu besok pagi."

Brrrrrrmmmmmmmm!!

Baru saja dibatin, Bible sudah menghampiri Mile  dengan motor besarnya. "Hei, Mile. Ayo," katanya sambil menyentakkan kepala.

"Hei, Bruh. Kau ini kemana saja," kata Mile  sembari naik ke boncengan Bible.

"Aku? Tadi menemui Build. Kenapa?"

"Cih ... pacar terus yang kau pikirkan. Ayo jalan. Aku hampir tertangkap mereka!"

"Ha ha ha ha ha."

Sebagai kawan seserver, Bible pun sudah terbiasa dengan tingkah brutal Mile. Dia juga dari keluarga berada. Mereka bertemu pertama kali di acara pesta, lalu menjadi kawan kriminal.

Kalau orang rumah sudah mengejar dengan ajaran etika, duh ... malas. Bible dan Mile  akan kabur dengan cara yang mereka suka.

Ke bar. Jalan-jalan. Menelusuri beberapa kota dengan kebebasan ... intinya tak mau di rumah. Dan kalau sudah benar-benar lelah, keduanya akan bermarkas di rumah Build. Toh lelaki itu satu-satunya yang dewasa diantara mereka. Dia mahasiswa semester 1, usia 19, dan menerima keduanya kapan saja.

"Kalian tidak mau pulang lagi?" tanya Build. Well, dia tetap menasihati meski Mile  maupun kekasihnya jarang memedulikan.

"Hooh, malas," kata Mile  sambil kipas-kipas di depan televisinya. Remaja itu tak peduli disebut punya mental susah. Toh kenyataannya tetap anak bungsu konglomerat, yang setelan bajunya saja bisa untuk beli rumah.

"Bible, kau juga. Setidaknya tetap kerjakan PR kalau di sini," kata Build  tegas. Dia menyajikan minuman untuk mereka, sementara Bible hanya cengengesan.

"Iya, nanti, My Dear," kata Bible. "Kami baru saja lari dari gerombolan ayahnya Mile. Ha ha ha."

"Dasar anak-anak bandel ..." cibir Build. Walau lelaki berpipi gembul itu tetap diam waktu dikecup Bible sekilas.

"Tahu tidak? Kau diam jadi lebih menggemaskan," kata Bible. Build  pun menggeleng-gelengkan kepala sebelum kembali ke meja belajarnya sendiri. Dia membaca modul yang tebal. Mengerjakan soal-soal. Juga menghapalkan kamus bahasa Inggris.

Kalau sudah begitu, Mile  dan Bible baru tertarik belajar. Mereka memang tipe remaja yang nakal, tapi sebenarnya hanya butuh contoh.

Untung Build  cukup pantas dijadikan panutan. Walau belajar keduanya tetap hanya sebentar.

Belum genap 2 jam, Bible dan Mile  sudah giliran buku pelajaran dua kali. Mereka saling meminjami, karena memang sering sembarangan memasukkan buku ke tas. Kadang bawa mapel A, kadang bawa mapel B, kadang tidak bawa dua-duanya.

Yang pasti, mereka akan gantian membaca, gantian juga mengisi soal.

"Besok pinjam jawabannya sebelum masuk sekolah," kata Bible.

"Hm, tentu. Aku juga bawa bukumu yang ini," kata Mile  sambil memasukkan notebook Bible ke ranselnya.

"Oke."

Diam-diam, Build  pun tersenyum kalau keduanya sudah begitu. Dia bersyukur mereka masih mau belajar, meski tetap sering memerasnya kalau sedang lapar.

"Aku mau Ttobbokie buatan Baby-kuuuuuuuu!" teriak Bible sambil push rank dengan Mile .

"Aku jugaaaaa!"

Keduanya tetap fokus pada layar, tapi mulut terus beraksi begitu gencar.

"Yang ada daging dan teluuuurr!!!"

"Yang ada sosis dan mayonaise pedassss!"

"Cola! Cola!"

Kening Build  pun berdenyut-denyut. "Dasar para pemeras kecil," katanya. "Kapan-kapan aku akan meminta suplai uang ayah kalian."

Bukannya merasa bersalah, Mile  dan Bible justru tertawa terbahak-bahak. Mereka senang jika Build  sudah bertingkah seperti seorang ibu, karena meski keberatan tetap dilakukan juga.

"Ini. Semua yang kalian pesan," kata Build  setengah jam kemudian. Namun, sebelum Mile  dan Bible beranjak, Build  sudah mengeluarkan nasihat lagi. "Tapi ingat, kalian boleh begitu padaku, asal jangan kepada orang dewasa lain."

"Heeee ...." desah Bible.

Build  memelototi kekasihnya sendiri. "Terutama kau, Bible. Jangan ajari Mile yang tidak-tidak. Bagaimana pun kau lebih tua setahun darinya. Karena itu, jadilah panutan yang baik. Larang dia melakukan sesuatu kalau memang di luar batas."

"Hei, aku aku tidak melakukan hal-hal yang seperti itu," kata Mile  sambil meletakkan ponsel. Padahal, benda itu sambil di charge, untung saja tidak sampai meletus.

"Oh, benarkah? Lalu apa yang kulihat kapan hari? Kau ini mulai merokok!" kata Build. Anehnya, meski sambil mengomel, dia tetap membagikan masakan ke mangkuk dua remaja itu dengan telaten.

"Ha ha. Aku kan hanya mencoba sedikit," kata Mile . "Tapi sumpah tidak kuulangi lagi. Aku malahan terbatuk-batuk, ya kan, Bib?"

Bible hanya mengendikkan bahu. "Mana kutahu, kan kau yang melakukan."

Mile  pun menggeplak belakang kepala Bible dengan gulungan buku.

PLAKH!

"Aduh!"

"Ckckck. Kau ini membelaku sebentar tidak bisa ya."

Bible hanya tertawa.

Usai makan-makan dan tidur siang, kedua remaja itu akhirnya dibangunkan Build  pukul 4 sore. Mereka disuruh pulang, sementara Mile  berjalan malas-malasan.

"Ah, benar-benar," gumam Build  dengan menggelengkan kepala. "Hei, Mile. Sini dulu," panggilnya.

Mile  yang baru akan berjalan keluar pagar pun menoleh. "Kenapa, Phi?" tanyanya.

Build  mengambilkan jas luaran Mile  yang tadi terkena muncratan kue warna biru, kemudian memasukkannya ke dalam tas plastik untuk dibawa pulang. "Ini, sudah kucuci tapi mesin pengeringku lagi rusak. Jadi, bawalah. Setidaknya pelayan di rumahmu pasti bisa membereskannya."

Mile pun menerima benda itu. "Astaga, kenapa tidak Phi simpan saja?" dumalnya, tapi tetap membawanya ke dalam ransel.

"Ngomong-ngomong, Mile," kata Build  lagi. "Tempatku selalu bisa menerimamu, tapi ingat tanggung jawab juga ya. Bagaimana pun kau adalah pewaris. Jadi, hati-hati. Masa depan keluarga tetap ada di tanganmu."

Mile memandang jemarinya yang lecet-lecet sedikit karena baru menghajar seseorang. "Aku tahu," katanya.

Build pun tersenyum tipis. Lelaki tampan itu menepuk bahunya pelan. "Semoga kau selalu dipertemukan dengan orang baik," katanya. "Ya sudah, sana. Pulang dan cepat tidur."

"Hm."

Begitu pulang, Mile  disambut banyak pelayan meski sempat diomeli sang ibunda. Dia melewatkan les privat table manner lagi, tapi Mile  hanya menggeleng dan mengunci dirinya di balik pintu kamar.

Ah, persetan dengan les begituan. Mile  tidak merasa nyaman dengan posisi tinggi apalagi dengan tanggung jawab besar. Itu hanya akan membebaninya.

"Seseorang sepertinya sangat butuh motivasi," kata lelaki yang mendadak muncul di pintu.

"Pa," kata Mile. Sang ayah yang masih memakai jas kerja kini menatapnya sambil bersedekap. Dia pasti baru pulang, lelah, tapi  mengulum senyum amat manis. Padahal Mile  baru saja berulah lagi, tetapi lelaki itu tidak marah sedikit pun.

"Selamat malam, Sayang," kata sang ayah. Lalu mendekatinya dan duduk. "Kau pasti dari tempat Build."

"Iya."

"Sudah makan?"

"Ya, tadi di sana dibikinkan sesuatu," kata Mile . Remaja lelaki itu menggaruk pipi karena segan, tapi dia juga tidak bisa menakhlukkan rasa malasnya.

"Ho, dia sangat baik rupanya."

"Kupikir Pa tidak akan pulang Minggu ini," kata Mile  mengalihkan topik. "Tapi baguslah kalau iya."

Sang ayah malah mengembalikan topiknya. "Tadi, Pa sudah menemui dia. Pa kasih uang jajan untuk kalian semua, terutama kalau kau datang ke sana. Kasihan sedang mikir biaya kuliah, masih direpoti kau dan Bible. Tapi, untungnya dia kerjasama Pa jagain kamu."

Mile  pun menjelma jadi anak kecil kalau sudah di depan sang Ayah. "Aku tidak macam-macam. Hanya main di sana, tapi tetap kukerjakan kok tugasku. Lihat semua sudah selesai."

"Ya, bagus," kata sang Ayah. "Tapi, di dunia nyata, kau tidak bisa mengandalkan nilai-nilai sekolah atau pengetahuan saja."

Mile  pun terdiam bisu. Ah, sesi nasihat lagi, pikirnya.

"Kau harus jadi juara dalam kehidupan nyata, Nak. Semua dikaitkan dengan usahamu, cintamu pada pekerjaan sehari-hari, dan bagaimana menyeimbangkan kewajiban serta hak."

"...."

"Tapi, Pa tahu. Kau memang sedang tidak punya alasan cukup menantang demi melakukan semua itu."

Mile  baru tertarik kali ini. "Pa tahu?"

"Ya. Kan Pa pernah seusiamu," kata sang Ayah. "Dan walaupun sebelumnya Pa abai, tapi sekarang tidak bisa. Karena kau akan jadi kakak. So, kalau adikmu nanti sudah lahir, fiturmu akan jadi contoh untuk dia—"

"HAH?!" Mile  baru kelihatan wajah tololnya. "APA, PA?!"

Sang Ayah sampai tertawa kecil. "Ibumu itu hamil lagi. Tapi baru 4 bulan. Dan karena badannya kecil, jadi tidak kelihatan. Apa kau tidak suka jadi Kakak? Maaf, ya. Pa mendadak ingin punya anak lagi."

Mile  pun bengong setelah bahunya ditepuk-tepuk sang ayah malam itu. Dia bingung, karena sudah terbiasa sendiri. Astaga, demi apa? Punya adik jarak 16 tahun? Mile  pasti sudah kejatuhan langit runtuh.

Ya, itu benar sih. Menyebalkan. Tapi tidak buruk juga. Mile  lantas menghela napas panjang. Dia membuka buku di atas meja belajar dan menulis sesuatu. Andai dirinya bukan pewaris, apa ya yang akan dilakukan?

Mile  ingin memasuki dunia hiburan, atau mungkin lebih baik penjelajah bumi. Dia sebenarnya suka travelling, tapi tentu bukan untuk bisnis. Mungkin lebih baik jika menjadi fotografer sekaligus jurnalistik. Hal yang mungkin tidak lebih bagus daripada seorang CEO, tapi Mile  senang membayangkannya.

"Bagus, kalau ternyata aku punya adik," kata Mile  mendadak terkekeh. "Aku harus melakukan ini hanya sampai dia dewasa. Lalu kabur melakukan yang kusuka karena sudah digantikan. Ha ha."

Meski tidak banyak, motivasi Mile  pun meningkat. Dia kemudian menghadiri les privat table manner pada keesokan hari, meski untuk kelas piano tetap kabur-kaburan.

"Bible! Hari ini kita mau kemana?" tanya Mile  lewat telepon. Lagi-lagi dia lari dari rumah pakai taksi, lalu kecewa karena Bible ternyata akan merayakan anniversary hubungannya dengan Build.

"Heeeeeh? Jadi kau tidak main denganku? Astaga! Curang! Dasar pacar terus yang kau urusi! Awas saja ya!"

Sopir taksi hanya geleng-geleng saat mendengar omelan Mile. Akhirnya, Mile pun uring-uringan. Dia main game di mall karena bingung akan melakukan apa, lalu keliling-keliling tidak jelas. Kadang menilik barang-barang meski tidak belanja. Kadang juga main lift ke atas dan ke bawah lagi.

Ah, sial! Mile  ingin sekali mengeteki Bible kalau sudah selesai kencan. Dia benar-benar ingin balas dendam!

Ting!

Saat lift terbuka lagi untuk keempat kalinya, mata Mile  pun tertarik pada satu eksistensi: Laki-laki si pembawa kue biru! Sedang apa dia di mall? Bukankah kemarin katanya tidak punya uang? Kenapa sekarang belanja?

_____

Orang itu bahkan belum balas budi!

_______

Mile  pun tertarik mengintai karena tidak ada pekerjaan (atau lebih tepatnya terlanjur tidak ikut les bahasa, tapi menolak pulang).

"Terima kasih, ya! Aku benar-benar terbantu!" kata laki-laki kue itu. Dia tersenyum manis sambil menerima sebuah paper bag, sementara gadis penjaga stand kue balas nyengir padanya.

"Sama-sama, Apo! Makasih juga sudah mau mampir sendiri. Aku tidak sempat berikan hadiahnya karena sibuk di sini."

"Iya, tak masalah. Aku pulang dulu, ya!"

"Oke, hati-hati."

"Daaah."

"Daaah."

Mile  pun menyeringai. "Hm, hadiah?" gumamnya sebelum keluar dari persembunyian. "Jadi, sekarang dia sudah punya sesuatu untuk dipalak!"

Ha ha ha. Sebenarnya Mile  tidak peduli berapa nominal atau barang yang dia ambil dari orang-orang seperti si lelaki kue. Yang penting keseruan selama melakukan sesuatu. Toh, kalau dia menangis, Mile  bisa mengembalikan barangnya. Tapi, hei ....

"Wah, serius aku dapat segini?" kata Apo saat dia bersembunyi di balik rak-rak mall. Wajahnya kelihatan senang sekali, padahal nominal yang di berikan padanya tidak lebih besar dari uang saku Mile . "Bagus sekali. Bisa dipakai tambahan bayar kuliah. He he he. Aku bisa menabung untuk beli laptop baru!"

"Ekspresinya sangat menarik," pikir Mile .