TKC 42

SETELAH melakukan perjalanan 3 jam, Apo bisa menyimpulkan suasana Kota London dengan Desa Riverside yang ditunjukkan Raja Millerius amat berbeda. Di sana masih terang benderang. Matahari tidak hanya muncul tipis akibat salju mulai turun, tapi justru menyirami jalan setapak diantara pepohonan hijau yang asri. Terdapat wilayah perdesaan terpisah dan saling berjauhan. Rumah pun tidak berkelompok seperti pada umumnya. Kehidupan bertetangga di sana sedikit asing, anehnya ketika kereta kerajaan lewat semua penduduknya keluar rumah berbondong-bondong. Yang menggembala di padang rumput mendekat ke pagar jalan. Yang tengah mencuci baju di sungai pun menyudahi sebentar pekerjaan mereka. Apo belum pernah melihat rakyat Inggris seantusias ini dalam menyambut, lebih tepatnya mereka biasa disuruh mengabaikan untuk menjaga privasi seorang raja.

Desa Riverside mendapat perlakuan yang agak beda. Apo melihat para penduduknya tersenyum kepada Raja Millerius. Bahkan mendapat balasan lambaian tangan serupa. Sang dominan tersenyum tipis kepada mereka, hal yang sedikit aneh untuk diperlihatkan kepada masyarakat umum berkasta rendahan. Apo sendiri jadi kelewatan ramah untuk mengimbangi suasana. Dia meniru Raja Millerius dalam bersosialisasi di sana.

"Menyenangkan, bukan?" kata Raja Millerius tiba-tiba. Perlahan dia pun menegakkan postur duduk. Lalu menoleh kepada Apo yang masih menyapa gembira.

"Eh? Ya. Lumayan," kata Apo. "Tapi ... boleh aku tahu kenapa Anda begitu ke semuanya? Perasaan Yang Mulia harus tetap "keren" di depan semua orang," komentarnya.

"Iyakah? Hhh ...." kekeh Raja Millerius. "Semua karena Nenek pernah lahiran di sini, Natta. Beliau dulu jalan-jalan dengan saudarinya untuk mencari udara segar. Namun, ya ... seperti yang sudah bisa kau tebak? Nenek kontraksi di tengah jalan."

"Wow ...." desah Apo. "Jadi yang menolong penduduk setempat dong?" tebaknya. "Kedengarannya seperti cerita kepahlawanan, ha ha ha ...."

"Benar." Raja Millerius kembali menyapa ke seorang anak kecil membawa layangan. "Lebih tepatnya istri kepala suku mereka sih. Namanya Istein Stell, dipanggilnya Nyonya Istein," kisahnya. "Sayang ... waktu Kakekku ingin memberi hadiah, mereka justru menolak keras. Katanya lebih baik anak cucu dan rakyatnya diperbolehkan menatap dan menyapa kami. Daripada dapat benda yang akan terhapus zaman."

"Astaga ...."

"Tapi manis kan?" kata Raja Millerius. "Itu menunjukkan seberapa cinta mereka terhadap anggota keluarga kerajaan, walau sebenarnya tidak pantas untuk melakukan hubungan timbal balik di keseharian."

"Oh."

Apo pun mengangguk-angguk. Dia coba mencerna sedikit demi sedikit pola kehidupannya sekarang. "Hmm ... jadi yang boleh dekat begini cuma bangsawan ya?" pikirnya sambil menatap Raja Millerius dari samping. "Sombong sekali ternyata (?), tapi kalau tidak begitu memang bahaya sih. Apa mau dikata kalau penjahat mayoritas lahir di tempat-tempat miskin."

"Natta, lihat."

Apo segera mengalihkan fokusnya ke jendela kembali. "Apa?"

"Itu."

Raja Millerius menunjuk ke sebuah rumah gubuk yang akan mereka lewati. Kalau segi ukurannya memang kecil dan hanya terbuat dari kayu hutan mentah. Namun, ada halaman luas yang mengitari bangunan tersebut. Juga kandang dan domba-domba berjumlah ratusan. Di sana lah terdapat sebuah keluarga bahagia. Ada ayah, ibu, dan 15 anak mereka yang memakai baju sederhana. Cara berdirinya seperti tangga-tangga tertib. Dari paling tinggi, ke paling kecil. Dan yang berumur 1 tahun + bayi digendong orangtuanya.

Apo refleks berdecak, "Haaahhh?", tapi Raja Millerius hanya tertawa kecil. Ekspresi si manis lucu sekali. Raja Millerius justru menikmati pemandangan senyum-senyum mirip di bibir mereka. "Itu, itu, itu, itu ... itu tadiiiii ... seriusan anak kandung bukan sih, astaga?!" kagetnya. "Kenapa seperti pasukan tempur?! Makan apa mereka setiap harinya?!"

"Hhhh, memang kenapa kalau betulan?" sahut Raja Millerius. "Kita juga bisa membuat yang serupa kalau sudah menikah nantinya."

"Uhuk!!"

What?!

"Kenapa? Apakah aku salah bicara?"

Apo tersedak ludahnya sendiri. "Stop it! Anying! Geli banget buset! Tidak kuat saya, Yang Muliaaaaaaaa!" Dia segera membuka tirai usai menepuk-nepuk dada sendiri. "Daripada itu, kenapa tidak Anda jelaskan kita sebenarnya mau kemana? Dari tadi tidak sampai-sampai, njir. Ini seperti perjalanan tidak berujung. Bokongku rasanya sudah panas sekali, shit."

Raja Millerius pun memberikan ruang lebih. Dia mundur agar tubuh Apo tidak menyeruduk dagunya. Lambat laun sang dominan terbiasa dengan tingkah lelaki ini. Apo sendiri tidak secanggung dulu dalam berinteraksi. Dia mengintip perkebunan berhektar-hektar di sisi kanan. Banyak buah mini berwarna merah dan hitam menggantung pada dahan itu. Perhatian Apo langsung teralihkan begitu saja.

"Woooaah, jangan bilang itu Raspberry, Yang Mulia?" kagum Apo. "Cakepnyaaa, sumpah. Saya baru melihat sekali ini! Ihiyyyyyy!" serunya seperti bocah.

Lelaki carrier itu sempat merogoh saku demi menemukan ponsel. Paling tidak dia harus mengabadikan potret barusan dalam kamera. Jelek pun tidak masalah, namun alam ternyata tidak merestuinya.

Apo berdecak sebal begitu ingat ini dunia game, sementara Raja Millerius menatap aneh kepadanya. Ditanya "Kenapa?" si manis malah semakin uring-uringan. Wajahnya merona campur ingin mengajak satu negara Inggris ribut.

"Tidak ada, lupakan saja! Cih ...." dengus Apo sambil menyilangkan lengan di dada.  "Kesal sekali tak ada gadget di sini. Bosan! Lagian kenapa dunia Anda kuno sekali sih? Minimal ada radio kek, TV kek ... naik kereta saja rasanya sehari penuh. Beh ..."

Raja Millerius pun mengerutkan kening. "Memang TV itu benda apa, Natta?"

"Hah?"

Seriusan??!

"Radio juga? Gadget?" tanya Raja Millerius. "Nattarylie, kau punya banyak kosakata yang tidak aku pahami. Bisa kau katakan sekali lagi?" pintanya. "Mungkin aku--"

Apo pun memutar bola matanya. "Percuma saja bicara ke Anda. Takkan menemukan jalan keluar," katanya. "Owh, by the way kereta kita berhenti. Apakah ini pertanda baik? Kita sudah sampai ya? Ayo turun!" Dia langsung membuka pintu tanpa menunggu jawaban.

Betul saja, para prajurit Raja Millerius bubar dari kuda masing-masing untuk mempersiapkan sambutan. Apo sendiri dilarang keluar hingga sebuah gulungan karpet merah digelar ke pintu masuk. Kata mereka sepatu Apo dan sang dominan tak boleh kotor di tempat ini. Angsa dan domba pun diusir dari sekitar Kastil Gilberte. Demi keamanan Apo juga harus menunggu pagar dipenuhi prajurit berbaris baris. Si manis menghela napas dengan urut-urutan protokol tersebut.

[Ha ha ha ha. Anda kelihatan badmood sekali, Tuan Nattarylie. Kenapa?]

Sistem keluar begitu Apo berjalan duluan. Lelaki carrier itu memang tak menunggu Raja Millerius. Bodo amat dia sudah kehausan sekali. Ingin rasanya menceburkan diri ke sungai atau irigasi. "Ya tanya saja kepada punggawa-mu itu. Bisa-bisanya Yang Mulia tidak bawa cemilan selama di perjalanan? Aku disuruh berpuasa apa? Cih, Brengsek. Ini bahkan hampir waktu makan siang! Laparrrrr!!" makinya sambil mencari-cari dapur. "Kalau saja ada Ayah. Pasti sudah dibawakan sekeranjang roti. Haishhh ... dasar lelaki tidak pengertian!" makinya tak henti-henti.

Apo kira tempat itu akan dipenuhi dayang seperti biasa, tapi ternyata tak ada siapa pun di dalam.

Prajurit dan dayang pun hanya melayani sebatas pintu.

Raja Millerius benar-benar melarang mereka masuk, seperti perkataannya di Istana Pusat.

Hanya kau satu-satunya orang asing yang kutunjukkan ini, Nattarylie. Jadi jangan katakan ke orang lain--

"Nattarylie, mencari apa?" tanya Raja Millerius setelah menutup pintu.

Apo pun menoleh horor. Inginnya protes lagi, tapi matanya sudah melihat denah ruangan di tangan agung sang dominan. "Bukan apa-apa sih ... tunggu, itu peta?" tanyanya.

"Ya? Untukmu sebagai pegangan."

Apo segera mendekat untuk menerima bekalnya. Senyum sumeringah tidak bisa dipungkiri langsung muncul begitu lebar. "Wahhh ... jangan bilang kita akan berpetualang, Yang Mulia? Seperti Dora?" tanyanya senang. "Kenapa tidak bilang dari tadi sih? Anjir! Saya suka kalau melihat hal baru! Sooooo?"

"Yeah, so? Jangan di sana dulu aku ingin membuka tangganya," kata Raja Millerius seraya menarik Apo dari lantai tengah.

"Eh?"

"Pegangan."

Pinggang Apo pun dipeluk agar tidak kaget dengan getaran yang datang. Raja Millerius menekan tuas patung gadis yang dipakai membelah ruang rahasia di bawahnya. Bentuk boleh lengan, tapi Apo bisa melihat bagaimana efeknya ke tempat itu. Adalah lantai yang (seolah) terpecah belah bagaikan hujan untuk membentuk jalan mereka berdua. Dari sana muncullah ratusan kupu-kupu yang terbang bebas keluar. Namun mereka tak bisa pergi, melainkan hinggap di perabotan yang tertata rapi.

Sejenak Apo pun terperanjat karenanya. Rasa kasihan bahkan sempat muncul memikirkan nasib kupu-kupu tadi. Namun begitu mengintip, Apo menemukan ratusan bunga yang tertanam di dalamnya. Sinar matahari tampak disalurkan secara konsisten ke tiap pot menggunakan cerobong-cerobong kaca khusus.

Raja Millerius belum mengatakan apapun saat menekan beberapa tuas lain lain. Dia menyingkirkan seluruh cerobong, agar Apo melihat keindahan dunia yang dia sembunyikan selama ini.

Ada air terjun buatan.

Ada pantulan cahaya pelangi yang dibuat menggunakan alat-alat sederhana.

Ada juga gerombolan ikan hias yang dibiarkan renang di kolam.

Rumput-rumput ditanam secara meluas pada permukaan tanah. Tidak ada yang namanya lantai marmer, karena penuh oleh serangkaian hiasan alami.

Jujur Apo sungguh terpesona hingga tak sanggup berkata-kata. Dia sampai lupa masih di pelukan, saat sang dominan membisiki telinganya.

"Bagaimana, Nattarylie? Bagus tidak?" tanya Raja Millerius. "Aku memang dibentuk menjadi Raja Inggris. Namun tak seorang pun bertanya aku sebenarnya memiliki impian apa," katanya. "Dan ya ... kalau kau tak keberatan ayo kuajak melihat-lihat?"