AFFAIR WITH INFIDELITY 10

Hari itu, siang itu. Aku sendiri tak menyangka akan menyerahkan diri begitu cepat. Apalagi di meja ruang tamu kekasihku. Kami bercinta seperti kucing pada musim kawin. Karena setelah ke meja, masih pindah ke sofa panjang.

Tunggu, tunggu. Tapi kau paham istilah kucing kawin tidak?

Itu adalah saat kucing melakukan seks sehari penuh. Setiap ronde bervariasi antara 10-40 menit, dan begitu birahi ulang, kami akan kembali berpeluk. Kusambut sentuhan Mile saat dia datang, kujepit penisnya diantara belahan bokongku. Tapi kadang memakai paha, genggaman tangan, dan mulut atasku.

Kukocok penisnya menggunakan jari jemariku. Kubenamkan batang itu ke dalam mulutku, kuremas pinggangnya. Lalu dia menjambak rambutku (bahkan aku lupa preferensi seksualku). Apakah aku masih tertarik ke wanita saja (?) atau mulai berubah. Yang pasti aku bahagia melakukan ini untuk Mile. Hanya Mile.

Dia memujiku karena cepat belajar, bilang tubuhku begitu hangat, sampai-sampai mampu menghangatkan hati dia juga. (Ah, benarkah?) Baguslah kalau begitu. Kupikir yang kulakukan hanya menjadi pasangan yang baik. Karena aku ingin memuaskan Mile, seperti dia berniat memberikan momen terbaik padaku.

Mile memang hanya mengatakan cinta setelah ronde pertama, tapi kulihat sebelah matanya juga menangis. Dia di puncak kehidupan yang selama ini dijalani penuh kebosanan. Lalu menggempurku lagi sambil meremas punggung sofa-nya. Dia bilang, "Kenapa aku baru menemukanmu sekarang, Sayang? Kenapa aku harus berputar selama 40 tahun lebih ...." lalu memeluk dua kaki rampingku pada dadanya.

Dalam posisi aku berebah, penis Mile pun terus menorobos liangku yang membalut dia. Sementara aku memberikan kepuasan duniawi yang akan dia kenang sepanjang hidup.

Tak terhitung berapa kali otot perutku dimuncrati sprema Mile. Bahkan bokong belakang, wajah, dan punggung bawahku juga.

Saat tubuhku dibalik, Mile memeluk pinggulku segera. Dia tak membiarkanku menungging berlama-lama, lalu memposisikan aku duduk dalam kondisi dadanya pada punggungku. Biarkan aku mendengarkan debaran pada jantungnya. Dan biarkan aku ingat betapa hebat cintanya padaku. Semua itu kusadari karana lengan kekar pria ini kukuh merengkuh diriku. Membuatku terpejam penuh syukur. Lalu balas menggenggam lengan liatnya menggunakan semua jemariku. Brugh!

Sore harinya, entah pukul berapa. Aku pun dipeluk Mile dalam kondisi sama-sama telanjang. Dia di bawahku, aku di atasnya. Tapi secara aneh, Mile tak mau aku telungkup menatap dia. Pria ini justru membalik tubuhku agar menghadap langit-langit. Lalu kudengar suara serak dari tenggorokannya. Sniff, sniff, sniff ... TUNGGU-TUNGGU, MILE?! SERIUSAN KAU SEDANG MENANGIS?!

"Jangan menoleh, atau aku takkan mengakhiri ini ...." ancam Mile, yang kepalanya bersandar pada pegangan sofa. Dia membenamkan wajah pada bahuku. Menghidu aromaku -- yang katanya seperti croissant -- lalu kaki kirinya menekuk agar kami tak mudah terguling.

"Phi Mile ...."

"Terima kasih telah membuka kesempatan untukku, Apo. Terima kasih dan maaf untuk segala-galanya ...." Dia lantas menciumku dari sisi samping. Barulah kami rehat bersama. Dia terpejam (tapi aku tahu Mile terjaga), sementara aku menyentuh bibirku sendiri.

"Ah ... perih ...." batinku saat ada seuntai darah menempel pada jariku. Tapi aku tidak masalah. Relung hatiku terasa lengkap, dan bekas sentuhan Mile pada sekujur tubuh ternyata tidak semengerikan itu. Pria ini malah meninggalkan gejala adiktif yang besar. Seperti narkoba, tapi aku masih malu mengakuinya. Tahu-tahu malam harinya aku terbangun di ranjang yang empuk. Memakai piama, wangi, bersih, dan berkaus kaki.

Ada selimut tebal juga yang membalut tubuhku. Dan itu kamar Mile karena ada fotonya yang terpajang sebesar dinding. "Tampan sekali ...." batinku. Saat menoleh, memang tidak ada Mile di sebelahku, tapi ada bekas dia tidur di sini.

Mile juga menyediakan meja dorong berisi menu makan malam. Ada daging panggang, susu putih, buah-buahan yang dipotong, serta semangkuk kecil salad sayur. Bahkan ponselku yang jatuh di lantai saat seks pun ada di sana. Benda itu tergeletak dengan tempered glass baru. Mungkin karena sempat retak, jadi Mile menggantinya.

[Phi Mile: Baby, aku keluar dulu. Lupa ada acara penutupan WNTM bersama yang lain. :) ]

[Phi Mile: Kau tahu kan? Semacam after party bersama anak didikku? Apalagi Vegan dan Ling Fei dapat posisi 3 besar. Sebagai mentor kan aku tidak boleh mengabaikan mereka :) ]

Aku pun tersenyum tipis.

[Apo: Iya, tapi aku akan pulang setelah makan malam]

Balasannya muncul secepat angin.

[Phi Mile: Hei, jangan. Aku janji tidak akan lama. Hanya pukul 10, Baby? :( ]

[Phi Mile: Ini baru pukul 8. Kenapa buru-buru sekali? :( ]

"Ha ha ha ha ...." tawaku karena Mile menggunakan emot sedih untuk pertama kalinya.

[Apo: Aku kepikiran Bella]

[Apo: Ingat kan kau memacari Daddy anak satu?]

[Apo: Dia belum kuajak belajar]

[Apo: Belum kupakaikan skincare juga :) ]

Tidak lama kemudian, foto Bella pun muncul pada chat terbaruku.

[Babysitter Bella 2: Tuan Natta, Nona ngambek karena cone 3 rasa-nya tak sampai-sampai. Beliau mengajak keluar kafe malam begini]

[Babysitter Bella 2: Anda kira-kira pulang jam berapa?]

"Kan, benar ...."

Padahal suhu di luar sedingin itu, tapi Bella pasti kesal karena aku tak pulang-pulang. Akhirnya kukirimkan foto tersebut kepada Mile. Niatnya hanya sebagai bukti, tapi Mile malah memberikan balasan tidak terduga.

[Phi Mile: Nanti kujemput Bella pas pulang :) ]

[Phi Mile: Yang penting suruh makan malam dan siap-siap. Besok sekolahnya izinkan saja, sekalian pindahan :) ]

[Phi Mile: Kenapa harus pakai pulang segala? Sudah di rumahku, berarti menetap :) ]

[Phi Mile: Ya, Baby? :) ]

Ya, Baby, huh?

Sejak kapan sebutanku berubah lagi.

[Apo: Kalau begitu hati-hati di jalan]

[Phi Mile: Tentu :) ]

[Phi Mile: Tapi mau foto dulu agar semangat bekerja :) ]

[Phi Mile: Clara Adelin meminta desain dadakan padaku :) ]

[Phi Mile: Kau tahu kan? Miss Washington? :) ]

[Phi Mile: Masih kurang 2 desain lagi :) ]

[Phi Mile: Untung bayarannya cukup untuk jajan calon istri :) ]

Keningku pun mengernyit saat Mile mengirimkan foto desain dia. "Cukup untuk jajan, huh ....?" decakku sebal. "Lain kali mau kugampar mulutnya."

Aku pun duduk meski susah payah (pinggangku rasanya remuk sekali, serius) lalu mirror selfie untuk kedua kalinya.

[Apo: Ini Phi]

Send ....

Kutebak Mile sedang mencari gif lain untuk membalasku. Sebab dia mengetik chat lama seperti dulu. Namun, kutunggu-tunggu tidak juga muncul. Malahan emotikon kasmaran lah yang tampak di layar ponselku.

[Phi Mile: 😍 ]

Bibirku melengkung tipis.

[Phi Mile: Maaf sinyalku buruk, Baby. Gif-nya sulit ketemu :( ]

"Dasar ...."

[Phi Mile: Oh, iya. Baby mau apa? :) ]

[Phi Mile: Silahkan isi titik-titik di bawah ini :) ]

[Phi Mile: Ada jajan buat calon istri :) ]

[Phi Mile: .... ]

[Phi Mile: Barang boleh, makanan boleh :) ]

[Phi Mile: Mau pesan gedung pernikahan langsung juga boleh :) ]

"Ha ha ha ha ha ... Bapak-bapak ini sepertinya tidak tahan lagi."

Aku pun berpikir apa yang perlu dahulu. Lalu mengetik balasan.

[Apo: Aku mau pena buat kerja. Warna hitam. Punyaku kemarin hampir habis]

[Phi Mile: .... mengetik .... ]

[Phi Mile: Itu saja? :( ]

[Phi Mile: Lagi? :) ]

[Apo: Kacamata minus 1? Aku butuh baru yang frame tebal]

[Phi Mile: Tunggu dulu, tunggu dulu. Baby minus? :( ]

[Apo: Ya, tapi pakai kacamatanya cuma di kantor]

[Phi Mile: Mau terapi biar sembuh? Mumpung masih belum parah :) ]

[Phi Mile: Nanti kubelikan alatnya biar lensa matamu terlatih]

[Apo: Iya, itu saja]

[Phi Mile: Yang lain lagi? :) ]

[Phi Mile: Masak tidak mau jajan .... :( ]

Di seberang sana Mile pun mengantungi ponselnya. Mile tahu sang kekasih bukan tipe yang meminta, maka dia harus inisiatif untuk memberikan sesuatu. Tapi aku harus beli apa? Batinnya. Usai party Mile bahkan melipir ke kantor demi mendesain dress cantik. Namun semangatnya turun karena Apo masih sama saja. "Hmmmh ...."

Mile pun memandangi foto Apo yang manis nan menggemaskan, tapi empunya hanya membaca pesan terakhir miliknya.

Masih centang dua biru.

Dianggurkan.

Mile sampai kehilangan mood di desain ketiga, lalu menelepon usai meremas rancangan yang gagal.

"Iya, Phi?"

Mile menyingkirkan dua desain yang sudah jadi daripada ikut kena imbas emosinya. "Sayang, serius. Mau jajan apa?"

"Hm? Sudah. Tadi saja sudah cukup," kata Apo di seberang sana.

Kuku Mile pun mengetuk kertas rancangannya, lalu berpikir keras. Aku belum pernah sekesal ini ....

"Apo Nattawin Wattanagitiphat. Cepat bilang. Phi marah kalau kau tidak mau apa-apa. Paham?"

Mendengar nama lengkap disebut, aku pun langsung kebingungan. "Phi, are you okay?"

"No, I'm not okay. Jangan membuatku ingin memakimu."

"Hah?"

"Apo, kau paham apa maksudku."

Aku pun langsung mematikan sambungan telepon. Jantungku berdebar karena baru kali ini Mile marah. Bahkan aku tak berani mengangkat panggilan ulangnya. Clung! Clung!

[Phi Mile: Apo, jawab teleponku sekarang. Aku serius]

[Phi Mile: Apo]

Sudah, begitu saja.

Aku pun segera mematikan ponsel, lalu menaruhnya di atas nakas. Aku tidak jadi makan. Kemudian berbaring miring dengan menarik selimut. Oh, Tuhan. Bagaimana raut wajah Mile ya kalau dia marah? Tapi ini kan masih dalam perjanjian. "Dia benar-benar seperti orang yang berbeda. Ugh, ini jadi agak menakutkan ...." gumamku dengan napas yang memburu.

Aku pun merinding membayangkan Mile nanti pulang, lalu segera duduk untuk siap-siap pergi. Entah kenapa aku tak sanggup bertemu dengannya, tapi baru berjalan saja sangat susah. Kakiku lemas, dan aku ambruk di samping ranjangnya. Bahkan tanganku butuh benda-benda rambat untuk bergerak ke lemari baju.

Apa sebaiknya aku berubah pikiran?

Aku harusnya tahu Mile tidak sebaik itu ....

Maksudku, dia tetap saja pria 42 tahun--

"Tuan Natta apa Anda ada di dalam?" panggil seorang pelayan tiba-tiba.

"Ya?"

"Saya hanya ingin menyampaikan Tuan Mile memanggil lewat telepon rumah. Apa Anda bersedia membuka pintu untuk menerima? Beliau bilang ingin berbicara."

Aku mendadak ingin menangis.

"Tidak perlu, tidak perlu. Biar kutelepon balik saja. Terima kasih," kataku sambil mengucek mata. Meski kesulitan, aku pun kembali mengambil ponsel. Masih duduk di atas lantai, lalu mengaktifkannya demi menelepon Mile. "Halo?"

Entahlah, suaraku yang goyang pasti kentara sekali.

"Phi?" panggilku sekali lagi.

Namun, hanya ada kesunyian di seberang sana. Bulu kudukku pun berdiri karena menunggu jawaban. Lalu Mile memutus sambungan. Oh? Dia merubahnya dengan panggilan video.

[Phi Mile: Angkat]

.... kata Mile, lewat chat yang baru muncul di notifikasi.

Aku pun tidak membukanya karena tampak di depan mataku, lalu menerima panggilan hingga wajah keras Mile muncul di layar.

"Phi, apa aku punya salah?" tanyaku. "Aku benar-benar minta maaf."

.... anehnya, ekspresi Mile langsung melembut karena melihat diriku.

"Hmmmh ... ya sudah, jawab dulu pertanyaanku. Apa badanmu ada yang sakit?"

Eh? Kenapa pembahasannya jadi ke arah sana?

"Iya, semuanya. Tapi aku tidak apa-apa."

"Bagian mana? Dan kenapa kau duduk di lantai?"

Aku pun memerah, tapi berusaha tenang. "Yang Phi gigit di dadaku. Terus yang di bawah ... sakit. Aku tidak bisa jalan."

Raut Mile pun lebih melunak. "Kau tahu itu tandanya apa? Kau sudah berbuat banyak untukku," katanya, mulai mendoktrinku dengan kata-kata. "Bukankah sejak awal begitu? Dulu aku membelikanmu hadiah, sudah kau kembalikan semua dengan mobil. Lalu yang kedua, box hadiah untukku kau kembalikan lagi dalam bentuk uang. Oke ... akhirnya aku tidak memberimu apa-apa. Terus mobil, tolong jangan hitung karena di hari ulang tahun kau memang pantas bahagia. Tapi tadi siang, kuajak belanja malah aku yang diberi dasi. Apa menurutmu itu bagus? Tidak, ya. Sekarang aku sudah memiliki seseorang, Apo. Itu kau. Kau pikir aku bekerja untuk siapa? Jangan membuatku stress karena hal sepele seperti ini!"

Jemariku yang menggenggam ponsel pun jadi basah keringat. "Tapi aku tidak tahu mau minta apa ...."

"Tidak tahu, hah? Aku benar-benar bisa gila."

Aku pun diam daripada salah kata.

"Baiklah, sebentar. Kukirim link menuju butik online kenalanku. Nanti ada banyak gambar. Jadi pilih saja barang yang kau mau. Jangan kurang dari 10! Kuberi waktu sampai jam 9, jangan lebih. Biar waktu pulang bisa langsung kujemput barangnya. Paham?"

"Iya."

"Katakan lebih keras. Aku tadi tidak dengar!"

"Iya ...."

Mile pun menjilat bibir sambil memijit keningnya. "Bagus, sekarang naiklah lagi ke ranjang. Makan malam, lalu tunggu aku paling lambat jam 11."

"...."

"Aku harus ke apotik dulu untuk membeli obatmu."

Panggilan video pun berakhir begitu saja. Namun, entah kenapa aku belum bisa lega. Otakku berpikir apa masalahnya, tapi mungkin ini bukan timbal balik, melainkan love language saja. Aku diam karena belajar membedakan kapan harus peka, karena Mile jika marah langsung balik ke setting-an awal.

Bisa aku dapatkan dia yang manis kembali?

Aku tidak mau kehilangan.

"Emnh, enak ...." kataku sambil menangis. Malam itu aku pun betul-betul makan setelah menyeret kaki. Lalu memilih sembarang barang untuk dibeli Mile tanpa banyak pikir. Yang penting kelihatan bagus untuk aku pakai. Toh aku tidak paham trend dan fashion ala dunia sosialita. Dari situ Mile kembali tersenyum lewat chat-nya lagi. Bahkan mengirimi aku gif lain dalam perjalanan pulang.

[Phi Mile: Baby, aku keluar dari parkiran :) ]

[Apo: Iya]

[Phi Mile: Bella juga sudah kujemput. Tapi dia tidur di jok belakang karena Babysitter-nya bilang kekenyangan es krim :) ]

[Apo: Iya]

[Phi Mile: Tapi pena-nya keliru berwarna biru. It's okay? Besok lagi kubelikan hitam :) ]

[Apo: Iya, biru juga tidak apa-apa]

[Phi Mile: Tidak. Besok tetap akan kubelikan. Sabar ya :) ]

[Apo: Iya]

[Phi Mile: Kirim dua foto sebelum aku sampai ke rumah :) ]

Huh?

[Apo: Iya, Phi?]

[Phi Mile: Satunya piring habis, satunya lagi gambar Baby-ku yang manis :) ]

Aku pun bersyukur kebetulan selesai makan. Lalu Mile kuberi jepretan yang dia inginkan. Pertama piring, kedua muka sembab-ku. Namun Mile tidak panik karena sudah tahu sebabnya.

[Phi Mile: Good. Sampai jumpa nanti di rumah :) ]

[Apo: Iya]

[Phi Mile: Lihat dulu :) ]

Aku pun berdebar saat gif kartun kiss itu bergerak di depan mataku.

[Phi Mile: Apa aku nanti mendapat hadiah? :) ]

Setelah ketegangan tadi, mana mungkin aku menolaknya?

[Apo: Iya]

[Phi Mile: Bagus :) ]

Tak ada balasan yang lain yang mengikuti. Aku sendiri merasa cukup. Lalu berupaya bersih-bersih ke kamar mandi.

"Sshhh, astaga. Pinggangku mau begini sampai kapan?" keluhku seorang diri. "Besok aku harus kerja ...." Namun, saat baru masuk pandanganku terdistraksi ke sepasang sikat gigi beda warna di sebelah wastafel bermemo.

[Jangan takut, bukan bekas orang lain. Pakai saja yang kuning, karena itu milikmu]

[Sebelum berangkat tadi kubukakan baru untuk memandikanmu]

____ Calon suami :) ____