JUST A LABORER CONSTRUCTION 11

Detik itu, Mile yang dikenal workaholic pun berubah jadi bayi di tanganku. Dengan telaten aku memandikannya termasuk proses keramas. Lalu kukenakan bathrobe ke tubuhnya sebelum kudorong keluar. Sebetulnya tadi suamiku ingin seks di bath-up, tetapi kutolak tegas. Dia harus istirahat dulu setelah bekerja keras. Karena aku yakin dinas jauh lebih melelahkan daripada kuli yang dibantu banyak orang. Mile kunilai memakai pikiran kencang hingga waktu pulang tiba, tapi dia masih ingin jam ranjang setelah aku keluar.

Seperti bocah tantrum, Mile cuma duduk menungguku sejak tadi, seolah ingin dituruti dulu baru mau ganti baju. Matanya memandangku dengan tatapan mesum, tapi begitu aku datang, ternyata dia tak langsung menyentuh. Malahan memuji-mujiku.

Katanya, "Cantiknya istriku ...." sambil tersenyum, padahal jelas-jelas aku punya penis dengan tubuh berotot kecokelatan. "Sial sekali sering meninggalkan yang seperti ini. Bisa kamu kubawa saja kalau bekerja, Natta? Di koper, misalnya?"

Aku membelai tengkuknya dengan jemari. "Phi mau Saya hisap dulu?" tawarku.

Dia tidak menjawab, tapi betah senyum sampai aku duduk di depan kakinya. Suamiku tampak menikmati momen aku menarik tali bathrobe-nya, lalu mengulum penis besarnya di depan mata. Dia tidak memaksaku membenamkannya ke ujung seperti dulu. Hanya membelai pipiku dengan gesekan jari saat aku butuh jeda. Mile berubah lembut dan nafsunya tak semeledak-ledak saat bulan madu. Membuat aku berpikir apa arti dari pandangannya.

Apa panggilan "Sayang, Natta" ala Mile sungguhan bermakna "Sayang" dan "Cinta?". Aku ingin tahu jawaban tersebut, tapi sulit sekali minta konfirmasi. Tenggorokanku lebih sanggup memuaskan penisnya begini daripada mengeluarkan kalimat penasaran. Karena aku takut jika menjadi satu-satunya yang betulan menaruh perasaan.

Apalagi jika aku dulu yang jatuh hati. Tidak-tidak, serius. Aku tak mau dianggap hina karena profil Mile layak membuat orang tertarik.

Kalau aku ....

.... aku ini hanya ....

.... kuli.

Diakui dan tidak diakui asalku memang begitu. Namun aku tak ingin langsung patah hanya karena menggebu saat mulai menyukainya. Bagiku jam seks memang harus dituaikan seperti ini sejak awal. Aku istrinya, meski lelaki--atau setidaknya ... Mile memang memandangku sebagai posisi istri kala menarikku dalam anggota keluarga.

Dia pun mendesah sambil menyebut namaku, "Natta--" tapi aku tidak banyak menghindar saat dia klimaks di sisi pipiku. Kupandangi bagaimana raut dia ketika merah nikmat akan sentuhanku. Aku mengulangnya. Tapi Mile sendiri mendorong bahuku agar servis yang kedua disudahi saja. Mile ingin aku berbalik agar bisa menginvasi belahan bokongku. Kuturuti, lalu dia memeluk pinggangku dari belakang sambil mengecup banyak spot yang dia remas.

"Ahhh, Phi Mile ...." desahku sambil meremas pinggiran nakas. Tak kusangka Mile menyimpan lubrikan di dalam sana -- entah sejak kapan-- yang pasti jalur liangku dilumuri cairan sejuk itu usai dituang ke telapak tangannya.

"Enak, Sayang?" tanyanya. Aku hanya diam merasakan dua jari menekan keluar masuk ke dalam sana. Durasinya sebentar karena 4 hari jeda ditinggal Mile belum membuatnya kembali serapat itu. Aku masih lunak untuk dia masuki. Dan dia langsung berdiri untuk menjajah diriku. Pria ini menyodok keras dari belakang sambil meremas jariku. Membuat suara pertemuan kulit kami terdengar erotis sekali. Plakh! Plakh! Plakh! Plakh!

"Ahh--! Nnghh ... nnghh ...." desahku oleh sensasi persetubuhan ini. Pahaku gemetar karena gejolak hasrat yang menguasai pinggul. Dan aku pun mengocok penisku sendiri di depan sana. Makin kencang tumbukan Mile, makin cepat juga aku memanja diri sendiri. Kepalaku menunduk saat memandang pantulan tubuh kami dalam cermin tinggi di depan sana. Kemungkinan Mile memasangnya sebelum aku dinikahi karena pria ini mengaku senang melihat pahaku dilelehi spermanya.

Mile pun mendorongku ke dinding hingga jemariku pindah ke sana. Dia membuat mata kami sama-sama menonton persetubuhan itu tanpa berjeda, dan jujur aku malu waktu kami saling membaca hati. "AHHHH! Shhh--shhh ... mngh ...." teriakku tanpa sadar. Aku terkejut Mile menaikkan satu kakiku mendadak, lalu memegangi lutut dalamnya demi mengunjam lebih jauh lagi. "Oh ... Phi ...." desahku.

Aku sampai takut hamil, padahal genderku murni lelaki. Apalagi Mile melemparku ke ranjang setelah mengeluarkan penisnya sebentar.

Pria ini membekukku telungkup lurus. Badan di ranjang, tapi kakiku masih berdiri di lantai. Dia menjambak bathrobe-ku hingga lepas dengan kasar. Lalu menerobos ulang ke dalam. "Oh TUHAN--Phi Mile ....!" sebutku dengan mata terpejam. Aku sulit bernapas di posisi ini karena hidungku tenggelam dalam selimut, plus pergelangan tanganku dicengkeram di atas punggung. Dia meremas-remas bokongku dengan tangan yang lain. Dan itu bertahan hingga dia klimaks kedua kalinya. "Hmnhggh ...." lenguhku saat dibalik agar kami berhadapan.

Suamiku kini menunduk untuk mencium bibirku, dan aku yakin dia sengaja selagi menunggu penisnya memproduksi sperma baru. Dia berfokus memuaskanku karena belum keluar. Terbukti tiga jarinya kembali masuk untuk memutar titik yang belum terjamah di bagian pintu liang. Secara refleks aku pun menyedot jemarinya karena nikmat. Aku masih ingin dia. Kalau bisa penis Mile harus kembali memenuhiku segera. "Lagi ...." bisikku pelan. "Lagi, Phi--nnh ...."

Untung Mile paham arti tatapanku, dia pun terkekeh-kekeh. Lalu mengecup sekujur wajahku. "Sabar, Sayang. Belum ...." kulirik penisnya yang dikocok dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu itu normal karena realita tak segila fantasimu. Faktanya kami para lelaki kadang butuh waktu untuk ereksi lagi secara perkasa.

Aku pun gelisah selagi Mile menstimulasi titik sensitif lain pada tubuhku. Dimulai dari leher, dada, puting, dan otot perutku. Namun, entahlah. Rasanya kini kurang, jika Mile belum memenuhi liangku dengan batangnya.

Sangking tak sabarnya aku akhirnya ikut merogoh jalur nikmatku sendiri. Dan aku mengambil sedikit muncratan sperma di dadaku untuk mencicipi dengan lidah. "Phi, cepat ...." rengekku, yang sebelum menikah samasekali tak pernah kubayangkan aku akan senakal ini. "Cepat, Phi--AHHH!" teriakku kala ditusuk sesak kembali. Aku pun refleks menyambut kecupannya. Dan jemariku meremas bahu Mile dengan guratan kuku-kuku.

Aku ketagihan, jujur saja. Aku sudah jatuh dalam permainan seks sesama ini karena Mile paham cara menanganiku. Gilanya, untuk pertama kalinya barusan aku lah yang minta ronde tambahan saat Mile tampaknya merasa sudah.

".... boleh tidak, Phi?" tanyaku. Tapi tetap kujaga kehormatanku dengan menarik ujung selimut agar menutupi sebagian bokongku. "Aku benar-benar ingin Anda di dalam sekali lagi."

Suaraku makin memelan di akhir.

Padahal kalau bisa jangan cuma sekali.

Aku terlanjur birahi malam ini.

Aku mau.

Namun, kalau pun Mile hanya bersedia menurutiku sekali pun sudah bagus. Mungkin nanti malam, saat dia tidur aku akan onani sendiri di kamar mandi. Bisa jadi dengan merogoh liangku sambil duduk di kloset agar dia tidak tahu---

"Ha ha ha, Sayangku suka?" tanya Mile, meskipun lelah usai bekerja selama itu. Namun, suammiku ternyata mau tanggung jawab. Toh dia sendiri yang tadi mengajak bercinta. "Kalau begitu duduk sebentar ...." katanya.

Aku pun meraih tangan Mile agar duduk. Dia naik ke ranjang, lalu bersandar ke tumpukan bantal dengan merentangkan tangan. "Phi ...."

"Kemari, sini," kata Mile.

Aku pun bingung hingga ditarik dirinya lebih dekat. Lalu dia menataku agar duduk di pangkuannya.

"Berlutut," instruksinya, lalu membantu diriku memasukkan penisnya ke dalam.

"P-Phi--?"

"Kamu jago, pasti. Nanti kubantu bergerak sendiri."

Aku pun memerah penuh, tapi Mile tertawa senang dengan ekspresiku. Asli ini pertama kali aku yang memimpin gerakan, tapi lega juga karena mata itu memandangku penuh kelembutan. Mile Membuatku yakin bahwa meminta kepada suami tidak sememalukan itu. Karena dia adalah aku, dan aku adalah dirinya.

"Ahhh ...."

"Pintar, begitu ...." bisik Mile selagi aku memaju-mundurkan pinggul untuk memompa mandiri. Dia pun memelukku dengan ciuman di sepanjang leher, tapi berkomentar meski aku cukup payah dalam belajar. Dari gerakan pelan ke cepat. Mile sabar mengontrol kecepatanku agar kita sama-sama nikmat. Lalu dia menaik turunkan bokongku agar kami lebih cepat ke puncak.

"Nnngh--ahh ... jangan begini--Phi Mile--!"

Dia tetap berbisik agar aku percaya padanya.

Mau tak mau aku pun mengizinkan tubuhku diguncang keras. Membuat titik ternikmatku disodok berkali-kali hingga spermaku muncrat kencang di dada bidangnya.

"AHHHHHH!! ANNHHH!"

Cairan itu betul-betul menyebar pada kulit dada mulus Mile yang kadangkala ingin sekali kugigit. Dia tampak lega melihat senyum serta keringat yang menetes di pelipisku. Pertanda aku puas, lalu memanduku berbaring di sisinya. Namun, sial. Tak kusangka Mile kembali bersemangat karena reaksiku hebat. Bahkan dia terobsesi membuatku menjerit lagi. Mile pun memandangi kulit pahaku yang terhiasi muncratan. Dari selangkangan ke betis. Ada juga yang meleleh keluar liangku.

Mile seperti mendapat hadiah baru. Sebab penisnya jadi keras nan kencang seperti balok kayu. Aku pun mulai takut karena sempat diberi ruang sebentar. Tapi suamiku itu tampak mendidih hingga menindihku untuk kesekian kali. Dia menggodaku dulu, padahal bisa langsung masuk. Dan aku jengkel karena dia menampar-namparkan penis ke liangku tapi mundur lagi, mundur lagi.

"Phi Mile, please ...." pintaku dengan raut uring-uringan.

Mile pun bertanya, "Heh ... heh ... sejak kapan kau belajar Bahasa Inggris?" barulah memuaskanku setelah itu.

Malam itu kami pun berbagi napas yang menderu. Berdua menyempurnakan hubungan dengan gejolak seksualitas yang akan mencipta rindu, dan aku yakin Mile begitu agar hubungan kami tetap panas pada bulan berikut dan berikutnya lagi.

Kurasakan pori-pori ini haus akan kehadirannya setiap detik. Namun aku harus menahannya setiap dia dinas lagi.

(ya, kalau masih pulang ke rumah, setidaknya kami saling mengecup sebelum tidur). Namun, perasaan rindu ternyata bisa berbahaya juga. Aku jadi uring-uringan sendiri saat melakukan kegiatan. Dan itu semakin parah setiap harinya.

Aku tidak tahan membaca buku, padahal ingin membunuh waktu. Dan aku mencoret-coret buku gambar Gabby tanpa sadar saat mengajarinya sketsa kelinci.

Aku sampaiminta Peter mengantarku ke tempat Ibu-Bapak setelah sekian lama. Berharap bisa mengajak seseorang mengobrol tentang suatu hal tanpa melampiaskan emosi sembarangan.

Namun, hari itu aku terkejut karena Ibu-Bapak ikut acara bakti sosial (aku tidak tahu sejak kapan mereka gabung dalam komunitas donatur anak jalanan), sehingga yang kutemui hanyalah para pelayan. Akhirnya aku saling tatap dengan kucing-kucing peliharaan Bapak (mereka sudah besar rupanya. Padahal ini baru berapa bulan?) lalu kupeluk salah satunya untuk diajak tidur di sofa.

"Meooowwwwwww!" kaget ragdoll manis itu. Dia pun terbangun karena kupeluk. Lalu tanpa sadar mataku meneteskan cairan bening ke pipi.

"Mile ...." sebutku.

Aku ingin bertemu dengannya.

"Phi Mile ...."

Aku betul-betul berhasrat menciumnya.

"Phi ...."

Jika masih mungkin, aku berharap dia mengungkapkan cinta padaku terlebih dahulu.

Aku pun terisak-isak hingga tertidur dan lupa waktu. Bahkan Bapak panik saat pulang menemukanku berada di sana.

Saat itu pukul 11 malam.

Ibu yang menentang kotak makanan hasil masak-masak bakti sosial pun juga memburuku. Mereka berdua duduk di sebelahku. Membelai rambutku, padahal aku belum pernah semanja itu sejak lulus SMP.

Aku hanya benar-benar ingin suamiku pulang, tapi dia bilang masih seminggu lagi di Düsseldorf, Jerman.

Kenapa lama sekali? Batinku.

Biasanya dinas Mile paling panjang hanya 5-9 hari, tapi kali ini suamiku pamit hingga 12 hari. Aku sampai linglung begitu mobilnya pergi ke bandara, padahal saat melepasnya wajahku cerah-cerah saja.

"Natta, Natta ... Sayang?"

Ibu menepuk-nepuk pahaku.

"Ya ampun, Nak. Bangun ... sudah sejak kapan di sini? Ayo makan malam sama Bapak. Kenapa tidak mengabari dulu?"

Aku pun duduk dan memijit keningku.

Tak kusangka mataku bengkak hingga Ibu mengira kami bertengkar, sebab aku sampai tidak sanggup makan kue buatan Ibu barang segigit pun.

Oh, Tuhan. Dadaku betul-betul sesak sekali.

"Natta, cerita Sayang ...." desak Ibu.

"Natta ...." panggil Ayah, yang kantuknya seketika hilang karena khawatir padaku.

Aku yang merasa "lelaki" dan "punya harga diri" pun kukuh tidak bilang. Karena bagiku mencintai seseorang adalah suatu hal yang perlu kusimpan (aku terbiasa begitu karena sejak dulu merasa tidak pantas memulai hubungan--ya sebelumnya jelas dengan gadis) jadi, ini merupakan hal yang sulit kutangani.

Aku tidak mau orang lain tahu seberapa besar perasaanku bertumpah-ruah. Tapi nyatanya tubuhku tidak sanggup menanggungnya. Air mataku pun terus menetes-netes ke lantai. Juga ke kucing Bapak hingga bola bulu ini pindah dari pangkuanku. Dia melompat turun sambil mengeong berisik karena kebasahan, sementara Ibu mengambil sisa kue dari tanganku agar tidak kujatuhkan.

Apa mungkin karena Mile betul-betul yang pertama kali? Maksudku, yang memberikan pengalaman hubungan seperti ini. Otakku sampai keluyuran membayangkan Mile berselingkuh dengan perempuan, laki-laki, atau yang setengah-setengah sangking memesona dirinya. Sayang kami jarang bertemu.

Aku terluka karena sudah memberanikan diri mengirim pesan dan menelpon dia (bahkan Manajer Bas dan Sekretaris Perth) ikut kuhubungi. Tapi Mile masih sangat sibuk. Para bawahannya yang ikut dinas kompak bilang suamiku minim waktu, padahal aku belum pernah begitu sebelumnya.

[Natta: Phi, apa kabar?]

[Natta: Pulangnya masih lama, ya?]

[Natta: Kalau boleh, Saya ingin minta guru les Bahasa Inggris mulai bulan depan]

[Natta: Saya ingin pintar seperti Gabby]

---Panggilan Anda tidak terjawab---

---Panggilan Anda tidak terjawab---

---Panggilan video Anda tidak terjawab--

[Natta: Maaf, Phi. Tadi itu kepencet]

.... bohong.

Padahal aku ingin memanggilnya 20 kali lagi andai tidak punya rasa hormat yang tersisa. Tapi kupikir-pikir usahaku cukup sampai situ saja.

Aku tidak bisa bahagia hanya dengan melihat mobilku di garasi, kartu hitam darinya, atau barang apapun yang Mile berikan. Bahkan bisa dikatakan aku jarang menggunakan semuanya karena fasilitas total sudah tersedia di rumah. Mulai gym, spa, ruang musik, ruang game, home-theater, kolam renang, dan masih banyak lainnya ... jadi pikirku, buat apa keluar segala? (meski Mile sudah menyuruhku jalan-jalan sejak dulu). Aku yang akhirnya mencoba berputar di tengah kota pun hanya mencapai lelah, maka di sinilah aku sekarang.

"Aku ingin kembali nguli saja, boleh tidak ...." kataku diantara suara yang tersendat-sendat. "Aku mau ketemu teman-teman lagi."

Teman-teman seperjuangan uang, maksudku.

Hanya saja uang kini bukanlah masalah, Mile sudah merubahnya. Jadi Ibu dan Bapak pun bingung sekali. Mereka bilang akan memukul Mile jika menyakitiku. Tapi itu hanya menandakan bahwa aku belum bisa diandalkan.

"Natta betul-betul tidak mau bilang kepada Ibu?"

"Bapak sedih lho kalau kau seperti ini ...."

Aku pun memeluk Bapak ketika sudah tidak kuat. Sebab beliau adalah bahan bakarku melebihi Ibu. Sayang aku hanya bilang ingin croissant, karena masalah rasa ini tidak seharusnya kuadukan orangtua di umur ke 27.

"Oh, astaga. Sebentar, ya Ibu ambilkan dulu di kulkas. Ibu beli waktu kangen kamu, tapi sekarang pasti sudah dingin ....." kata beliau sebelum pergi.

Ibu tak menunggu pelayan bertanya dulu apakah perlu bantuan, malahan keduanya diusir agar tidak melihat aku menangis. Pelan-pelan, croissant itu pun kumakan meski dengan wajah bengkak. Tapi begitu habis separuh, aku pun pamit ke belakang untuk cuci muka.

Bisa kau bayangkan betapa ributnya aku kan selama di wastafel? Hidungku meler, jadi harus di-sisi berkali-kali. Kemudian aku mengelap wajah pakai handuk mandi hingga bersih.

Ah, sudah larut. Dan meskipun mataku merah, aku pun tetap pamit pulang setelahnya.

"Eh, Nak? Sekarang?"

Aneh, bukan?

Namun, aku tetap pergi daripada orang rumah mencari. Apalagi aku tidak menyetir mobil sendiri (tadi aku terlalu emosional untuk mengeluarkan Porsche dari garasi). Kupikir Peter pun butuh pulang untuk istirahat juga. Toh ini jam 12 malam lebih.

Tidak ada Mile di rumah.

Bentar-benar tidak ada hingga aku sudah pulang.

Dari situ aku pun sadar bahwa ini realita. (Aku tak boleh mengharapkan hubungan pernikahan seperti di film, yang suaminya mendadak muncul), lalu tidur dengan menarik selimut ke sebatas bahu.

Sejak saat itu, selama seminggu pun kujalani tanpa ada rasa apa-apa.

Aku hambar.

Aku tetap mengantar jemput Gabby dan bercanda dengannya seperti biasa, tapi dadaku ini menyimpan satu juta rahasia.

Aku pun terdiam saat ada suara mobil Mile hadir sesuai janjinya (12 hari sejak dia pergi), tapi kakiku tidak lari-lari seperti penggambaran dalam novel teenlit remaja. Aku hanya mengikuti langkah Gabby yang menyerbu ayahnya seperti biasa. Toh wajah menangisku malam itu tidak sampai ketahuan Ibu Nathanee dan Ayah Songkit.

Kesimpulannya memang hanya aku yang tahu kenapa begini, dan bibirku senyum ketika Mile datang dalam kondisi masih menggendong Gabby.

"Hai, maaf ...." katanya. "Kamu sempat menghubungi, ya? Ha ha ha. Waktu itu ada pertemuan penting dengan seorang kolega. Tapi guru lesnya sudah kucarikan kok. Jangan khawatir, begitu kubaca pesanmu langsung kusuruh orang untuk cari kandidat terbaik."

"Iya, Phi."

Aku pun berkedip ketika dikecup. Hanya saja ekspresiku yang asli sulit terkendali karena mulai mati rasa. "Lho, kenapa? Lagi kurang enak badan?" tanyanya, lalu menyentuh keningku. "Demam? Tapi rasa-rasanya tidak panas kok. Kamu kenapa memangnya?"

"Eh? Mama have a fever?" tanya Gabby, yang kali ini juga tak peka (mungkin karena aku sudah menuntaskan emosi tersebut dengan Ibu-Bapak?) yang pasti Gabby ikut memandangku. Dia cemas, lalu menyentuh pipiku dengan penuh perhatian. "Daddy, Ma Natta need your help, ka?"

"I don't know. Tapi Mama tidak demam kok."

"Ow ... hh."

Aku pun menggandeng Mile masuk dan bilang semuanya baik-baik saja. Situasi pun kembali berjalan normal. Toh rutinitas Mile memelukku sebelum tidur masih bertahan. Dia menepuk lembut tempat di sisinya malam itu. Namun kami tidak bicara banyak karena Mile kelelahan. Aku pun datang untuk menarik selimut yang sama dengan suamiku. Kupeluk dia, tapi tengah malam pukul 2, justru terbangun gelisah.

Aku yang tak sanggup lagi pun menyeret kaki ke balkon untuk menangis. Di sana aku bicara sendiri untuk melampiaskan rasa, hingga tidak tahu ada sepasang mata mengantuk yang memperhatikanku menyebut namanya.

"Phi Mile ...."

Bulan dan bintang mulai memburam dalam pandangan mataku.

"Phi Mile ...."

Aku pun mengusapi tiap air mata yang membasahi wajahku.

"Phi Mile, hks ... boleh tidak kalau Saya ini mencintai An--"

"Boleh."

Aku pun terkesiap saat tubuhku direngkuh tiba-tiba dari belakang. Apalagi Mile mengesun pipi basahku sebelum merebahkan kepalanya ke bagian bahu.

"...."

".... sangat boleh, Natta Sayang. Tapi ingat aku ini lebih mencintaimu," katanya dengan suara pecah diantara kantuk. "Dan maaf baru sempat bilang. Besok kita langsung pindah, ya?"

Eh?

"....

"Rumah kita bertiga sudah jadi kemarin lusa ...."