"Daddy! Daddy Mile!" Apo pun segera mendekat. Mile berhenti mengamuk karena melihat pasukan kucing, jemarinya langsung hangat karena digenggam si cantik. "Ada apa? Daddy kenapa? Daddy sakitnya di mana? Kok nangis ...." Dia bertanya diantara eongan Paopao dan Masu.
"Meooow."
"Moooow."
"Meooow."
"Meooow."
Keduanya bergulat-gulat di sekitar kaki Mile.
"Natta ...." Mile memeluk Apo tanpa disadarinya. Dia menghirup bahu sang Omega. Aneh tapi nyata aroma Persia ini jadi kekuatan. Mile pun menuntaskan rasa gundahnya di sana. Dia terlalu penuh untuk ukuran pria umur 25, maunya hanya fokus ke masa depan yang cerah. Mile ingin keluar dari belenggu yang hitam, otaknya kini merencanakan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah S3 dengan tenang. "Natta, tolong begini sebentar saja. Natta, jangan tinggalkan aku sekarang."
Apo pun mengangguk dan balas memeluk. "Daddy ...." Dia mengelus-elus punggung Mile, lalu membawanya duduk di sofa. Paopao dan Masu sibuk memanjat ke kaki Mile. Mereka ikutan duduk di kanan dan kiri, berharap kehadiran bisa membuat Mile mereda.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" batin Paopao. Dia yakin bukan karena Gulf lagi, sampai Masu mengajaknya pergi dari sana.
"Pssst, psst. Aku mau cerita sedikit."
"Apa."
"Ikut saja, ayo. Kali saja kau tahu."
Masu pun melompat ke lantai lagi. Sementara Paopao batal pamitan ke Apo, dia tidak bilang apa-apa, sebab Apo sibuk menenangkan Mile yang masih memeluk. Keduanya pun melipir ke teras, lalu Masu bicara soal kejadian tadi siang. "Aku melihat wanita yang cukup cantik. Dia dewasa," katanya. "Ingat kan aku diajak Daddy jalan-jalan? Pas di supermarket Daddy mengajakku sembunyi darinya."
"Serius?"
Paopao langsung mengerti.
"Iya, di balik rak. Memang dia siapanya Daddy?" tanya Masu.
"Mama. Daddy punya Mama tiri," sebut Paopao tanpa ragu. "Namanya Zelena atau Zee Zee. Siapa lah. Pokoknya zet-zet panggilannya."
"Oh."
"Terus apa yang terjadi?" tanya Paopao. "Daddy ketemu dengannya?"
"Tidak sih." Masu sesekali menjilati paw-nya. "Tapi, Daddy kelihatan benci dengannya. Ada apa ya?" tanyanya.
"Huh? Iya, memang," kata Paopao. "Kau mau dengar cerita lengkapnya?"
"Boleh?"
"Kenapa tidak? Lagipula kau kucing sepertiku," kata Paopao. "Mustahil macam-macam ke Daddy, iya kan? Hanya saja tolong diam karena Daddy kesal padanya."
"Oke."
Keduanya pun bertukar informasi dan cerita, rahang Masu sampai menganga bodoh karena fakta yang ada. Dia tak menyangka Mile dilecehkan sang ibu tiri mesum dengan cara-cara aneh.
"Apa ada pertanyaan?" tanya Paopao. Teras rumah serasa dingin karena hawa cerita yang buruk.
"Ada."
"Huh?"
"Kau bilang Daddy selingkuh dengan Mama-nya, ehem, maksudku--secara tidak langsung itu tetap dianggap selingkuh dong," kata Masu. "Cuman, apa Ayah-nya Daddy tak pernah tahu sampai sekarang?"
"Tidak, sepertinya. Ayah Kitt kan seorang letnan jenderal," jelas Paopao. "Palingan masih bertugas bela negara."
"Oh."
"...."
"Berat, ya." Masu memandang langit yang dihiasi bintang. "Apalagi Daddy kerja sendiri dari umur segitu sampai sekarang. Punya rumah, punya mobil, bisa kuliah ...."
"Daddy-ku memang yang paling hebat."
Masu menoleh ke ekspresi Paopao. Persia itu ikutan memandang langit, keduanya menikmati semilir angin yang menerpa bulu-bulu. ".... kalau aku jadi dia sih pasti bunuh diri. Malas banget."
"Ha ha ha."
"Eh, seriusss. Udah punya Ayah yang tidak peduli, Mama sinting, sahabatku juga bilang Daddy sempat ditipu perjodohan." Bulu mata Masu berkedip lembut. "Hissh, amit-amit jabang bayi. Capek tahu. Hidup isinya cuma bernapas."
"Jabang bayi, katanya?" batin Paopao kegemasan. "Perawan jaman sekarang tahu apa soal kitty. Ha ha ha."
"Ya sudah, aku mau tidur di sini. Anginnya enak," kata Masu sembari meringkuk dan memejamkan mata. Bulu lebat si betina tampak mengayun-ayun, Masu dan mulut pedasnya jadi manis ketika dirinya diam. "Bangunkan ya Pao, nanti. Jam berapa terserah. Pokoknya kalau kau masuk aku ikutan masuk."
"Oke."
"Selamat malam."
Paopao pun ikutan meringkuk di sebelah Masu. ".... malam juga kalau begitu."
***
Di ruangan lain Apo baru dilepaskan dari pelukan Mile. Si Persia kaget karena Mile tertidur. Pantas dia pegal mengelus dan bahunya terasa linu. Rupanya dagu Mile kelamaan di sana, sang Alpha pun merosot dan menyeruduk ke dadanya. "Eh! Eh! Daddy!" pekiknya sedikit cemas.
Apo pun membaringkan Mile ke sofa meskipun susah, teringat bagaimana usaha Mile melakukan itu kepadanya berulang kali. Hm, benar-benar tidak sebanding. Apo menyibak poni Mile dan menatap wajah stress tersebut. Telunjuknya men-tap-tap bagian pipi untuk memastikan seberapa pulas sang Alpha. "Daddy, Daddy ...." bisiknya tepat ditelinga. Mile ternyata sungguhan lelap, dia mungkin lelah lahir batin karena masih memakai seragam Starbucks. "Daddy, Natta ambilkan selimut dulu ya ...." pamitnya.
Apo melangkah tanpa suara menuju ke kamar, selimut dia seret sembarangan karena sedikit berat. Apo menariknya keluar pintu, turun tangga, dan melewati beberapa ruangan. Namun dia berhasil membuat Mile Phakphum hangat. Apo menutupi Mile sebatas bahu, hanya saja dia tidak tega pergi. "Daddy ada apa ya ...." gumamnya.
Celingak-celinguk sebentar, Apo sempat menilik kemana Paopao dan Masu. Dia pun mencari ke beberapa ruangan, tapi tak berani memanggil-manggil karena suaranya bisa membuat gaduh. Jujur Apo lapar karena Mile pulang larut, tapi mau bagaimana lagi kalau begini?
Apo diam sesampainya di ambang pintu utama, teras serasa hangat karena ada dua kucing tidur meringkuk di sana. Pikirnya, "Oh, jadi sejak tadi hanya aku yang terjaga."
Apo pun akhirnya masuk lagi, lalu membuka kulkas Mile untuk mencari makanan. Di sana tidak selengkap milik Keluarga Nakunta. Isinya hanya sayur mentah, roti, buah, susu, dan sisanya makanan instan. Ada sarden, tuna, sambal kaleng, saus, kecap, jamur, dan kacang siap disangrai. Bila tak bisa masak, maka jelas percuma. "Umm, Ayah aku lapar ...."
Apo memeluk perutnya yang berbunyi sambil berjongkok di lantai dapur. Baru sekarang dia begini. Apo pun mengadu ke Ta usai mencari iPad-nya.
Kata Ta, "Hubungi Ayah lewat tombol ini kalau ada apa-apa. Langsung telepon atau video call, ya? Telepon berarti cuma suara, video berarti ada gambarnya. Nah, kecuali kau mau repot mengetik. Pakai yang di bawah ini namanya keyboard melayang."
Apo ingat jelas intruksi Ta sebelum iPad itu diberikan. "Oke, Yah."
Dia pun memencet yang video. Sekalian biar Ta melihat muka melasnya. Apo bahkan tidak sadar dia menungging di lantai. IPad dia letakkan di atas karpet dengan ekor yang mengibas ke atas.
"Halo? Natta?" Rupanya Ta ada di luar, karena Finlandia waktunya 4 jam lebih awal. Di sana masih jam 9 malam, padahal di sini sudah pukul 12 lebih. "Ada apa ha? Kok belum tidur?"
"Ayah!" Apo pun langsung tersenyum lebar. "Halo ...." Dia melambaikan tangan. Persia itu langsung mengadu soal perutnya, tapi jam segini mana ada grab yang aktif? Ta lalu menyuruh Apo men-download aplikasi "Nya-nyam" atau entah apa namanya. Di situ ada pelayanan 24 jam. "Oke, oke. Jangan matikan, ya Yah. Ajari cara pesannya. Aku mau yang ada daging ayamnya."
"Ha ha ha, iya," tawa Ta. "Kukira tadi kenapa. Kucingku lapar rupanya."
"He he."
Di mata Ta, Apo memang masih kucing. Sifat manjanya dia artikan sebagai anabul kepada sang pemilik. Ta tidak terlalu memusingkan Natta-nya Omega atau bukan. Yang pasti asal Apo bergantung padanya, maka Alpha itu tetap tenang. "Sudah belum?" Dia tampak menikmati jus jeruk sambil duduk di sebuah condo. Ta sangat santai saat ini, dia mengecek beberapa file selagi menunggu Apo usaha.
"Ihh, susah. Yang mana sih, Yah? Menunya banyak sekali. Pusing ...." keluh Apo. Dia lalu mengirimkan screenshot kepada sang Ayah. Katanya harus scroll berdasarkan alfabet di pencarian. "Ya ampun ribetnya."
Ta pun meletakkan gelas jeruknya. "Coba ketik kata "Ayam goreng"? nanti pasti muncul banyak jenis menu."
"Oh ...." Apo segera mengangguk. "Oke ...."
Begitu berhasil Apo rasanya dapat hadiah, walau setelah mengirim bukti check out Ta langsung tertawa kencang. "Buahahahaha! Kau pesan 7 piring buat siapa saja? Monster?"
"Hah?"
"Itu angka 7, Natta. Bukan 1. Coba lihat sekali lagi. Tapi ya tak masalah kalau mau membaginya dengan yang lain. Ha ha ha ha ha," tawa Ta. "Yang kenyang ya. Habis ini akses lokasi rumah Phi Mile langsung dimatikan. Nanti batrei iPad-nya bisa cepat habis."
Meski bingung dan pencetnya masih kaku, Apo tetap mengikuti intruksi Ta dengan baik. Jam 1 lebih 7 menit pesanannya tiba, si pengirim disuruh meletakkan barang di depan pintu yang sudah diberi uang. Ta memang menyuruh Apo begitu agar wujud kucingnya tidak terlihat. Apo cukup menampakkan separuh wajah di balik daunnya. "Terima kasih, pak kurir ...." cengirnya.
"Sama-sama."
Apo pun menerima pesanannya box per box. "Kata Ayah kembaliannya untukmu saja. Dadah."
"Hah?Serius?"
"Iya." Pintu dia tutup seperti semula. Apo tersenyum lebar melihat banyak ayam ditumpuk di meja. Dia lantas memperlihatkan layar iPad ke sana. "Lihat, Yah. Aku berhasiiiil!" pamernya.
"Good job. Apa masih ada lagi yang bisa Ayah bantu?"
"Umn, umn. Thank you."
Apo menggeleng pelan.
"Oke, tapi kenapa Daddy-mu pulang terlambat? Sudah tanya?"
Raut Apo seketika murung. "Tidak tahu, belum cerita," katanya sambil membuka kemasan ayam. IPad dia letakkan begitu saja, Apo menikmati ayam dengan saus sambil mengobrol ringan. "Tapi Daddy sepertinya bermasalah. Besok mungkin kutanya lagi."
"Hmm ...." Ta tampak berpikir. "Menurutmu sendiri bagaimana, Po? Kalau dia ada sesuatu apa tidak memberatkan kau di sana? Siapa tahu Daddy-mu ingin sendiri."
"Eh? Kok jadi aku?" Apo menunjuk hidungnya sendiri.
"Ya, masalahnya mungkin bukan dirimu, Natta," kata Ta Nannakun lembut. "Tapi kalau mengurusmu dan Shu malah memberatkan. Kalian pulang saja ikut Ayah."
"....."
"Biar Daddy-mu selesaikan urusannya dulu. Lagipula kulihat-lihat dia sedang fokus lulus magister. Pasti punya banyak tugas. Jangan dibebani lagi dengan kalian. Kalau di rumah kan ada pelayan yang membantu. Ya masak, ya main. Kalau mau kemana-mana tinggal ajak sopir ...."
Ekspresi Apo makin cemberut. "Iya, Yah." Meskipun begitu dia tetap patuh.
"Sebenarnya Ayah sudah memikirkan ini, tapi mau bagaimana kalau kau suka ke ke sana. Ya sudah," kata Ta. "Sekarang lihat, kan? Daddy-mu agak kewalahan. Besok-besok kalau tugasnya selesai, silahkan saja main lagi. Kalau perlu ajak Daddy-mu trip-journey."
"Hmm ...." Muka Apo tertekuk. Dia meletakkan paha ayam yang baru digigit, mendadak malas makan karena hilang semangat. "Tapi, Yah ... misal pulang Paopao-nya kuajak bagaimana?"
"Paopao?"
"Iya, soalnya aku ke sini mau ketemu dia." Pipi Apo merona. "Nanti pasti izin Daddy kok ... ya? Ayah tolong jangan marah."
Sambil mendengus tersenyum, Ta pun geleng-geleng kepala. "Ya terserah," katanya. "Tapi jangan memaksa kalau Daddy-mu menolak. Dia sendirian di sana. Siapa tahu Paopao dijadikan teman."
"Oke ...."
Apo pun menghabiskan satu box ayam, lalu meninggalkan wadahnya setelah kenyang. Dia tak paham bersih-bersih, tahunya hanya mengisi perut karena lapar. Apo lantas mengecek Mile yang selimutnya jatuh separuh. Mile sempat mengigau, "Mama, Mama ...." Sebelum terbangun duduk.
"Daddy tidak apa-apa?" tanya Apo yang bersila di sebelah sofa. Kedua matanya tak mengantuk samasekali, aneh tapi nyata begitulah adanya. Sang Alpha tampak linglung beberapa saat. Dia menoleh ke arah Apo dengan mata kuyu.
"Apa."
"Daddy aku ingin bantu ...." Apo menaruh dagunya di paha Mile. Kucing pada umumnya memang begitu ketika manja, Apo tak tahu saja seberapa menggemaskan wajahnya sekarang. "Bilang saja aku harus apa ... huh? Nanti aku, Paopao, terus Shu ... pasti akan usahakan."
"...."
"Daddy kan sudah merawat kami. Masak iya kami tidak boleh bantu."
Bola mata Apo berkedip lucu.
"Bukannya tidak mengizinkan, Natta," batin Mile. "Tapi kalian bertiga bisa ...." Dibelainya surai hitam Apo. Gerakan jarinya begitu lembut, Apo sampai terpejam nyaman di tempat. Si Persia sepertinya betah berlama-lama, persis pada waktu itu. "Oh, iya. Paopao dan Masu dimana?" tanyanya. "Tumben kau tidak ikut mereka?"
"Tidak."
"Hm?"
"Mereka sudah tidur kok Dad. Tapi aku kepikiran Daddy."
Mile pun mengobrol random dengan Apo, meski tak ada kaitannya dengan Zelena. Mile hanya ingin melewati malam itu dengan tenang. Setidaknya perasaannya bisa lebih ringan. Mereka membahas hal-hal yang tak penting, Apo juga bercerita tentang kehidupan langit yang Apo tempati. "Ha ha ha, jadi di atas ada bidadari juga?"
"Hu-um."
"Serius? Maksudku yang perempuan."
Apo pun mengangguk kecil. "Iya, Dad. Cantik-cantik juga kok. Mereka punya sayap seperti aku."
"Hoo ...." gumam Mile. "Terus?"
Bola matampak bergerak-gerak karena dipakai berpikir. "Umnn, kami biasanya disuruh mengangkut buah ke istana sih. Kadang juga barang dari negeri seberang," celoteh Apo. "Tapi intinya pelayan. Kami yang muda membantu Puteri, terus yang tua program istana. Semuanya mengabdi sampai dapat pasangan."
"Hmmm."
"Aku dibuangnya karena memecahkan guci, Dad ...." kata Apo. "Warnanya bening seperti kristal. Indah sekali memang. Aku jadi ingin pegang."
Karena terdengar fantasi, Mile pun menganggap kisah Apo sebagai dongeng. Dia perlahan mengantuk lagi, tapi tidak kala Apo mengangkat topik pindahan. Sebagaimana nasihat Ta Nannakun, Apo ingin Paopao diajak serta, namun Mile merasa kosong karenanya. "Apa?" kagetnya.
"Eh?"
"Tidak, I mean ... jadi kalian akan meninggalkanku sendiri?" tanya Mile. "Di sini, Natta? Aku hanya tidak memprediksinya."
Seketika Apo kebingungan menghadapi situasi tersebut. Padahal beberapa saat lalu dia menawarkan bantuan, tapi dengan pergi justru mengabaikan Mile. Apo baru sadar konteks yang mereka pahami berbeda, Apo pun langsung meminta maaf. "A-Anu, Daddy. Tapi kalau tidak diizinkan tak masalah kok. Aku mau di sini saja."
Mile tampak tidak percaya. "...."
"Daddy ...." Jemari Mile segera Apo genggam kembali. "Ya? Natta tidak bermaksud begitu. Aku cuma takut mengganggu Daddy yang lagi sekolah. Apalagi kami minta makan terus. Nah, jadi biar--"
Sudah di ambang batasnya, Mile pun memotong kalimat Apo dengan ciuman. Otaknya gelap dan sangat berat, Mile bahkan menarik tengkuk si Persia untuk mendongak ke atas. Dia ingin memasukkan lidah ke dalam sana, Apo melotot. Jemari Omega-nya yang lebih ramping tak kuat mendorong Mile. "Mnn, nnhg!" desahnya tertahan. Apo hanya mencakar-cakar di bahu, Mile makin beringas. Dia menyesap saliva harum khas Omega meskipun merasa bersalah di saat yang sama. Apo kaget ketika Mile menangis, sambil melumat pun napasnya sesak sekali. Dia pun melemahkan penjagaan pada akhirnya, tanpa tahu di belakang sana ada Paopao yang tertegun menatap mereka.
"Kenapa, Pao? Kok berhenti?" tanya Masu yang menyusul di ambang pintu.
"Ssh, diam."
Masu pun ikut menatap ke arah yang sama. Seketika lidahnya terasa begitu kelu. Bagaimana pun Apo berhenti melawan, dia bahkan membiarkan Mile menginvasi lidah dan rongga mulutnya. Bisa dibayangkan dalamnya pasti hangat sekali. Setidaknya Masu tahu soal itu dari novel Perpustakaan Langit. Tidak bisa dia bayangkan bagaimana perasaan Paopao usai berbalik. Sebab suaranya rendah sekali. "Saranku ... sebaiknya jangan pergi ke sana, Shu." katanya. "Ayo kembali, atau kau naik ke kamar terserah. Duluan saja. Aku mau ke teras seperti tadi."
"Eh?!"
Paopao sudah melompat ke luar, mata hijaunya tampak berkilat ketika menggulung diri. Sinarnya begitu indah, persis seperti zamrud mulia yang tenggelam di dasar laut. Masu pun melihat bulunya diterpa angin kencang hingga melambai-lambai dengan indahnya. Mulanya Masu pun ingin abai, toh tak ada urusannya juga dia dengan ini. Sayang ternyata nuraninya tak sampai tega. Dia justru turun tangga kembali, lalu menemani si Persia oren yang ternyata berkaca-kaca.
"Ya ampun--Paopao--"
"Aku sudah tahu akan begini, Shu. Aku sudah tahu cepat atau lambat akan terjadi," sela Paopao tanpa menoleh sedikit pun ke Masu. "Karena aku berbeda dari kalian, lahir dan besarku ada di kardus bukannya langit dan awan seperti yang kau ceritakan."
"...."
"Karenanya aku hanya mengulur waktu. Mauku ingin tahu sampai kapan aku dan Natta bersama," kata Paopao. "Lagipula hidupku sudah cukup lama, Shu. Aku paham. Aku tidak bodoh dan tahu kalian membicarakan usiaku beberapa kali."
Masu pun langsung gelagapan. "Pao, soal itu biar kuwakilkan kalau kami meminta maaf ...." katanya sambil berjalan mendekat. "Terutama aku yang mengata-ngataimu tua dan sejenisnya, ya? Tapi serius aku tak bermaksud begitu ...."
Si oren pun mengucek matanya menggunakan paw-paw. "Ya, Shu. Sudah cukup kok. Aku sudah mempersiapkan diri sedari lama," katanya. "Hanya saja tetap kaget kalau terjadinya hari ini. Ha ha. Aku tak menyangka rasanya begitu sakit."
Masu pun berputar-putar karena bingung, lebih bingung lagi kenapa dirinya berputar-putar.
Jujur Masu belum terbiasa dengan refleks tubuh barunya, atau bagaimana seekor kucing berperilaku. Dia kadang ingin main pukul seperti dulu, tapi apalah daya kini tangan dan kakinya berupa cakar. Dia pun melompat demi menyemangati, lalu menepuk-nepuk leher si Persia oren. "Meoww, meoww," eongnya yang bermakna kata-kata menenangkan. Masu hanya ingin tahu Apo masih milik Paopao seorang, toh belum ada kata putus diantara mereka.
"Ha ha ha ha ha, terima kasih ...." kata Paopao sebelum beringsut menjauh. Dia ternyata kesulitan menangani perasaan ini, karenanya ingin sembunyi di bawah kursi. Semua harus tampak baik-baik saja pada keesokan pagi. Persia itu tidak mau semakin membebani hati sang Daddy. "Selamat malam lagi, Shu." Dia lantas terpejam perlahan. "Ingat jangan pernah beritahu Natta soal ini."
Bersambung ....