KITTY PO 3

Kesokan paginya, pukul 9. Mile benar-benar menunggu di tempat yang diinginkan Apo. Itu merupakan kafe sederhana. Terlihat seperti tongkrongan remaja dengan uang saku pas pasan. Namun begini pun dia senang, asal bisa bicara dengan remaja favoritnya. Mile membawa ransel seperti anak kuliahan. Penampilannya juga santai ber-hoodie. Dia tidak mau melihat tua di depan pasukan Apo, atau semua temannya akan meledek.

Saat Apo datang, ternyata hujan. Remaja itu pun lari-lari dari parkiran usai menata sepeda. Kedua belas temannya juga menyusul. Mereka basah. Untung Mile sudah memesankan minuman dingin dan hangat. Semuanya duduk badmood di bangku, tapi akhirnya riang usai pelayan kafe menaruh banyak keresek berisi jajan di meja. Mereka juga menyediakan password wifi, semuanya mabar. Kecuali Masu yang mengintili sahabatnya. Mile memang sudah mem-booking tempat tersebut karena ingin bicara enak dengan kucingnya, tapi harus hati-hati karena ada Masu si CCTV.

Mereka bertiga pun duduk si satu meja, Mile sangsi. Dia seperti kriminal di tempat ini. Namun Mile paham rasa khawatir mereka, dia cukup keluarkan saja semua koleksi yang ada. Ada yang berbentuk sketch book A5, A4, A3. Ada juga yang berbentuk buku gambar melebar. Mini book Mile pas kuliah pun digambari selama mendengar materi dosen. Masu tak bisa berkata-kata. Apalagi Apo sendiri.

"Oh ... semuanya boleh aku buka-buka kan, Om?" tanya Apo permisi.

"Ya, tentu. Semuanya memang ingin kutunjukkan padamu."

Masu pun ikutan jelajah tanpa permisi. Dia kira Mile bercanda, tapi ternyata semua hal ini nyata. Ada tanggal juga di setiap gambar yang diselesaikan. Ceritanya acak tapi intinya kegiatan Apo melakukan sesuatu. Kadang juga ada Mile versi kecil. Bocah itu tampak menggendong kucing hitam yang lucu. Judulnya 'Memory' yang menandakan kucing ini istimewa.

"Hmm, mungkin temanku takkan berani bertanya. Tapi biar kuwakilkan saja," kata Masu. "Orang ini siapa sih, Om? Mukanya memang Apo tapi lebih kecil lagi. Temanku juga tembem pas umur 12 atau 13."

Apo pun menoleh sebelum kembali membolak-balik buku sketsa.

"Dia ... hm, bisa disebut pacarku?" kata Mile menahan malu.

"Apa, Om?"

"Apa?"

Masu dan Apo pun kaget bersamaan.

"Ya, maksudku kekasih pada waktu itu. Orang pertama yang membuatku deg-degan seperti kalian melihat gebetan," jelas Mile hati-hati. "Aku juga masih kecil lho pas dulu. Jangan salah paham. Aku baru 15 tahun seperti kalian."

Kedua remaja itu tak bisa berkata-kata.

"Terus, matinya Om? Kenapa?" tanya Masu dengan jantung ikut berdebar.

Bagian ini Mile ternyata tidak mau menjawab jelas. "Hm, soal itu lebih baik dibahasnya kapan-kapan?" katanya sambil melirik Apo sekilas. "Mungkin akan kukatakan ke Apo dulu, baru boleh ceritakan ke yang lain. Soal ini aku masih kesulitan menerima."

Masu langsung gelagapan. "Oke, oke. Santai, Om. Maaf aku memang agak kelewatan."

"Ya, tidak apa-apa."

Padahal Masu sudah menyiapkan amunisi selanjutnya, seperti: "Om kok percaya Apo reinkarnasi? Meski tanggal kematian pacar Om beda setahun dengan kelahiran Apo. Bisa jadi kan itu cuma kebetulan? Banyak kali kebetulan di dunia ini. Aku saja tidak percaya takhayul. Om malah sebegitunya." Tapi tak jadi dilempar karena bisa makin sensitif. Masu bahkan permisi ke toilet untuk memberi privasi, pas kembali dia juga gabung ke anak-anak BT. Matanya cukup mengawasi Apo dan si Om-om. Ingin tahu saja mereka bicara apa.

"Po sendiri, syok tidak?" tanya Mile berusaha lembut. Bagaimana pun yang dia hadapi cuma remaja, tapi seumuran Apo lebih cocok disebut Mile 'Bocah'.

"Y-Ya, sedikit ...." kata Apo. Lalu meletakkan buku yang dia bawa untuk mengecek yang lain. "Tapi ini nyata sekali, Om. Maksudku, ya ... bisa jadi Om hanya membohongiku. Tapi tanggal-tanggal ini sungguhan ada."

"Hm ...."

"Kertas cetakan ini saja mungkin sudah kadaluwarsa. Maksudku, mini book SiDu? Sekarang sudah kalah dengan merek-merek yang lain."

Mile pun mengulum senyum. Dia biarkan Apo menuntaskan semua gambarnya. Lalu segera merapikan jadi satu sebelum si remaja berinisiatif. "Tidak perlu, tidak perlu. Biar aku saja yang rapikan. Terima kasih sudah melihat gambarku," katanya. "Walau banyak yang kualitasnya buruk. Aku memang belajar dari 0 ke guru seniku. Dulu menjiplak gambar, meniru foto, kadang juga menge-print ukuran sama agar proporsi. Tapi setelah SMA aku bisa menggambarkan imajinasi dalam kepalaku, Po," jelasnya. "Makanya mulai mencoret apa yang kuingat. Maksudku, orang yang mirip denganmu waktu itu."

Apo memperhatikan Mile baik-baik. Pria ini sangat perhatian, membuat pikiran-pikiran negatifnya surut. Meski takut, Apo pun memberanikan diri bertanya, toh sudah masuk danau sekalian berenang saja. "Jadi, maksud Om apa ya? Kemarin menangis karena suka denganku, begitu?"

".... oh, soal itu ...." Mile menatap si remaja baik-baik. "Hm, ya. Kalau boleh?" tanyanya. "Aku belum menikah sampai sekarang, Po. Ini serius. Aku juga belum berpacaran sejak dia pergi." Mile mencoba memaparkan fakta saja karena remaja jaman sekarang sudah pintar-pintar. "Tapi, kalau dijodohkan dan kencan buta jelas pernah. Kau mengharapkan apa Po, dari pria seumuranku. Hanya saja, aku tidak bisa lupa dengan orang yang kugambar."

"...."

"Dan aku ingin membuatnya dekat, kalau diberikan kesempatan."

Apo pun meminum susu hangatnya agak gugup. Bagaimana pun dalam otaknya gebetan itu ya seumuran. Kalau bukan adik kelas pasti kakak kelas beda tipis. Tapi Mile? Dia benar-benar pria matang. "Om kelihatannya orang baik," katanya pelan. "Tapi kalau jadi kakak dulu, bagaimana Om? Aku takut dimarahi Mama."

"Ha ha ha."

"Katanya tidak boleh pacaran sampai lulus sekolah," kata Apo lagi. "Minimal kuliah dulu, mungkin? Aku sering main game saja dimarahi Papa. Uang sakuku sampai dikurangi waktu mabar dan begadang."

Mile pun memperhatikan si remaja yang curhat bebas. Entah kenapa dia sangat terhibur karena Apo berubah manis. Lalu setuju-setuju saja. "Boleh," katanya. "Jadi kakak juga bagus kok. Sampai 17 tahun."

Apo pun merona untuk pertama kalinya. "Om, ngeri tahu. Ngomongnya jangan begitu."

"Ha ha ha ha."

Secara otomatis, entah kenapa Apo makin perhatian ke pria di depannya. Mungkin karena adanya konfirmasi punya perasaan. "Om kelihatannya seumuran pamanku ...." desahnya nyaris tak terdengar. "Benar-benar 30 tahun ya, Om? Terus waktu aku 17, Om-nya sudah 32?"

"Ya ...." Mile coba mengulurkan telapak tangannya ke atas meja. "Apa kau setakut itu padaku? Aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Sudah sampai sebegininya." Mile memang belum bilang soal reinkarnasi kucing kepada Apo, tapi sebaiknya pelan-pelan. Mile tidak ingin Apo salah paham, biarkan mereka saling mengenal dulu baru diberitahu.

"Takutnya karena Om sangat tua. Om besar ...." kata Apo jujur.. "Aku kalau lihat Om pun harus mendongak dahulu. Y-Ya pokoknya intinya begitu."

"Hm ...." gumam Mile, yang berpikir keras lagi. Dia tak menarik tangan, meski tak bersambut. Malahan mengeluarkan ponsel dari saku hoodie.

"Baiklah, bagaimana kalau aku minta nomor Papa dan Mama-mu sekalian?" pintanya.

"Eh? K-Kok?"

"Ya, mau mengobrol dengan mereka saja, minta izin," kata Mile serius. "Lebih baik bilang di awal kan? Kalau tidak mau digebuk belakangan nanti."

Apo pun menoleh cemas ke Masu. Masu sendiri minta kode-kode padanya. Seolah-olah--hei, ada apa?! Tapi Mile mungkin benar. Kalau Papa dan Mamanya diberitahu lebih enak. Tapi biar itu jadi urusan Mile saja lah. Apo tak mau ikut-ikutan. "Kalau sampai Papa dan Mama marah, mungkin Om-nya akan kubenci loh ...." katanya coba menakuti. "Aku paling tidak suka dimarahi."

Mile hanya terkekeh. Toh akhirnya dia mendapat kontak orangtua Apo betulan.

Setelah ini dia harus memikirkan strategi bertempur, tak dia sangka rasa kehidupan kini kembali lagi. "Apo, aku pasti akan mendapatkanmu kembali," batinnya. "Ingat, tak ingat kau pasti akan kembali denganku."

Bersambung ....