KITTY PO 43

Guling Jaehyun ternyata tidak sehangat Mile Phakphum. Apo mulai bosan nge-fanboy setelah 3 hari nakal, dia meninggalkan semua sumber asupan termasuk fanfic si author kesayangan. Apo butuh treatment khusus di sauna Keluarga Romsaithong. Dia ingin merasakan pijatan dari kepala hingga jemari kaki yang linu.

Apo pun terbaring di meja kayu untuk servisnya. Sebelum ini dia tak pernah berkunjung, karena pegal yang dirasa biasa saja. "Ahhh, leganya." Dia mendesah sambil memejamkan kedua mata. Apo tidak lupa minum 4 gelas air agar tidak dehidrasi. Lalu handukan di depan sebuah cermin. Oh, sebelum next photoshoot dia memang ingin memastikan tak punya gelambir atau mark yang macam-macam. "Hmm, perasaan besarnya biasa saja." Remaja itu menyentuh perut buncitnya selembut mungkin. "Apa karena Dede-dede Ayi masih kecil ya? Kukira bakal meledak seperti balon."

Hmm, ternyata beda dengan imajinasi dalam kepalaku. Setelah mandi Apo pun mencoret kalender dengan spidol. Tanggal 24 Desember membuatnya senyum-senyum sendiri--ah! Tinggal 2 hari lagi Phi Mile pulang, Po! Sabar! Sabar! Kau adalah calon Mama yang hebat!

"Tapi kok bosan push-rank, ya. Ugh ... nak apa ya enaknya ...." gumam Apo sambil rebahan di atas ranjang. Sudah cantik paripurna tapi tidak ada yang digoda, Apo jadi kesal kepada diri sendiri.

Apa harusnya dia tidak mandi sekalian? Ugh, tapi jik bauk Apo juga tidak suka tentunya.

"Tuan Natta, sarapannya sudah siap loh," tawar pelayan di balik pintu. "Tapi Tuan Rom dan Nyonya Nee masih belum pulang. Apa Anda ingin kami temani sarapan?"

"Lagi?" batin Apo. "Aku malah merasa lebih broken daripada manhwa yang baru tamat kemarin," gumamnya, yang merujuk ke komik "The Broken Child."

Rom dan Nee memang sempat dinas dadakan Kamisnya. Mereka bahkan hanya pulang dari kantor untuk mengambil barang bawaan. Keduanya langsung bertolak ke bandara tanpa komentar rumah yang sekacau kapal pecah. Sangking urgennya Apo pun tak dipamiti dengan benar. "Ah! Ya ampun, Sayang! Mommy pergi dulu ya! Dahhh! Bilang sama Newyear kalau butuh apa-apa!"

"Pappy juga! See ya, Sayang! Hati-hati kalau di rumah! Nanti kutelfonkan orangtuamu untuk menemani di sini!" kata Rom sebelum masuk ke mobil.

Hmm, ini akibat semua orang di rumah pebisnis semua, maka terima saja kenyatannya. Apo seharusnya tidak kaget-kaget amat, tapi karena baru pertama kali ditinggal total pun merasa sepi. May akhirnya datang menemani, tapi Man belum bisa karena harus bekerja sendiri. May pun mengajak Apo keluar jalan-jalan. Tapi saat malam ternyata kesehatan Man malah memburuk.

"Kenapa, Mam? Kok sedih?" tanya Apo saat perjalanan pulang dari swalayan.

Dalam mobil yang disopir Newyear, May pun memperlihatkan chat-nya dengan sang suami. "Lihat, Sayang. Papa kecapek-an jadi demam hari ini. Dia pulang awal karena hampir pingsan di kantor. Ah, Mama harus merawatnya dulu. Apa Ucil tidak apa-apa? Ikut sama Mama ke Huahin, bagaimana? Mau? Biar ada temannya di sana."

Apo pun berpikir sejenak. Lalu menggeleng perlahan. "Tidak usah kok, Ma. Aku pulang saja," katanya, yang membuat heran sang ibu. Dia juga menolak walau dipaksa, karena si manis merasa tak betul-betul "sendiri". Di rumah ada 25 pelayan lebih, 8 satpam untuk gerbang depan dan belakang, 2 chef, 2 tukang kebun, 1 dokter pribadi yang rumahnya dekat (bisa dipanggil sewaktu-waktu, tapi bukan spesialis kandungan), belum lagi Newyear sebagai sopir dan kepala mereka semua.

Apo merasa tidak berhak protes atau merepotkan semua orang, lagi-lagi dia terpaksa mengerti, walau efeknya malah begini: dia tidak ingin melakukan apapun sekarang.

Benar-benar seperti seonggok daging tidak berguna. Lama sekali Apo berangan-angan di ranjang itu. Dia sempat mengirim foto PAP ke Mile Phakphum, tetapi belum dibalas.

"Iya sih, sekarang kan jam 8 di sana. Pasti kerja," batin Apo. "Aku jadi ingin Dede-dede Ayi-nya segera lahir. Uuu, nak teman ...." Dia membolak-balikan tubuh seperti ikan di penggorengan. "Tapi bagaimana mau lahir sih? Baru 4 bulan juga." Apo pun mengelus-elus perutnya. "Satunya malah 1 bulan kemarin. Mmm, Phi Mile ...." Remaja itu pun tidak selera makan. Tahu-tahu Apo sudah tertidur lagi, dan bangunnya pukul 11. Itu pun karena lapar sekali. Andai perutnya tidak keroncongan Apo mungkin tak mau keluar. Dia akhirnya sarapan, walau cuma sendiri di meja makan sepanjang itu.

"Oh, haloooo, Tuan Natta. Sudah bangun?" sapa seorang pelayan. "Saya panaskan dulu ya, sarapannya. Mohon ditunggu sebentar."

"Iya."

Apo pun duduk dan mengintip menunya sebelum digusur ke kompor.

"Senang Anda ternyata sehat-sehat saja, hihihi," kata pelayan itu lagi. "Tadi sempat dijenguk sama yang lain kok, cuman karena kelihatannya pulas kami semua pergi. Siapa tahu Anda lagi kecapekan tak ingin diganggu."

"Umn."

Apo hanya mengangguk pelan. Dia punya ponsel tapi rasanya tak asyik. Benda itu pun anggurkan begitu saja sebelum merebahkan kepala di meja. Si manis cukup memperhatikan pelayan yang mondar-mandir. Hilang semangat. Mengusili mereka pun rasanya tak menarik lagi.

"Oh, iya, Tuan Natta. Sebenarnya beberapa dari kami ingin bilang sesuatu," kata pelayan tadi saat menyajikan masakan yang sudah hangat.

"Iya?"

Apo menegakkan tubuhnya.

"Besok kan 25 Desember ya. Ada Natal dong," kata si pelayan. "Karena itu Saya dan 12 teman yang Kristen ingin pamit kepada Anda. Mungkin nanti sore, karena semuanya ingin mengunjungi gereja sebentar."

"Oh ...."

Seketika Apo makin merasa ditinggal semua orang.

"Umn, biasanya juga kumpul-kumpul keluarga, he he. Marry christmas ...."

Tanpa sadar Apo pun menampakkan wajah murungnya. "...."

"Eh? Tidak boleh kah?" tanya si pelayan yang wajahnya langsung ketar-ketir. "M-Maksud Saya, anu--ini semacam libur yang istimewa? Soalnya Tuan Mile bilang untuk hari keagamaan boleh izin dari dulu--"

"Boleh kok," kata Apo tiba-tiba. Namun remaja itu mengucek mata, antara mengunyah dan bicara dia bingung melakukan yang mana. "Umm, jadi 13 orang kan nantinya? Hiks ...." tanyanya mulai terisak.

"Iya ...." Pelayan itu langsung menunduk ketakutan. Jujur dia merasa bersalah sekali, karena Apo menangis adalah hal yang di luar ekspektasinya.

"Umm, terus t-tinggal berapa ya yang ada di sini? Hiks ...." tanya Apo lagi. Jadwal sarapannya malah macet di suapan kedua. Rasanya jadi kehilangan selera sama sekali. "A-Aku tidak mau rumahnya sepi, hiks. Nak teman ...." gumamnya. "Phi Mile ayo cepat pulang, hiks, hiks. Nak teman ...."

Si manis pun akhirnya menangis lama sekali. Membuat si pelayan tak berani menjawab karena bisa lebih menyakiti.

Puncaknya Newyear datang setelah laporan kepada Mile. Sopir itu akhirnya mengusir pelayan tadi agar sembunyi. "Sana, sana. Aduh kau ini tidak paham situasi. Setidaknya biarkan Tuan Natta sarapan dulu."

"Ah! Saya benar-benar minta maaf, Mr. Newyear--"

"Sudah pergi saja! Ckckckck. Dasar ...." bentak Newyear kesal. Dia sendiri baru duduk setelah menggeser kursi. Sendok  diambilnya dari tangan Apo agar nasi tidak berjatuhan. "Tuan ...." panggilnya. "Tuan Natta, sabar dulu ya. Sebentar lagi suami Anda istirahat kerja kok. Saya sarankan kalian video call saja sambil makan siang bareng nanti."

"Hiks, hiks, hiks, sakit ...." keluh Apo sambil mengusap mata dengan lengan terus-menerus. "Hiks, hiks, hiks, sakit sekali, Newyear. Nak nyusul Phi Mile ke China saja. Hiks, hiks ... aku mau pergi ke sana ...."

Newyear pun seketika panik. "Eh? Jangan dong, Tuan. Hamilnya kan masih muda. Belum dulu yaaaa. Kalau naik pesawat nanti bahaya."

Isakan Apo pun makin menjadi-jadi. Suaranya teramat pilu membuat Newyear melakukan apapun untuk menghibur si manis, walaupun tetap berakhir gagal total. Ke-13 pelayan Kristen itu bahkan kumpul untuk meminta maaf satu per satu. Mereka janji tidak pulang (walau sebenarnya terpaksa sekali).

"Hiks, hiks, hiks, bukan begitu ...." isak Apo, yang lama-lama tak tega melihat 13 orang berlutut karena dia. "Kalian boleh pulang kok, hiks, hiks, hiks--tapi, nak peluk ...." pintanya, lalu merentangkan tangan dahulu. Apo jelas membuat si pelayan terdekat bingung, tapi akhirnya memberanikan diri mendekat untuk dirangkul si manis. "Umm, hiks ... hiks, hiks, hiks--terus jangan telat baliknya, ya--hiks. Nanti kangen ... a-aku ini sayang kalian semua ...." Remaja itu pun mendusel-duselkan wajahnya ke bahu si pelayan, walau berakhir membiaskan sedikit ingus di sana.

Tak apalah.

Tak ada yang tega menertawakan juga.

Setelahnya Apo benar-benar memeluk  ke-12 pelayan itu gantian. Mereka pergi. Dia menghabiskan tisu 1/4 kotak besar tanpa disadari.

"Astaga, Sayang .... kenapa itu? Kok  menangis lagi?" tanya Mile saat istrinya video call. Di seberang sana Mile baru keluar dari gedung, tapi dalam hati sudah mengira--benar, kan--secara diam-diam.

"Kangen ... hiks, hiks, hiks," adu Apo. Lalu keduanya deep-talk hingga rindu si manis bisa terobati. Mile sendiri tidak tahu sampai kapan mereka begini, karena pola Apo menangis kala dirinya dinas selalu terulang. Entah alasannya ini, entah alasannya itu. Mile jelas mencari jalan keluar, hanya saja belum sanggup menemukannya. Apalagi Mile mengira-ngira Apo bisa kebobolan lagi (maksudnya, sudah terlanjur kena superfetasi). Bisa makin bahaya kalau mereka becinta lalu tumbuh janin yang ketiga.

"PHI MILEEEEEE WELCOOOOMEEE!!"

Karena itu saat Apo menyambutnya 2 hari kemudian, Mile jadi wanti-wanti dengan caranya bertindak kepada si manis.

"Hai, Sayang. Phi pulang!" seru Mile, yang langsung diserbu peluk oleh Apo Nattawin. Dia dicium brutal tak peduli baru sana memijak keset. Apo bahkan melingkari lehernya dengan kedua lengan yang kurus. "Ha ha ha, ada apa ini. Aduh, aduh. Hold on. Tidak malu itu dilihat Daddy dan Mommy."

Apo justru mengabaikan Rom dan Nee yang tengah rebutan Snowwy. "Biarin! Mau lagi, Phi! Mmm!" katanya sambil berjinjit. Remaja itu menarik tengkuk agar sang suami menunduk. Dia membuat Mile kewalahan, karena sudah pandai memainkan lidah. "Lagi, lagi, lagi!"

"Ya ampun--Apo--!"

Si manis menggigit bibirnya gemas. "Mnnh, mm, nnn ...." gumamnya sembari memiringkan kepala. Bibir keduanya pun saling melumat hingga saliva tipis membias di sudut-sudut. Apo tidak malu nyengir-nyengir karena berhasil mengejutkannya. "Lihat? Keren kan, Phi? Aku sekarang jago cium seperti Phi Mile!" jeritnya, seolah dapat juara satu.

Rom, Nee, Newyear, dan pelayan di sana pun langsung terkikik. Mereka terbiasa dengan tingkah Apo, tapi Mile justru masih kesulitan. Mile sering tidak si rumah seperti ini, dia belum mampu memotong jadwal setidaknya hingga bulanFerbuari akhir (karena event seperti Natal, tahun baru, ulang tahun, valentine, dan lain-lain sebagainya baru mereda).

"Iya, Sayang. Pintarnyaa ...." Mile pun mengelus ubun Apo daripada peduli sekitar. "Sekarang apa lagi kejutanmu untukku? Kan sempat bilang mau masak besar-besaran? Itu serius?" tanyanya.

"Sudaaaah doooong!" kata Apo amat sumeringah. "Itu di dalam! Ayo! Dijamin lezat karena sudah dicoba Pappy dan Mommy!

"Oh, really?"

"Ayo, Phi!" Apo pun menggandeng tangan sang suami masuk ke ruang makan. Dengan bangga remaja itu menyajikan ketujuh menu yang berhasil dia pelajari. Sepasang mata indahnya tampak menanti komentar Mile pada suapan pertama.

"Ini enak," kata Mile sambil tersenyum.

"Betulan, Phi?"

"Yea, ini benar-benar cocok dengan lidahku. Good job," puji Mile tulus. "Pappy dan Mommy memang paham seleraku. Thank you."

Bibir Nee membentuk senyuman manis. "Tentu, Sayang. Selamat datang di rumah," katanya. ".... walau agak telat sedikit ya? Ha ha ha ha. Kami hampir meninggalmu sarapan karena sudah jam 8 lebih, tapi Apo tadi pagi marah kepada semua orang."

"Oh, ya?" tanya Mile terheran-heran.

Muka Apo langsung memerah. "Ihh, Mommy. Kenapa bilang-bilang ke Phi Mile," protesnya. "Malu ...."

Rom segera menimpali istrinya. "Yaps. Kan katanya masak hari ini karena Phi Mile-nya pulang," godanya, lalu menirukan omongan si manis. "Nak serving! This is it ... Kakh Chae ala Prince Nattawin Wattanagitiphat, katanya. "Ha ha ha ha ha. Menantuku memang ajaib sekali."

Ketiga orang dewasa itu pun menertawakan ulah si manis.

Membuat ruang makan menjadi cerah setelah cobaan hebat lima hari ini.

.... tunggu dulu, tunggu dulu.

Salah.

Nyatanya cobaan itu belum berakhir, malahan kini berpusat kepada Mile Phakphum sendiri.

Selaku suami yang jauhnya membuat Apo tak tenang di rumah. Mile pun menjadi bulan-bulanan setelah masuk ke teritori si manis.

Mengakunya Apo ingin belajar masak hal lain, pagi harinya dia justru membuat Mile tersedak batuk. "Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk! Pedassssss. What the fuck--apa yang kau masukkan ke dalam sini, Sayang? Sambal ....?" tanyanya tak habis pikir. Pasalnya pancake biasanya diisi selai, cokelat, keju, atau sejenisnya. Namun Apo hanya senyum lebar melihat protesan Mile.

"Enak tak?" tanya Apo, lagi-lagi dengan dialek Huahin. Akhir-akhir ini si manis lupa gaya bicara gaulnya. Dengan keringat dan apron pink itu, mana mungkin Mile menyakiti hasil kerja kerasnya.

"Ha? Ya, enak--tapi ini sebenarnya agak kurang tepat, Sayang," kata Mile, yang buru-buru minum kopi di atas meja kerjanya. "Maksudku, ehem ... mungkin kau bisa memakai cream dan susu--"

"Kalau enak ya berarti habiskan, he he ...." cengir Apo.

"Apa?"

"Ayo, Phiiiii," rayu Apo yang menumpu muka manisnya di depan laptop sang suami. "Habiskan, habiskan, habiskan. Nak lihat Phi Mile makan special menu-ku. Cepaaat ...." Kedipan matanya sungguh sulit ditolak Mile. Mau tak mau Mile pun menuruti, daripada si manis menangis. Apalagi Apo memakai ponsel untuk shoot video sebagai 'barang bukti'

kenang-kenangan, katanya.

Malam harinya Mile juga ditepuk-tepuk mendadak. Pipinya pun panas karena Apo melakukannya kencang sekali. "Aduh, aduh, aduh--Pooooo ... kau ini ada apa sebenarnya?" tanyanya sembari duduk meluruskan punggung. Lampu utama kamar pun Mile nyalakan, ternyata si manis langsung turun ranjang begitu dirinya bangun.

"Ini, Phi Mile. Jaketnya," kata Apo usai mengodel-odel isi lemari.

"Tunggu, tunggu. Buat apa?"

Mile yang ngantuk berat pun pusing sebelah. Pasalnya jam beker saja masih menunjukkan pukul 2 pagi, dia refleks memijit-mijit mata yang buram.

"Kan mau pergi ke bonbin, Phi ...."kata Apo seringan angin. "Nak lihat jerapah, singa, dan naik gajah. Terus ular sanca yang panjaaaaaaaaang!" Dengan penuh semangat dia juga ganti baju di depan Mile. Tak peduli titid, perut, dan bokongnya terlihat semua. Piama dia lempar begitu saja ke pojok kamar. Remaja itu lantas mencari ransel, memasukkan dompet, kamera, dan lain-lain seolah mau wisata betulan.

"Apo, Apo. Cantik, bisa tunggu dan bicara dengan Phi sebentar?" Mile pun segera menghentikannya di depan pintu. Tangan mungil Apo dia tarik masuk kembali. Namun si manis dengan inosennya hanya berkedip-kedip.

"Iya, Phi? Mau kucarikan kunci mobilnya?"

Kepala Mile kini pening total sampai rasanya berputar-putar.

"Kau bilang mau melihat ular di luar?"

"Iya? Yang ada totol-totolnya," jawab Apo tanpa berpikir.

"Bagaimana dengan melihat ularku?" tawar Mile. "Lebih panjang asal kau tahu saja."

"Hah?"

Giliran Apo yang malah tampak kaget.

Mile pun mengacak-acak rambutnya kesal. "Tidak, tidak. Bukan begitu maksudku, hanya saja--arrrgghhh," keluhnya. Lalu segera mendudukkan Apo di sofa terdekat. "Begini, Apo. Sekarang masih waktunya tidur, paham? Hewan-hewannya juga butuh beristirahat di kandang. Lagipula mana ada bonbin buka jam segini, oke?"

Ekspresi Apo pun langsung berubah. "Umm, t-tapi Dede Ayi kan nak lihat jerapah ...." katanya dengan mata berkaca-kaca. "Nak singa ... nak ular ...  a-aku kepingin pegang ularnya langsung ...." Jemari itu meremas-remas pinggiran sofa.

Tampaknya Apo memang sudah begitu ingin, Mile iba. Hatinya memang selalu tak kuat diserang betapa gemasnya si manis ini. "Oke, oke. Sebentar. Phi cek dulu mana yang paling dekat ya," katanya. "Just stay here, Baby. Don't move. Phi kembali lagi ke sini."

"Umn," angguk Apo.

Mile pun segera mengambil ponsel. Sesekali dia mengusap muka untuk menghilangkan kantuk di mata. Lelaki itu memakai maps untuk membuat rencana singkat. Jujur seumur-umur Mile belum pernah ke bonbin karena baginya itu membuang waktu. "Hmm ... Dusit Zoo mungkin butuh sekitar 7 jam," gumamnya sambil menatap Apo yang harap-harap cemas. "Ah, bukan. Mungkin lebih dari itu."

Jadi sebenarnya memang benar harus berangkat jam segini, kecuali mau macet di tengah jalan paginya.

"Bagaimana, Phi? Jadi yaaa," kata Apo yang tidak tahan mendekat. Dia pun berlutut demi ikut menonton layar ponsel Mile, bibirnya manyun. Mile sendiri butuh waktu hingga menghela napas panjangnya.

"Iya, jadi. Tapi jangan dadakan begini ya Sayang? Bagaimana kalau mandi air hangat dulu? Biar rapi-rapi, hm?"

Dielusnya ubun-ubun Apo selembut mungkin. "Ish, jorok ish. Masak mau jalan-jalan tidak sikat gigi. Nanti ularnya tidak mau kau pegang."

Apo pun langsung berbinar cerah. Dia memeluk Mile dengan guncangan kencang, sampai-sampai Mile kaget oleh betapa keras suaranya. "OKE SIAP!!!!!" jeritnya senang. "TERIMA KASIH PHIIIII! AAAAAAAAAAAA TIDAK SABARRRRR! NAK LIHAT PHI MILE FOTO SAMA SINGA JUGAAAAAA! AAAAAAAAAA!!"

.... hah?

"Apa, Po?"

Barusan Mile tidak salah dengar kan?

Wait, wait, wait, wait--ITU SIH DI LUAR RENCANA!!!

Bersambung ....