KITTY PO 69

Pengasingan tersebut berlangsung cepat. Kedua sumber keributan sudah diringkus hingga tak kasat mata. Jadwal pulang dibatalkan tepat waktu karena rasa solidaritas yang tinggi. Mile dan Apo menemani Reba hingga emosinya mereda. Lian di pangkuan Reba merenungkan sesuatu yang tidak dia mengerti. Dia hanyalah bocah yang hanya sanggup meraba ekspresi. Air mata jatuh pertanda kesedihan seperti yang biasa dia lihat. Tangan Lian mengusap-usap pipi Reba seolah bisa menjunjung segala masalah. Mungilnya ukuran, dan jiwa suci membuat Lian semakin sedap dipandang. Dia lebih kuat dari Reba dalam menghadapi kehidupan yang tengah terguncang.

"Reba, jika ada yang ingin diceritakan, kami siap mendengarkan," kata Mile. "Aku dan Apo bukan orang lain kan buatmu? Kita teman baik sejak dulu."

Ada anomali dalam percakapan itu. Namun, Reba lagi-lagi tidak sempat memikirkan. Siapa Apo versi sekarang, atau sebelumnya bukan masalah karena ada yang lebih besar di depan. Dari Jerman Reba pulang untuk dapat ketenangan. Di sini pun dikejar manusia yang hilang hatinya.

"Siapa yang kau maksud itu? Lelaki atau wanita?" tanya Mile coba memastikan. "Ehem, maaf jika omonganku ada yang disturbing, soalnya tadi ada yang membahas selingkuh juga. So, kau tak menjawab pun tak masalah, Reba. Senyumanmu saja. Kita sempat membahas suamimu seolah semua baik-baik saja. Jadi kupikir ...."

"Namanya Kris Wu," sambung Reba tiba-tiba. "Kami menikah setelah dikenalkan Paman Xia Zhe. Lian lahir 1 tahun setelahnya di utara Munich."

Ketenangan kursi tunggu itu senyap. Apo masuk zona nyaman dan memilih tidak bicara. Dia hanya mendengarkan karena baru kenyang masalahan rumah tangga. Baginya topik Reba adalah suatu hal yang di luar garis. Selain Sammy dan Katty, Apo merasa tak perlu menaruh perhatian terlalu besar. Si manis menatap wajah cantik Reba, yang ternyata memendam sembilu.

"Terus, kau bilang suamimu akan pindah kemari juga. Apakah dia orangnya?"

"Dulu." Reba menangkup wajahnya. "Kami bercerai 2 tahun lalu, Mile. Aku sembunyi di rumah Bibi karena dia menakutkan."

"...."

"Serius aku benci dipukul olehnya lagi."

Mile pun diam sejenak. Dia dan Apo bertatapan lekat-lekat. Lelaki itu tak bisa membayangkan memukul Apo suatu hari nanti--ckck, betapa tega suami yang melakukannya, terlepas masalah apa diantara mereka. "Oh, KDRT," batinnya. "Jadi kau di sini pun karena lari darinya?"

"Ya."

"Tapi dia tahu kau dimana setelah sekian lama."

Reba pun mendapat tisu dari suster yang diminta Mile mengambilkan. Benda itu dipakai hingga basah wajahnya berpindah. Mata cantik Reba tampak sempurna seperti dulu, namun dilihat-lihat lagi tampaknya sering menangis. Manik Reba mudah basah dan uratnya memerah. Apo melihat potret dirinya sendiri yang pernah sejatuh itu, tapi persoalan mereka berbeda.

"Aku tidak tahu bagaimana cara dia datang, Mile. Kenapa tiba-tiba sekali," ujar Reba. "Apa mengikuti Nazha? Suamiku pasti dikuntit dari bandara hingga kemari."

Tunggu, tunggu, tunggu--apa?

Otak Mile dan Apo kompak error mendengar kalimat barusan.

"Nazha?

"Iya."

"Suamimu memang si wanita, atau tadi salah kata?" tanya Mile.

Reba menangkat wajahnya. "Suamiku yang sekarang memang Nazha. Kami menikah setahun lalu, Mile. I mean, semua baik-baik saja selama dia menjaga kami. Hanya saja, Nazha sempat dialih tugaskan ke bandara lain. Wilayahnya beda dan aku diteror Kris lagi. Kami pikir, dengan beda kota dan jarak tempuh tidak bagus untuk keselamatan Lian. Makanya kuajak Nazha sekalian ke kampung halaman. Aku tidak tahan lagi."

Baut otak Mile baru berputar ke tempat asalnya. Dia penasaran sejak kapan Reba bisa tertarik ke wanita juga. Namun, kembali lagi. Jika membuat Reba bahagia kenapa tidak dilakukan? Itu normal apalagi posisinya butuh perlindungan. Kedatangan wanita karir bermulut brutal dan kemampuan berkelahi jelas bisa membuatnya merasa aman.

Ah, sial. Prediksiku salah semua. Kupikir ini soal poligami--

"Phi Reba, tapi aku penasaran sesuatu," tanya Apo tiba-tiba bersuara.

"Iya?"

"Jadi yang pilot itu, Phi Nazha?" tanya Apo. "Umn ... kupikir yang laki-laki."

"Iya, benar," angguk Reba. "Kris kan keponakan pemilik T-car, Tuan. Itu perusahaan taksi yang ada di Jerman. Cuma ya, begitu. Aku baru tahu dia kasar dan marahnya tak terkontrol. Daripada bertahan dengannya, aku lebih baik pisah."

Mile dan Apo pun memprediksi persidangan itu berakhir dengan bayar denda. Kris bebas dari ancaman penjara, tapi hatinya masih mengejar. Reba pasti mengalami hari berat dua tahun belakangan. Keberadaan Lian membuat Apo sulit membayangkan bagaimana cara wanita itu melewatinya.

"Mama! Mama!" panggil Lian, yang sudah ceria.

"Apa, Sayang?"

"Mama! Mama! Aku mau minta men loli."

Lian tidak tahu kesulitan sang ibu. Reba pun ditahan Mile untuk duduk dulu di tempat.

"Tunggu, Reba. Terus rencanamu nanti bagaimana?" tanya Mile khawatir. "Sudah menemukan solusi? Si Kris sekarang tahu tempatmu sembunyi. Masak iya mau pindah lagi?"

Apo membuang muka daripada melihat Mile meremas lengan Reba. Remaja itu pura-pura tidak tahu. Dia fokus ke wajah Katty yang imut jelita.

"Tidak tahu, Mile. Serius. Aku harus membicarakannya dengan suamiku dulu," kata Reba. "Ini kesekian kalinya dia berkelahi untukku, tapi sekarang aku hanya ingin melihat apa dia baik-baik saja."

"Oke." Mile pun melepas cengkeramannya. "Kalau ada yang bisa kubantu, bilang ya?" tawarnya. "Selagi bisa pasti kuusahakan untuk kalian."

"Terima kasih, Mile."

"Hm."

"Kau benar-benar baik sekali."

Lima menit kemudian Nazha datang menghampiri Reba, wajahnya luka-luka, tapi rautnya secadas baja. Tatapan matanya terlalu dingin. Berkenalan pun hanya menyebutkan nama depan tanpa marga. "Aku Nazha," katanya. "Terima kasih sudah menjaga istriku, Sir. Ckckck, kupikir datangku ini kejutan, tapi malah membawa masalah kotor."

Apo pun segera mengangguk. "Tidak apa-apa, Phi. Salam kenal juga dariku Apo Nattawin."

"Ya."

"Kalau aku Mile Phakphum," kata Mile. "Senang berkenalan denganmu, Nazha. Semoga kita berteman baik."

Koridor rumah sakit mulai dibersihkan para OB. Mereka kesana kemari membawa cairan pembersih dengan cling kaca yang bening. Darah-darah muncrat pun menjadi hilang, tapi Nazha perlu minta maaf ke remaja pincang yang dibuatnya terjungkal. Sayang kasihan manula yang kepalanya bocor. Kris keburu kabur sebelum dimintai tanggung jawab. Perban tebal membebat besar hingga Mile perlu mengurus kesan RS di mata publik soal keamanan. Apo lihat Nazha mengulurkan kartu kredit untuk biaya pengobatan keduanya, padahal si manula bukanlah kesalahannya.

"Aku jadi bingung," batin Apo. "Memang pilot diwajibkan jago berkelahi? Cara jalan Phi Nazha macam orang jebolan militer."

Si manis terus memperhatikan gestur "suami" Reba.

"Mantan polwan kali ya?" batin Apo lagi. "Berarti aku harus belajar karate sebelum daftar sekolah? Tapi korelasi menerbangkan pesawat dengan berkelahi apa? Aku benar-benar tidak paham."

Tiba-tiba chat May menditraksi fokus Apo.

[Mama: Sayang, dimana?]

Benda itu bergetar di saku kemeja.

[Papa: Po, aku dan Mamamu berkunjung ke rumah loh, tapi sepi. Songkit dan Nee belum pulang dari kantor. Sibuk mereka. Adanya cuma Sammy yang tidur terus di kamar. Kalian dan Katty dimana? Bilang suamimu, mertuanya ingin bertemu. Habis liburan harusnya itu istirahat. Jangan dipakai pergi jauh-jauh lagi]

Susah payah Apo pun membalas mereka, selagi fokus Mile masih kepada Reba. Mumpung tak dilarang-larang ketikannya cepat. Si manis cukup struggle karena menggedong sambil memenceti layar.

[Apo: Iya, Pa, Ma. Kami di RS buat pencopotan gips-ku. Hehehe]

[Apo: Sudah nyaman kok rasanya. Kata dokter kakiku ini sembuh total]

[Apo: Jangan marah ya, Papa. Ini mau otw pulang kok]

[Apo: Papa mau jajan apa buat oleh-oleh pulang? Maksudku selain dari Yunani. Kali aja masih ingin makanan made in Thailand]

[Apo: Pokoknya Phi Mile nanti jangan dimarahi ya. Kami sekalian imunisasi Katty kok. Senang sekali tadi Phi-nya lihat Katty disuntik. Dia kan baru sekali ini mengantar]

[Apo: Ya, Papa yaaa? ]

Si manis buru-buru mengantongi ponselnya kembali. Dia tidak mau dimarahi Mile karena main gadget sambil menggendong baby yang rapih. Akhirnya mereka pulang setelah memastikan Reba aman. Mile menepuk bahu Reba kala berpamitan. "Take care ya."

Si dokter cantik mengangguk.

"Kau juga, Mile."

"Tentu."

"Salam untuk baby yang satunya. Aku benar-benar baru notice kalian punya anak kembar."

"Tak masalah."

Reba berdiri, pinggangnya dilingkari Nazha sebagaimana Mile melakukannya ke Apo. Kedua pasangan itu saling menatap sebelum tenggelam di balik mobil yang berlalu. Diam-diam Apo menilik ekspresi Mile demi melihat apa yang suaminya pikirkan. Pertemuan pas remaja tak mereka sangka akan sampai titik kehidupan masing-masing yang se-chaos ini.

"Phi menyesal menikah denganku?" tanya Apo diantara keheningan.

"Apa?" kaget si Romsaithong. "Apo, kok ngomongnya begitu? Phi tidak suka loh dengarnya. Kita sudah punya anak 2."

"Y-Ya, siapa tahu saja." Si manis membuang muka. "Phi terlihat khawatir ke dia. Padahal sudah ada suaminya.

Aku jadi tak terlihat."

"Kenapa jadi kau yang cemburu padaku?" batin Mile. "Perasaan tadi obrolan soal gebetanmu belum selesai."

"Oke, jadi sekarang Sayangku maunya apa?" tanya Mile. "Aku tak boleh bicara ke siapa pun temanku di masa lalu?"

"Bukan begitu ...."

Mulai lagi kan, istri gemasku yang satu ini.

"Terus, bagaimana?"

"Umn, kalau yang lain aku tidak tahu hubungan kalian seperti apa," kata Apo sambil menunduk. "Phi dengan Kak Anna. Phi dengan si A, B, dan C ... tapi, Phi Reba jelas-jelas gebetan Phi waktu itu. Aku keingat terus kalau kalian barengan."

"Ya ampun, Apo."

"Phi Reba agak istimewa, tahu," kata Apo. "Ehem, m-maksudku ada yang berbeda."

"...."

"Kalau gebetanku kan, namanya saja aku lupa, Phi," kata Apo tiba-tiba.

"Lho, iyakah?

"Aku cuma mengingat wajahnya pas TK, itu pun samar-samar. Sekarang pastinya sudah berubah. Aku 18 tahun, dulu dia guru olahragaku, Phi. Kelihatan baru lulus kuliah," jelas Apo. "Sekarang pasti mukanya sudah sangat tua."

"Ckckck, itu sih kagum ya, Po," batin Mile. "Bukan cinta macam ingin adu penis."

"Kesimpulannya, aku tidak boleh mengobrol sama Reba lagi?"

Apo pun menggeleng pelan. "Umm, boleh ... tapi jangan sentuh sama dia. Tidak suka," katanya. "Ini beda dengan Kak Anna yang suka mencium kita. Aku tahu Kak Anna cuma teman Phi Mile!" bentaknya, tapi lebih kepada cicitan kucing.

Mile pun menarik Apo ke pelukan. Dia tidak mau banyak bicara daripada salah lagi. Dipuk-puk-nya punggung remaja itu, selagi Katty menangis. Bungsu mereka kaget oleh suara kencang, pertanda sejengkel itu Apo jika soal Reba. "Ssshh, ssssh, percayalah kalau ini tidak disudahi akan jadi jealous part 100," bisiknya. "Tapi, oke. Phi sebisa mungkin takkan sentuh dia lagi. Maaf ya, Cantik. Semoga tidak ada topik "Reba lagi, Reba lagi" setelah ini."

"Hnnngh," lenguh Apo. Rajukannya kentara kalau masih marah, tapi Apo tidak mengabaikan Mile begitu mereka pulang. Ini beda dari sebelumnya. Si manis bisa akting ceria di depan kedua orangtuanya. Dia benar-benar belajar dewasa oleh siklus kehidupan. Rona merahnya bahkan terlihat. "Papa, Mama ...."

"Halo, Sayang!" May segera menabrak peluk Apo dan cucunya yang doyan mengoceh.

"Akhirnya kau pulang juga Po. haduh kangen," kata Man. "Jalan-jalannya lama sekali. Dasar ...."

"Xixixixixi, sorry. Ayo kita buka oleh-olehnya dalam!" ajak Apo. "Pa, Ma. Aku beli sesuatu loh buat kalian. Tesalonika benar-benar kota yang keren sekali!"

"Selamat datang kembali di rumah ...." kata May. "Senang kalian senyum seperti ini."

Bersambung ....