BAB 4: SEDANG APA KAU, HAH?!

Hal yang paling tidak bisa Porsche sangka adalah saat dia sampai di rumah. Kenapa bisa Kinn duduk-duduk di terasnya?!

Mafia jelek itu bahkan membiarkan para bodyguard-nya bertebaran di halaman sambil mengobrol santai dengan sang adik.

"Porchay!" panggil Porsche agak emosi. Dia membelah barisan bodyguard Kinn bagai demonstran yang akan melumat gedung politisi. Namun, ekspresi kasar di wajahnya langsung hilang karena melihat luka besar di kaki sang adik.

"Kakak! Kak Porsche! Kakak pulang!" kata Porchay. Anak lelaki itu tampak ingin berlari ke arah Porsche, tetapi darah di kakinya masih dibersihkan oleh seorang bodyguard. "Aahh ... Kakak sebenarnya dari mana saja?"

Polos. Tak ada masalah di sini, tetapi Porsche terlanjur marah. Dia pun meneriaki wajah Kinn tidak sabaran. "Hei kau! Kau ini kenapa ada di sini?!" bentaknya, lalu menjambak kerah si mafia. "PASTI INI ULAHMU! ULAHMU! IYA KAN?!"

"Kakak! Jangan--"

Kinn hanya mengentakkan tangan Porsche hingga lelaki itu mundur beberapa langkah. "Bisa jaga sikapmu sedikit?" katanya dengan seringai tipis. "Ada anak di bawah umur di sini."

"Bangsat! Sebenarnya apa yang sudah terjadi?!" jerit Porsche dalam hati. Dia pun menoleh kepada Porchay sebentar, lalu mendecih.

"Masuk! Ikut aku!" kata Porsche. Dia mengentakkan kepala, dan Kinn tetap tenang di depan para bawahannya.

"Kalian tetap awasi anak ini. Aku ingin bicara empat mata dengan kakaknya di dalam."

"Baik!"

Porsche memutar matanya malas-malasan. "Cih ... sok jadi pangeran kesiangan. Pokoknya dia bukan mafia di mataku!"

BRAAAKHHH!

Kesabaran Kinn hilang setelah dia mengunci pintu ruang tamu dari dalam. Dilemparnya tubuh Porsche dari belakang, dibantingnya hingga terjembab ke sofa, dan pukulannya pasti bisa meremukkan wajah andai Porche tidak menangkisnya.

"WOE!! BRENGSEK!!"

"Kau ... yang brengsek sudah memporak-porandakan hotelku," kata Kinn. Dia meremas kedua tangan Porche di atas kepala sebelum memborgolnya cepat.

Crakk! Crakkk!

"Aihh ... itu curang! Itu curang!"

Kinn meremas pergelangan tangan Porche hingga ekspresi wajah itu berlipat-lipat. "Kau pikir aku tidak tahu? Bawahanku bilang kau membawa kabur mobil koleksiku yang paling berharga, hah? Lalu sekarang kau ingin memakiku di depan adikmu? Sopan sekali caramu."

Borgol di tangan Porche bergemericing. "LEPASSS!"

Kinn pun meremas tangan itu makin kuat.

"Aarghh!"

"Tidak tahu terima kasih!" bentak Kinn tetap tidak mau kalah. "Aku ke sini memang untuk mencari tahu, tapi tidak untuk mencelakai keluargamu. Tapi, apa ini? Kau bahkan tidak tahu Porchay jadi korban palak teman-temannya di sekolahan."

"Apa?"

Kedua mata mereka pun bertatapan.

"Kuulangi, aku menemukan adikmu di belokan gang rumah ini, dikeroyok tujuh orang tampang preman, dan lebih rendahan dariku saat memaksa seseorang," kata Kinn. Di menampar pelan pipi Porche agar menyadarkannya. "Kau jangan merasa baik-baik saja saat keluargamu sendiri merahasiakan hal penting darimu, tolol."

Porche pun diam mendengarnya. Dia akui, dia kalah kali ini. "Minggir!" Namun mempertahankan harga diri yang tersisa tetap keharusan. Dia pun memelototi Kinn yang membuat pinggangnya terasa hancur.

Demi apa, padahal tadi ngilu di sana sudah tak terasa, tetapi Kinn sudah menindihnya lagi? Bajingan dia ini!

"Akan kulakukan kalau kau mau bicara lebih benar nantinya," kata Kinn.

Meski kesal, Porche pun menurut dengan caranya sendiri. "TERSERAH!"

BICARA BENAR APANYA?!"

"Ahhh mnn ... ugh ... mnnn ...."

Porche tak berhenti melenguh sejak Kinn menyentuhnya di atas sofa ruang tamunya sendiri. Pria itu duduk santai di sana, memangkunya saling berhadapan, dan tidak berhenti mencium bibirnya. Lidah panjang Kinn masuk ke dalam. Dia mengaduk-aduk mulut Porche tak terkendali, lalu mengunci bibirnya dengan ciuman yang sangat intens.

Sial sekali memang. Porche memang bukan bartender paling sopan di dunia, tetapi dia tahu bila memang seks yang diinginkan orang lain untuk balas budi, maka dia akan memberikannya.

Bedanya, kali ini dia merasa seperti mainan. Bukan mempermainkan tubuh orang lain seperti biasa.

"Benar begitu. Angkat pinggulmu sedikit," kata Kinn. Dia menepuki pantat Porche agar membuka kaki lebih lebar. Dia cukup membuka resteling celana waktu itu, tetapi tidak untuk Porche.

Kulit tan indahnya terpampang nyata karena seluruh pakaiannya lepas di lantai. Kinn amat sangat menyukai bagaimana kilau berpendar di bawah lampu ruangan, ekspresi seksi Porche yang terpejam merasakan penisnya di dalam, dan tiap detik lelaki itu bergerak kaku pada tiap guncangan tubuh mereka.

"Ahh ... ahh ... Kinn ... Kinn ...." sebut Porche. "Kau--bisa tidak jangan cepat-cepat?! PINGGANGKU RASANYA PATAH!" bentaknya tak habis pikir.

Kinn hanya tertawa kecil melihat Porche memeluknya erat kali ini. Dia sudah lupa diri. Orang-orang di luar mungkin dengar teriakannya barusan, tetapi Porche tak peduli lagi.

Demi apa! Bokongnya baru digempur kemarin malam! Tadi pagi! Lalu kenapa sekarang begini lagi?! Orang ini binatang atau manusia?!

"Porsche Pachara, 23 tahun. Mantan juara nasional Taekwondo. Yatim piatu, bertanggung jawab penuh atas adiknya, seorang bartender kelas atas, dan perlakuan baik," batin Kinn. Dia ingat tiap detail data diri Porche sembari menatap kegelisahan bercampur nikmat di wajah itu. "Mainan yang tidak buruk. Aku harus mendapatkannya dalam waktu dekat ini."

PLAK! PLAK!

"Lebih cepat! Lagi!"

Terdorong nafsu hewaniah, Porche memaju mundurkan pinggulnya tanpa sadar. "Aaahhh! Mnhhh! Fuck ...."

"Setelah ini kuanggap selesai!" batin Porche. Dengan keringat yang berjatuhan dari kening, dia pun meremas bahu-bahu Kinn hingga cakarnya menusuk ke dalam. "Pokoknya ini yang terakhir! Kupastikan tidak akan ada hutang budi lagi pada orang ini!"

Kinn pun memindah tubuh Porche agar berebah ke sofa. Sekali muncrat di luar, dia kembali masuk dalam hitungan detik. Jangan sampai Porche punya kesempatan untuk melawan lebih kuat atau keseruan ini akan berakhir.

"Sinting ... kau sinting .... mnhh!" desah Porche ketika di ambang batasnya. Dia diam saat dicium karena lelah. Bingung menghadapi kenikmatan aneh ini, lalu pasrah saja di ronde terakhir.

Kinn mengisinya hingga penuh dengan air mani hangat itu. Porche bisa merasakan alirannya mendesak-desak, bahkan mungkin ada yang masuk ke perut. Memang sebesar apa libido pria ini? Porche cukup panik melihat ukuran Kinn yang sebenarnya setelah benda itu keluar dari lubangnya dalam kondisi lemas.

SIAL! Kalau lemas saja sebesar itu, bagaimana tadi saat tegang dan mengaduk-aduknya?

"Kenapa? Kaget baru berani melihatnya?"

Di atasnya, Kinn menyibak rambutnya melewati kening. Pria itu tampak bangga setelah membuat Porsche puas, lalu memasukkan penisnya kembali ke celana. Cukup seperti itu. Dia masih rapi, wangi keringat dan parfum, lalu menutup restleting dengan seringaian.

"Pulang ... kau ... sekarang," kata Porche di sela-sela napas pendeknya. Dia segera menutup paha sebelum aliran air mani Kinn merembes keluar dari lubangnya di bawah sana. Takkan dia biarkan Kinn kembali bernafsu! Tidak! Atau dia benar-benar takkan bisa jalan seminggu.

Kinn justru merasa reaksi Porsche cukup menggemaskan. "Baik, baik. Aku pulang setelah mengantar adikmu ke rumah sakit," katanya. Lalu melepaskan jas luar merah itu untuk menutupi tubuh Porche. "Tapi, jangan lupa bersih-bersih setelah istirahat di sini. Aku akan kembali lagi besok."

"JACKASSSS!!!" maki Porche sambil melempar asbak rokok kepada Kinn.

Sayang, Kinn sudah mundur pergi darinya sebelum kena. Pria itu tampak senang, lalu keluar dari pintu depan dalam kondisi berseri-seri.

"Bagaimana dengan kondisi Porchay?" tanya Kinn.

Porchay tampak memerah setelah melihat Kinn kali ini. Tadinya dia pikir Kinn merupakan teman Porche, hanya saja mereka tengah berselisih. Tapi, ini apa? Dengan suara-suara dari dalam tadi, Porche jelas-jelas baru saja bercinta dengan Kinn!Porchay jadi bingung harus bereaksi bagaimana. "A-Aku baik, Phi Kinn."

Kinn melihat kaki Porchay yang darahnya sudah bersih, tetapi lukanya masih tampak panjang.

"Pete, bawa dia ke rumah sakit terdekat," katanya. "Dan laporkan kondisinya padaku nanti."

Pete pun segera mengangguk. "Baik!"

Walau saat membantu Porchay, dia gugup minta ampun. "Astaga ... baru kali ini aku melihat Tuan Kinn peduli dengan keluarga mainannya. Dunia sedang baik-baik saja, kan?"

Bersambung ...