BAB 22: BISA AKU MEMINTA SATU HAL?

"Namaku Mae, Khun Kinn," kata Mae dengan memeluk bayi mungilnya. Wanita itu terlihat kurus. Kedua matanya berbayang hitam, dan ujung jarinya gemetar saat Kinn mempersilahkannya duduk di ruang tamu.

"Silahkan, Nona," kata salah satu pelayan.

Mereka pun duduk berhadapan, lalu berbicara ini dan itu. Dan intinya Mae mengeluhkan biaya hidup akhir-akhir ini. Dia kehilangan segalanya setelah sang suami meninggal, tempat tinggalnya terancam diringkus rentenir, kesehatannya yang menurun drastis sejak melahirkan, dan kematian Tawan yang tidak lagi membantunya soal keuangan.

"Hmmm .... uang, huh?"

Selama ini, Kinn tidak tahu kalau Tawan memiliki saudari perempuan tiri. Mungkin karena ketika mereka berpacaran, Tawan tinggal di kediamannya seperti yang Porche lakukan, lalu catatan tentang Mae juga terhapus dari keluarga Tawan karena perceraian ulang yang agak janggal.

"Bagaimana bisa catatan sepenting itu terhapus?" pikir Kinn. Sampai-sampai data tentang wanita ini tidak dia temukan dalam berkas pribadi Tawan. Namun, Kinn tetap menganggapi obrolan itu dengan baik, meskipun diam-diam mengirim sensor siaga ke semua bodyguard-nya yang berjaga.

"Jadi, boleh aku meminta satu hal?" tanya Mae. Dia memberikan bayi mungil di pelukannya kepada salah satu pelayan.

"Tunggu, Nona?" Baik Kinn maupun pelayannya pun terkejut karena perilaku Mae.

Mae mendadak meneteskan air mata. "Maaf, kalau ... mungkin ini akan membebanimu, tapi aku benar-benar kesulitan," katanya. "Jadi, boleh Nam tinggal di sini mulai sekarang?"

Ruangan itu sunyi sesaat.

"Hiks ... hiks .... a-aku tahu ini memang memalukan. Hanya saja, anak ini butuh kelayakan lebih daripada aku. Jadi, biar ibunya yang kesulitan, dia jangan," kata Mae lagi. "Dan kudengar ... dalam kontrak perjanjian Anda dengan Tawan dulu, Anda akan menjamin keluarganya juga. Ugh .... ya Tuhan aku tidak sanggup lagi ....."

Sejujurnya, tadi Kinn sudah bersiap menembak wanita itu melalui bawah meja. Karena selain kontrak Tawan hanya berlaku selama hidup, ada terlalu banyak hal aneh yang dibawanya.

Apalagi informasi soal hubungan keluarga dengan Tawan belum dipastikan. Namun, semakin janggal sesuatu, semakin Kinn tak bisa mengabaikannya.

Tapi sebelum itu, dia memastikan satu hal. "Lalu kenapa malah kemari? Kau bisa membuangnya ke panti asuhan jika hanya butuh bantuan merawat bayi."

Meski sempat tampak bingung, Mae pun menjelaskan dia tak mau bayi itu diasuh sembarangan orang, apalagi nanti kalau sampai diambil pasutri yang rumahnya jauh, hingga dia berpotensi tidak bisa melihatnya lagi.

Kinn pun menghela napas karena alasan yang agak konyol itu. Meskipun begitu, dia berpikir, pasti Mae sudah merencanakan sesuatu sebelum membawa bayinya kemari. Kecuali dia benar-benar orang suci.

"Baik, bawa bayinya ke dalam," kata Kinn pada akhirnya.

"Terima kasiiiih, Khun Kinn!" kata Mae sebelum diantarkan pulang oleh Big. Namun, Kinn juga menyuruh Big menyelidiki latar belakang wanita itu lebih jauh sebelum mereka berangkat.

"Laporkan padaku apapun tentangnya," kata Kinn.

Big pun mengangguk pelan. "Baik, Tuan Kinn," katanya sebelum pergi.

***

"Tuan Kinn, bayi ini sungguhan diberikan kepada kita?" tanya salah seorang pelayan. Dia menggendong bayi itu seharian, dan anehnya tidak banyak rewel.

Kedua mata cokelatnya justru menatap setiap orang yang datang mendekat dengan tenang. Dia juga mau disusui dengan botol dot, seolah itu sudah menjadi asupannya sehari-hari.

"Hmm," sahut Kinn. Dia sempat memelototinya bayi itu, tetapi tetap tak bereaksi. Malahan bayi itu sanggup memelototinya balik.

"Aneh sekali, bukankah seusia dia harusnya masih tergantung asi?" pikir Kinn.

"Apa suatu hari akan diminta kembali?" tanya pelayannya lagi. Wanita itu tersenyum cerah ketika si bayi berkedip-kedip lucu.

"Kalau dia sampai berani melakukannya, lebih baik kutembak saja," kata Kinn.

Pelayan itu pun diam.

Kinn menghela napas panjang, "Aku menerima dengan tanggung jawab bukan untuk dimanfaatkan begitu saja," tegasnya sebelum pergi.

"Ini agak membingungkan," batin Kinn. "Aku memang ingin punya anak, tapi bukan secepat ini."

Apalagi itu anak perempuan. Untung Korn, Karn, Kim, Thankun, Macau, dan Porchay sedang tidak ada di rumah. Mereka keluar dengan urusan masing-masing, jadi sementara hal ini aman. Hanya dia yang tahu, bawahannya di rumah, dan Porche--

"Kinn," panggil Porche tiba-tiba.

Kinn yang baru akan masuk pun batal menutup pintu. "Oh, kau di sini?" tanyanya tenang. Kinn benar-benar tak menyangka Porche ada di tempat itu juga.

"Sejak kapan?" batin Kinn.

Kalau dilihat dari seberapa berantakan rambut Porche, dia pasti baru bangun tidur. Mungkin mencari angin?

Porche duduk dan menghirup udara sore. "Hmm, masih mengantuk sekali," katanya. "Tapi segar, walau memang agak lapar." Lelaki itu tersenyum pada Kinn, lalu menepuk tempat di sebelahnya. "Ngomong-ngomong, kau kenapa? Merindukan ciumanku?" Senyum menggodanya keluar.

"Shit ...." maki Kinn dalam hati. Tanpa sadar dia tersenyum, lalu menghampiri sang kekasih. "Well, tentu saja," katanya. Lalu mengecup pipi Porche sekilas. "Kalau lapar, sebaiknya masuk ke dalam. Pelayan rumah ini akan memberikan apapun yang kau mau."

"Hmph, begitu?" Porche mendengus tersenyum. Dari kondisi mood-nya, sudah jelas lelaki itu belum tahu soal bayi bernama Nam di lantai satu. "Tapi, daripada mengisi perut, aku lebih penasaran satu hal."

"Apa?"

"Kapan kau jadi menikahiku?" tanya Porche. "Karena tadi, aku bermimpi bagus."

Otak Kinn malah macet sesaat mendengarnya. "Huh? Mimpi seperti apa?" tanyanya.

"Ibu Pat," kata Porche. "Dia yang ada di foto keluarga kan? Hebat sekali sempat menemuiku di altar doa. Padahal kau tahu aku tidak hadir di sana."

"... lalu?" bingung Kinn. "Dia mengatakan sesuatu?"

"Yeah?" Porche mengerling gemas kepada Kinn, padahal percayalah. Sebelum mereka berhubungan, Porche hanya melakukannya untuk tebar pesona kepada wanita di bar Che Yok. Kalau kepada lelaki, sekali pun tidak pernah. "Dia menyuruhku menjagamu. Luar dalam. Karena katanya, kau itu cuma keras di luar. Goyah sedikit saja bisa jatuh." Porche lalu menepuk-nepuk bahu Kinn. "Kau tahu? Tenang saja, aku pasti melindungimu mulai sekarang."

"Hmph, yang benar saja," kata Kinn. "Mungkin yang kau temui bukan ibu asliku."

"Hei, terus?"

"Tapi malaikat baik?" Kinn menarik tengkuk Porche, lalu menciumnya dalam. Dia sadar Porche masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kinn sudah tak peduli. Mungkin isi pikirannya terlalu ribut. Hanya dengan membagi kehangatan dengan sang kekasih lah yang membuatnya merasa lega kembali.

"Ha ha ha, mungkin saja," tawa Porche, lalu meladeni sentuhan kekasihnya.

Dengan jemari, Kinn memulas leher Porche yang masih bertanda merah, kemudian tengkuknya dengan remasan. Dia mengulum bibir atas dan bibir bawah lelaki itu dengan mata terpejam erat.

Khawatir, sambil membayangkan bagaimana reaksinya bila nanti Porche sudah melihat bayinya. Karena bila bukan mereka, mustahil Thankhun atau Kim mau diserahi Nam.

Ekspresi kurang suka Porche sudah muncul di pikiran Kinn, bahkan saat lelaki itu menggumamkan namanya di sela-sela ciuman mereka.

"Kinn, mmnhh ..."

Bagaimana jika Porche tidak suka? Apa Kinn langsung ke bawah dan mengirim bayi itu pergi ke panti saja? Lagipula tidak ada yang mengharuskannya mengurus Nam sendiri.

Kinn tinggal menyuruh seseorang untuk mengirim biaya hidup untuk Nam setiap bulan dan--

"Kinn, lagi ..." Porche mengulurkan lidahnya sebelum benar-benar dilepaskan. Benda lembut itu meliuk menyambut Kinn, mengajaknya bergulat gaduh dengan bunyi decapan, dan tawa senangnya terdengar begitu merdu setelah itu. "Ha ha ha ... baik, sudah kuputuskan kau dimaafkan," katanya. Lalu memeluk Kinn. Porche juga menepuk-nepuk punggung Kinn seolah sedang mengemong lelaki itu.

"Hhmmm ... terima kasih," kata Kinn. Lalu mengesun pipi Porche dari sisi.

Demi apa, Tuhan? Kinn bahkan suka aroma keringat bangun tidur kekasihnya ini.

"Yep, aku juga minta maaf padamu," balas Porche. "Karena meski bayanganku tidak-tidak, ternyata keluargamu tidak seburuk itu. Malahan mereka sangat menyambut. Ini agak aneh, tapi patut disyukuri. Aku senang bergabung dengan kalian. "

"Hmm, tentu saja." Kinn pun terkekeh kecil. Dia balas memeluk Porche sambil berbisik di telinga lelaki itu. "Kalau begitu pilihlah ...."

"Huh?

"Bukankah kau sekarang mantap menikah?" kata Kinn. "Jadi, jangan lupa yang kutanyakan dulu."

Ingat soal bulan madu mereka yang bisa di luar negeri, Porche pun tertawa keras. "HA HA HA! Oke!" katanya. "Tapi bagaimana jika aku minta jelajah semua? Paling tidak per benua satu negara? Aku pasti akan membuatmu bangkrut!! Bersiaplah, Kinn!"

Kinn hanya tertawa menanggapinya. Memang apa sih yang tidak untuk Porche? Melihat ekspresi lucunya, Kinn bahkan ingin meniduri lelaki itu lagi di tempat ini ... kalau tidak ingat pasti masih menyakitkan di bawah sana.

"Ngomong-ngomong, kenapa tape mp3-ku tadi lepas?" tanya Porche. "Pasti kau. Jika tidak, mustahil ada yang melakukannya, iya kan?"

"Hm, memang kenapa? Lagu yang kau dengar itu menjengkelkan," kata Kinn.

"Hei, bangsat ini," kata Porche tak terima. Dengan santai dia menidurkan kepalanya di pangkuan Kinn demi melihat sunset yang mulai tenggelam di ufuk sana. "Padahal bagus kalau dipakai pengantar tidur. Iramanya slow."

"Hanya karena iramanya?! Jangan bilang dia tidak tahu apa artinya?" batin Kinn.

Porche malah nyengir makin lebar, lalu memeluk pinggang Kinn dari samping. "Jackass! Aku tahu apa yang kau pikirkan ..." katanya. Tapi tertawa semakin keras.

Kinn pun meraih rambut Porche yang terserak di pangkuannya. Dia menyentuh helai-helai hangat itu dengan jemari dan ikut tertular bahagianya tanpa sadar.

"Baiklah, terus saja seperti ini," pikir Kinn. Maka meski agak gila, dia pun benar-benar mengirim bayi Nam ke panti asuhan setelah itu.

Lebih tepatnya saat Porche sibuk mandi, dan belum sampai turun untuk jam makan malam.

"Bawa dia, dan laporkan padaku kondisinya setiap hari," kata Kinn pada salah satu pelayannya. Kebetulan wanita itu yang paling antusias menggendong Nam sejak tadi. Namanya Ran, dan dia sigap mengangguk untuk menjalankan tugas pentingnya mulai hari ini.

"Baik, Tuan."

"Bilang pada Ibunda panti untuk menjaganya secara pribadi," imbuh Kinn. "Dan apapun yang dia butuhkan, bilang Arm. Aku akan secara khusus menugasinya mengatur keuangan untuk bayi itu."

"Baik."

Tak lama kemudian, Big pulang dari tugasnya mengantar Mae, dan bodyguard itu tampak sedikit tergesa-gesa sebelum menghadap padanya.

"Tuan! Tuan Kinn!" kata Big. Lantas memberikan sebuah arsip data bahkan sebelum dia menjelaskannya. "Tolong Anda lihat ini!"

Kinn pun menerima berkas itu, tetapi sejenak kemudian kerutan di keningnya hilang.

Berganti sebuah senyuman.

Yang cerah, tetapi juga tampak mengerikan pada saat sama.

"Kena kau ...." batin Kinn. "Jadi begitu caramu bermain, huh, Laura?"

Bersambung ...

Hayoloh siapa yang bisa nebak alurnya? Hayoloh siapa yang tadi negatif thinking sama Kinn?

Hayoloh siapa yang sempet nganggep Kinn tega banget sama bayi? Percayalah, Nak. Insting mafia itu asli.