BAB 28: KAU MARAH, KINN?

Porche menunggu beberapa saat ketika Kinn datang dengan mobil Jeep di belakang. Dia tidak menyangka lelaki itu ikut mencarinya langsung di hutan ini, dan turun dengan langkah gagahnya dari kendaraan itu.

"Kau marah?" tanya Porche saat mereka sudah berhadapan.

Kinn diam sejenak menatapnya. Lelaki itu tampak sangat ingin menggampar, tetapi justru mengepalkan tangan.

"Apa dia masih menahannya?" batin Porche. "Tenang, tenang. Kau harus Terima kalau Kinn memukulmu kali ini, Porche."

"Kinn?"

Kali ini, bola mata Kinn bergerak. Dari luka-luka Porche, ke si bayi. Dari bayi, kembali ke luka-luka lagi. Dia tak berhenti menggulirkan  netra hingga menarik tengkuk Porche agar menabrak peluknya paksa.

BRUGH!

"Aku yang marah pada diri sendiri kalau kau tidak kembali," kata Kinn. Lelaki itu tidak peduli dengan keramaian di sekitar mereka. Bodyguard-bodyguard yang terdiam, Kim dan Macau yang baru turun dari mobil, dan Pete yang segera mengambilkan sembarang kain dari dalam untuk Porche.

"Ini, pakai untuk sementara," kata Pete pada calon sepupu iparnya. Dia menangkupkan benda itu ke  dada telanjang Porche agar kulitnya tak lagi dijilat embun beku hutan. "Dan berikan bayinya padaku. Biar kuurus. Kau harus cepat masuk agar hangat."

"Terima kasih," kata Porche. Dengan benda itu, dia mengelap tubuh dengan santainya, seolah mata-mata bodyguard di sekitar bebas memandang ke sana. Sayang, baru beberapa saat, Kinn segera menyeretnya masuk ke mobil.

"Ikut aku."

"Hei ...."

"Ikut atau aku benar-benar marah."

Porche pun diam saja. Dia melihat ke arah Pete yang tampak antusias menciumi pipi bayi di gendongannya. Lalu Vegas yang tersenyum mencurigakan karena pemandangan itu. Ah, sayang sekali mobil mereka berbeda. Jika tidak, jujur Porche tidak keberatan menggendong bayi itu sendiri.

"Lain kali kuajari tembak menembak," kata Kinn. Dia mendadak melepas jas luaran dan menangkupkan benda itu di badan Porche. "Dan sudah ada bodyguard pribadi untukmu di rumah. Maaf, ini salahku sendiri karena terlewat mengurus hal sepenting itu."

HEI, INI SUNGGUH DI LUAR DUGAAN!! KENAPA TIDAK MARAH SAJA?

"Hmph, aku samasekali tidak masalah," kata Porche. "Dan berhentilah terlalu melindungiku, Kinn. Aku lebih senang kau mengajakku berlatih tanding daripada begitu."

***

Sampai di kondominium, kedatangan bayi Nam pun langsung membuat suasana pecah. Pete sampai kebingungan menanggapi bagaimana saat anggota keluarga Theerapanyakul menatapnya sejak menggendong makhluk mungil itu masuk.

"Oh astaga! Oh astaga! Itu benar-benar bayi?!" kata Thankhun heboh. Sang pewaris pertama pun segera turun ke lantai satu, padahal tadinya bersantai di balkon kamar.

"Iya, Phi," kata Porche.

Thankhun pun menoleh ke Porche selidik. "Bayimu? Bayi Kinn? Bayi siapa ini hei?! Kalian bukannya baru menikah kemarin? Jangan bilang sudah ada yang surrogacy--"

"Phi," sela Kinn. Satu lirikan saja, Thankhun pun jadi terdiam. "Porche ini baru pulang. Jadi, biarkan dia masuk ke dalam."

"Oh! Yeah? Baiklah ...." Thankhun pun mengalihkan pandangannya dari Porche daripada diadili lebih lagi. Dia menghampiri Pete, lalu menilik bayi perempuan menggemaskan itu. "Tapi, dia benar-benar cantik. Siapa namanya? Kau tahu?"

Pete hanya menggeleng pelan. "Sebentar. Aku harus mengganti pakaiannya dulu biar tidak kenapa-napa," katanya. Lalu menatap Porche yang sudah berjalan naik tangga diikuti Kinn di belakangnya. "Nanti pasti kuantarkan dia, Phi. Jangan khawatir ...."

"Hm," kata Porche. "Pastikan saja tidak menangis."

"Oke."

Namun, baru saja Porche menutup pintu kamar mereka, Kinn sudah memeluknya sekali lagi.

BRUGH!

"Apa-apaan, Kinn?!" kaget Porche.

"Lain kali jangan keluar seorang diri," kata Kinn. "Ini bukan untuk menyepelekanmu, tapi siapapun yang tahu kita seorang Theerapanyakul, dia pasti menginginkan nyawa, harta, atau semacamnya. Jadi, tidak hanya kau. Aku, Vegas, Phi, Kim, Macau, atau yang lain-lain .... mereka juga membawa seseorang kemana pun."

Porche pun terdiam bisu. ".... "

"Kau tidak tahu aku panik mencarimu semalam," kata Kinn. "Bisa-bisanya sembarangan seperti itu."

"Tapi orang itu tidak melukaiku. Dia tak punya niat membunuh, oke?"

"Tapi bagaimana jika permainannya berakhir? Kau tidak tahu akal busuk seseorang selama dia belum menampakkan wajah secara sempurna!" tegas Kinn.

"Aku tahu, aku tahu. Aku benar-benar minta maaf," kata Porche. Dan setelah pelukan mereka terlepas, kedua mata lelaki itu memburu Kinn tegas. "Oh, ya, Kinn. Menurutku, bayi itu biar tinggal di sini saja. "

"...."

Meskipun suaranya terdengar percaya diri, Porche mengalihkan pandangan setelah itu.

"Aku tahu, tindakanmu menyingkirkannya ke panti karena aku, kan? Tapi percuma jika pelayan lain jadi korban berikutnya nanti. Aku tidak bisa melihat orang mati, hanya karena kau terus memikirkanku," kata Porche. "Harganya benar-benar tidak sepadan, Kinn."

Kinn pun menangkup kedua bahu Porche perlahan. "Tunggu, kau tidak harus memaksakan diri seperti itu," katanya.

"Aku tidak memaksakan diri," kata Porche. "Kecuali kau lah yang benci bayi perempuan. Karena setelah semalam, aku pikir tidak buruk jika dia bergabung bersama kita."

"Kau yakin?"

"Ya, tak masalah," kata Porche. "Asal banyak yang membantu saja. Bagaimana pun, bayi tidak cocok juga dengan tanganku. Kau tahu? Memandikannya sekali saja rasanya ingin meninju dinding."

Mendengar kata-kata Porche, Kinn pun tersenyum dan menanggguk pelan. "Baiklah, kalau itu memang maumu," katanya. "Akan kubentuk dia jadi Theerapanyakul selanjutnya mulai sekarang."

"Hei, aku ini sebenarnya kenapa?" batin Porche. Padahal, dulu dia yang paling benci ide punya anak dan semacamnya. Tapi sejak pulang kembali ke Bangkok, rasa-rasanya melihat tawa Nam di bedongan benar-benar jadi penghiburan diri.

"Ahk ... amhh ... auu ... auu ...." oceh Nam begitu aktif. Entah keajaiban atau apa, bayi itu mulai menggerak-gerakkan badannya sambil bergumam tidak jelas selama Porche menemaninya. Dia berkedip-kedip, mengulum dot, dan bahkan tersenyum beberapa kali.

Porche pun memandang hal itu dengan tersenyum geli. "Dasar bocil," katanya. "Menikah belum seminggu pun aku sudah mendapatkanmu. Bukannya jalan-jalan dulu. Haruskah kau kucekik mati?"

"Eiii ... Phi?" kata Porchay yang tidak menyangka.

Porche pun tertawa-tawa melihat komuk di wajah adiknya. "Bercanda ...." katanya. Lalu beranjak dari kursi. "Baiklah, bisa titip dia dulu? Aku akan menemui Kinn sekarang. Sepertinya dia hampir selesai jam segini."

"Oke," kata Porchay. "Serahkan saja padaku, Phi."

"Hmm."

"Selamat menikmati latihan!"

Porche hanya terseyum lebar menanggapi ucapan adiknya.

.

.

.

.

.

Selain diajari menembak, hari-hari awal Porche sebagai menantu di keluarga Theerapanyakul justru diisi dengan kegiatan olah diri. Dia tidak diberikan guru, melainkan Kinn sendiri lah yang menangani.

Pasangan baru ini tidak menunggu sampai ke rumah untuk memulainya. Bahkan saat berada di dek kapal perjalanan pulang, Kinn dan Porche sudah latih tanding pertarungan jarak pendek yang disaksikan langsung oleh penghuninya. Baik itu anggota keluarga, bodyguard, awak kapal, pelayan, bahkan kelasi yang bertugas di sana-sini.

BRAKH!

PRANG!

Mereka membuat keributan penuh energi. Tiap detik, Porche menendang dan memukul tanpa peduli sekitar, bahkan dia melukai bahu Kinn sungguhan setelah beberapa kali.

"AYO, KINN! BERHENTILAH LEMBEK PADAKU!" bentak Porche dengan senyumnya yang hidup.

Berbeda dengannya, Kinn kentara sekali menahan diri. Dia seperti menekan tenaga, tidak mau melukai tubuh itu lebih banyak setelah yang didapat dari hutan belum sembuh benar. Kinn juga tidak buka baju. Dia hanya menggulung lengan ke siku, lalu meladeni kegarangan Porche yang sudah berapi-api.

"Sekali lagi," kata Kinn. Dia memberikan isyarat hari, kemudian baku hantam lagi dengan Porche.

BRAKH!

Pertarungan yang begitu seru, setidaknya bagi orang yang pernah penasaran bagaimana bila Kinn dan Porche adu kemampuan. Namun, jam biasa jelas beda jauh. Porche tetap jadi dirinya sendiri saat menghadapi Kinn untuk kegiatan rumah.

"Cepat, minum. Ini buatanku sendiri," kata Porche. "Rasanya akan beda kalau lama-lama dibiarkan."

"Hmph, benarkah?" kata Kinn. Lalu menerima gelas itu.

"Tidak bangga aku jadi bartender pribadimu?" tanya Porche.

Kinn justru menoleh ke Nam yang berbaring di sebuah baby stroller yang tak jauh dari mereka. "Aku justru penasaran kau sebenarnya dulu ingin melakukan apa," katanya. "Maksudku, siapa yang percaya jadi bartender adalah impianmu? Kau juga tidak wajib mengurus bocah ini. Jadi, bilang saja andai ingin menyusul kuliah tinggi."

"Apa?"

"What the fuck?!" batin Porche. "Yang benar saja? Aku kuliah? Membayangkan duduk di bangku seleksinya saja perutku mulas."

"Tidak, tidak, trims," kata Porche. Dia sampai mengerutkan hidung karena saking malasnya dengan formalitas. "Walau dulu, ya, sempat ingin. Tapi sekarang aku lebih penasaran bagaimana jika fokus."

"Ke?"

"Bahasa? Aku sebenarnya suka dengan ilmu komunikasi," kata Porche. Dia menyuap makanan dengan semangat dan bercerita seolah Kinn tidak serius mendengarkannya. "Tapi, tidak terbatas Thailand atau Inggris. Mungkin karena lihatnya keren sekali. Kau mengobrol dengan orang Sisilia itu, dan Vegas biasa dinas keluar negeri, belum lagi Kim dan Macau yang mulai kesana-kemari ... intinya begitu. Kau paham pasti."

"Jadi guru les privat saja cukup?"

"Uhuk!" Lupa diri, Porche malah mengambil gelas di tangan Kinn yang tadi dia racik, lalu menenggaknya sendiri. "Kau benar-benar akan mendatangkannya untukku?"

"Kenapa terkejut sekali? Memang kau ingin belajar bahasa apa saja?"

Kuku-kuku Porche pun mengetuk meja karena kegugupannya. "Hmm ... banyak sebenarnya, tapi, yeah ... bagus juga."

"??"

Porche pun bercelutuk ringan. "Mungkin berhubungan dengan negara yang akan kita kunjungi?" katanya, secara otomatis mengingatkan rencana bulan madu mereka yang tertunda. "Paris, Turki, Italia ...." Dia kemudian menoleh kepada si Nam kecil "Apapun lah. Yang pasti ibu susu buat dia lebih krusial daripada guru lesku. Jadi, jangan sampai dia jadi bodoh sepertiku hanya karena tidak cukup ASI."

Kinn mengerutkan kening. "Tapi dia tidak menolak susu yang palsu. Maksudku, formula--"

Plak!

"Hei, Sat! Pernah dengar istilah orangtua durhaka?" kata Porche, dan itu adalab pertama kalinya dia menggampar kepala Kinn sepanjang mereka saling mengenal. "Kau bilang akan menjadikannya Theerapanyakul berikutnya."

Kinn justru tersenyum geli karenanya. "Ya, ya ...." katanya. Yang langsung membuat kening Porche berkerut-kerut.

"Hei, kau sedang menertawakan apa?"

"Tidak, hanya cukup menyenangkan melihatmu mendalami peran ibu," kata Kinn terang-terangan.

"Apa katamu?!"

"Ibunda Porche Pachara Theerapanyakul ...."

"Bangsat ini ...."

Meskipun begitu, Porche tidak protes lebih banyak. Sebab daripada bertengkar, dia lebih berpikir ada bagusnya suasana diantara mereka  mencair seperti dulu.

Cekcok ringan, bercanda, tertawa ... hal yang akan segera dia rindukan apabila Kinn sudah fokus pada dunianya sebagai kepala keluarga.

"Ngomong-ngomong, Kinn," kata Porche.

"Hm?"

"Soal hari pernikahan kita, kudengar ada satu bodyguard yang tidak kembali ke perbatasan," kata Porche lagi. "Aku hanya dengar-dengar, dan namanya Ken kalau tidak salah. Jadi, bisa kau beritahu aku? Bagaimana benarnya peristiwa waktu itu?"

Bersambung ....