BAB 31: AKU PERCAYA PADANYA

Seperti kedipan mata, Porche pergi begitu cepat. Dia memutuskan segalanya sendiri, bertindak tanpa uluran tangan Kinn, dan sang suami justru terlambat menyadari kekosongan dalam dadanya.

Kedua matanya memandang langit malam tanpa kata, suara, atau pemikiran. Dia hanya diam di sana dan mencoba merasakan napasnya sendiri. Hei, apakah sejak tadi dia masih hidup? Kinn rasa, dia sempat kehilangan ruhnya beberapa menit lalu.

"Sepupu," panggil Vegas dari belakang. Lelaki itu berjalan mendekat, tetapi tidak terlalu dekat. Dua sampai tiga langkah, dia bahkan mundur lagi untuk membiarkan Kinn merenung dulu. "Dia pasti terkejut sekali," pikirnya. Lalu mengulurkan sebuah flashdisk begitu Kinn menoleh.

"Ya?"

"Ini, dari Arm," kata Vegas. "Data-data permintaan Porche. Dia ingin kau mengeceknya, karena Porche sekarang mustahil melakukannya."

Kinn sempat tercenung, tetapi kemudian menerima benda mungil itu. "Bagus, terima kasih," katanya. Lalu mengantunginya begitu saja.

"Kau tidak ingin segera melihat-lihat?"

"Belum. Aku lebih memikirkan bagaimana baiknya rencana kita, karena tidak sesuai lagi sekarang," kata Kinn, lalu mendengus dengan senyuman hambar. "Well, yeah? Kau tahu sendiri dia tidak lagi di sini."

"Dan Porche bahkan berpikir aku tak akan melibatkannya."

Vegas menatap kedua mata sang sepupu, kemudian berjalan melewatinya. Dia rasa, pemandangan langit gelap malam bahkan lebih melegakan daripada wajah Kinn sekarang. "Sejujurnya, Sepupu. Meski jarang bergaul, aku bisa menilai Porche tidak terlalu mumpuni," katanya tiba-tiba. Lelaki itu menumpukan kedua lengan di tepi balkon. Santai menatap kota, dan tak takut samasekali mengucapkan pendapat itu. "Dia emosional, impulsif, intuitif, semaunya ... tapi, kurasa dia juga tidak selemah itu."

"Memang siapa yang pernah menganggapnya lemah?" kata Kinn sarkastik. Biasanya mudah, tetapi dada panasnya sekarang sulit sekali dipakai menahan diri. Padahal dia tahu Vegas tidak bermaksud buruk, tetapi kini ... mendengar pendapat apapun tentang Porche membuatnya ingin menyumpah. "Sekali pun aku tidak pernah."

"Aku tahu, sangat tahu, ha ha ...." kata Vegas cepat. Dia memang tertawa, tetapi kedua matanya tidak memperlihatkan emosi. "Tidak perlu menjelaskannya, Kinn."

Biasanya, Kinn akan menanggapi candaan kaku Vegas, tetapi kali ini tidak, sehingga suasana menjadi canggung sekali. "...."

"Jadi, kau akan membiarkannya?" tanya Vegas. "Dia sedang menantang mati sekarang."

"Aku harap aku tak begitu," kata Kinn. "Tapi, menghentikannya juga tidak menyelesaikan masalah."

"...."

"Dan Porche bukan tipe yang mau mengerti jika hanya mendengarkan kata-kata," kata Kinn. Dia lantas menghela napas begitu dalam. "Tapi, apapun itu, aku percaya padanya."

Kening Vegas justru berkerut. "Don't you dare to fools me, Kinn?" katanya tidak terima. (*)

(*) Jangan berani-berani membodohiku oke, Kinn?

Sebab Vegas paling dekat dengan Kinn selama ini. Jadi, meski orang lain tidak tahu, Vegas lah yang paling paham betapa bingung posisi Kinn sekarang.

"Aku hanya merasa bersalah," kata Kinn. "Sebelum kubawa ke keluarga ini, hidup Porche sangat baik-baik saja. Dan kalau diingat-ingat, aku sepertinya belum menberikan apapun."

"...."

Mereka kini saling berpandangan.

"Hari pernikahan pun tidak bagus," kata Kinn. "Dan belum ada seminggu pun dia sudah seperti ini."

"...."

"Mungkin, jika dia mati atau memilih pergi, aku sebaiknya tidak berpasangan lagi karena buruk dalam hal itu."

Vegas hanya terus memandangi ekspresi Kinn tanpa komentar. Sebab sedekat apapun mereka, Kinn bukan tipe saudara yang tenang hanya dengan pelukan atau tepukan bahu. Lebih-lebih kalimat memotivasi. Maka, seperti saat kematian Tawan dulu, dia pun hanya menemani Kinn di tempat itu. Ikut merokok saat Kinn merokok, lalu mereka melanjutkan pembahasan tentang rencana pengganti.

"Kau yakin akan mengundurkan tanggalnya?" tanya Kinn setelah batang rokok ketiganya habis. Dia pun menggilas puntung-puntung pendek dengan sol sepatu.

"Sure, no problem, Man," kata Vegas dengan kekehan kecil. "Pernikahan bisa kapan saja. Tapi untuk saudaraku, memangnya bisa ditunda?"

Sudut bibir Kinn pun tertarik ke atas perlahan. Namun, dia tak pernah mengatakan "terima kasih" kepada Vegas, seperti Vegas tak pernah memberikan penenangan berarti padanya. Mereka hanya saling mengerti, mengisi, dan ada di jadi bagian satu sama lain, meski tanpa adanya romatisasi.

"Tapi, jangan perlihatkan sisi itu pada orang lain." Vegas tiba-tiba menampakkan seringai kecilnya. "Cukup aku dan Porche saja saja, Kinn."

Meskipun tidak menjawab, Kinn menyulutkan batang rokok Vegas ketika sang sepupu mengulurkannya.

***

Sudah dua hari berlalu. Kapal bulker itu mengayun lambat oleh terpaan ombak lautan Mediterania yang malang melintang.

Setiap embusan angin, cahaya, bunyi-bunyian burung, kilatan suar serta aroma asin campur karat laut--semua menjadi teman bagi Porche yang tetap terjaga sepanjang waktu.

Dia duduk di dalam mobil setelah memperlihatkan kekuasaannya, tetap mengawasi awak-awak kapal dehidrasi di sekitar, dan memendam perasaan ingin meminta maaf.

"Istirahat, setiap sejam 20 menit," kata Porche dengan tatapan mata tajamnya. Dia mengarahkan moncong pistol ke setiap orang, dan puas karena mata-mata mereka tampak begitu lega. Seolah-olah duduk sebentar memang hadiah yang diidamkan daripada ancaman mati, dan itu sungguh patut disyukuri.

Walaupun ...

Porche sebenarnya tahu, mereka tidak terlalu takut padanya, melainkan para bodyguard bersenjata yang berjaga di setiap tepian kapal pesiar yang mengikutinya di sisi.

Kanan dan kiri. Kedua kapal gigantis itu menjelma menjadi monster, dan mengawal Porche bagai benteng-benteng perang.

"TUAN PORCHE, TOLONG PIKIRKAN SEKALI LAGI!" teriak Faye tak menyerah. Sebagai bodyguard utama yang bertugas untuk Porche, dia pun menjadi pemimpin pasukan pelindung tersebut. Dan meski harus mengulang-ulang permohonannya, Faye tetap gigih mencoba.

Tak seperti dua hari lalu, kini raut Faye sudah sangat kacau. Rambutnya kering, acak-acakan diterpa angin, dan keringat mengucur deras di kening itu. Namun, selelah apapun dia, Faye tidak pernah meninggalkan Porche beserta mesin tembak serbu yang dijaganya. (*)

(*) Mesin tembak kelas berat. Sanggup menembakkan 1000-6000 peluru per menit, dan hanya diperuntukkan untuk orang-orang terlatih. (A/N: karena jenisnya banyak, enggak aku sebutkan detail di sini).

"...."

Namun, Porche juga tidak goyah sedikit pun. Dia hanya diam memandang Faye, atau siapapun yang di bawah komandonya, dan kemudian kembali duduk di dalam mobil.

Jujur saja, Porche muak. Sebab Faye berada di pihak Kinn, tak peduli bagaimana jasanya membantu mengendalikan awak-awak kapal ini.

Bagaimana tidak?

Memang siapa yang mau ditembak dari kejauhan bila tidak menurutinya?

Porche bahkan tak menyangka ada beberapa snipper juga yang berjaga diantara mereka. "Aku tak akan ikut kalian. Sudi siapa?" batinnya. "Percintaan manusia takkan membuat adikku sembuh dalam hitungan menit. Dan aku harus memberikan pelajaran untuk orang itu--"

Anehnya, semakin Porche memberontak, semakin hatinya pun merasa hambar. Dia tidak merasa di tempat yang tepat, tidak merasa jalan di jalur yang benar, dan tidak merasa hebat. Justru raut wajah cemas Kinn lah yang terus membayangi isi pikirannya.

Bagaimana kedua mata itu menatapnya tanpa perlawanan, ingin menghajarnya tapi tidak dilakukan, dan kedua tangan kokoh yang seolah lumpuh menghadapinya.

"Porche ... Porche ...."

Ah, shit. Porche takkan pernah lupa cara Kinn memanggil namanya saja, tetapi lelaki itu tidak mendapatkannya kembali.

"Porche, tolong ... Porche."

Bahkan sentuhan jemari gemetarnya siang itu--demi apapun Porche kesulitan bernapas hanya karena diserbu memori-memori di sana.

Sedikit banyak, Porche pun merasa ditertawakan oleh dek yang sepi sekalipun. Sebab di sana, dia menyendiri. Mencoba kabur dari siapapun di dalam kapal, tetapi tetap tidak mendapatkan ketenangan yang diinginkan.

"Aku sendiri benci melakukan ini, Kinn," batin Porche tanpa sadar. "Tapi lebih baik aku mati daripada berdiam diri melihat segalanya terjadi."

"STIAMO ARRIVANDO IN SICILIAAAAAAAAAAAAAA!!" (*)

(*) "Kita sampai di Sisiliaaaaaaaaa!"

Diikuti auman kapal yang panjang, teriakan seorang kelasi pun menyadarkan Porche dari segara keributan isi pikirannya. Dia refleks membuka mata. Siap siaga dengan senjata, keluar, dan meninggalkan dua kapal pesiar yang membutuhkan waktu lebih lama untuk proses penjangkaran.

BRRRRRRRRRMMMMMM!!

BRAKH!

"TUAN PORCHE! KUMOHON! TUAN PORCHE!" teriak Faye dari buritan.

"Persetan dengan kalian," batin Porche. Meski tak tahu arah, dia tetap menginjak gas mobilnya sekuat mungkin untuk melintasi jalanan Porto Empedode itu.

Ahhh ... mengikuti nalurinya tak pernah segila ini.

Bersambung ....

So, beda dengan versi series. Kedekatan Vegas dan Kinn justru seperti saudara kandung di sini.

Tidak ada drama kekerabatan yang toxic. Melainkan melawannya gangster mafia negara lain.

Platonik banget, kan? (Untuk yang belum paham hubungan platonik itu apa, bisa cek di bawah ini).