Kecanggungan.
Satu kata itu nyaris tak ada dalam kamus hubungan Kinn dan Porsche. Namun, saat Kinn meminta seks setelah mereka bertengkar hebat, kini jadi sungguhan terasa.
Rasanya asing.
Rasanya aneh.
Porche mendadak jadi mesin macet, meski mereka sudah berhadapan dekat. Apa mungkin ini disebabkan dia baru sembuh? Jika iya agak tidak masuk akal.
"Ahh ... nngghh ...." desah Porche seperti bisikan.
Porche juga merasakan pipinya memanas tiap kali Kinn menutup jarak. Dia hanya memeluk leher Kinn saat diciumi, tapi tidak sanggup balas meraba-raba.
"Nnh ... nnh ..."
Semenit, dua menit ... awal foreplay Porche dibuat mabuk oleh aroma maskulin dari tubuh Kinn. Dia sendiri agak bingung, tetapi lubuk hati mengakui Kinn sangat seksi lebih dari biasanya.
Hal itu membuat Porche terhanyut dalam lumatan-lumatan bibir sang mafia. Decapan lidahnya menjadi riuh ... bahkan kakinya yang melingkar di pinggang Kinn jadi gemetar meski hanya merasakan remasan di bokong.
"Hei, Porche? Hari ini kau sensitif sekali," komentar Kinn saat merasakan jasnya basah tiba-tiba.
Lelaki itu sampai menyudahi ciumannya, lalu menatap penis keras Porche yang telah melelehkan buih kental sperma pre klimaks.
"Memang apa masalahnya? Kau sendiri yang menyentuhku, kan? Kenapa sekarang malah jadi bingung?" kata Porche yang sudah telanjang di pangkuan Kinn. Demi menutupi malu, dia pun menjambak kerah sang suami agar mata itu beralih fokus dari penisnya.
Dasar tidak tahu malu! Mesum! Buat apa menatapnya begitu HAH?!
"Oh ...." Tadinya, Kinn mungkin ingin mengatakan sesuatu. Namun, melihat wajah terbakar Porche yang tidak biasa, seringai kecilnya justru keluar. "Tidak, tidak. Jangan pikirkan hal itu," katanya sembari mengambil dagu Porche perlahan. "Kau malah terlihat lebih cantik daripada biasanya, huh? Padahal belum pernah begini--"
"BERISIK!" Kali ini jambakan Porche sanggup merontokkan kancing-kancing baju Kinn. Dia mendesis marah seperti kucing, tetapi Kinn malah merasa itu erotis. "Kalau sentuh, sentuh saja, oke?! Aku tidak butuh komentarmu!"
"Ha ha ha ...." tawa Kinn tak tahan. Setelah menjilat bibir, lelaki itu pun menghirupi aroma Porche dari mulai ujung rambut hingga dadanya. Dia membuat Porche memaki karena proses perenggangan tiba-tiba, tetapi tak berhenti memanjakan liang rapatnya di bawah sana.
"Ughh ... fuck ... ahhhh ...." rintih Porche dengan leher yang mendongak. Dia memejamkan mata, mendesis, dan telapak tangannya jadi basah barang hanya dipakai pegangan. "Mnhh ... Kinn, jangan gigit! Badanku masih sakit semua--AKH!"
Semakin tinggi suara lelaki itu, Kinn pun makin bersemangat juga. Dia menguleni puting keras Porche dengan gigitan-gigitan gemas, tetapi tak melepaskannya begitu lama hingga Porche menjambaki Kinn tanda dia diserbu nikmat.
"Enak, benar?" kata Kinn dengan seringai semakin lebar. Dia meniti otot perut Porche yang begitu liat, membuatnya berjengit keram, lalu mendorongnya rebah untuk memberikan servis mulut.
Brakh!
"Tahan posisimu. Diam di sana."
Begitu kakinya dibuka lebar, kedua mata bagus Porche pun berkerlap. Dia langsung mencakari bahu Kinn saat penisnya dikulum. Dan jas sang suami sampai berantakan karena Porche menendanginya.
"Arrhhh ... ahhh ... Kinn! Ahh ...."
Makin lama, gerakan mulut Kinn pun semakin cepat. Panas napas lelaki itu ikut menyebar di pahanya, tetapi Porche tidak dilepaskan meski dia sempat menitikkan air mata.
Sumpah! Demi tuhan! Aku ingin keluar, Kinn! LEPAS!!
"AHHHHHHHHHHHHHH!!" teriak Porche saat dia klimaks di dalam sana. Bukannya kewalahan, Kinn justru menatap ekspresi nikmat Porche sembari menghisap habis cairan yang terpancar keluar.
Lelaki itu tidak sungkan meneguknya hingga habis. Seolah-olah itu bukan benih, melainkan segala cinta Porche yang akan dia telan seluruhnya.
"Hhahh ... hah ... hahh ... hahh ...."
Sembari mengatur napas, Porche pun saling bertatapan dengan suaminya. Seperti yang diduga, Kinn tertawa-tawa puas. Lelaki itu kini bahkan langsung menerobos lubangnya dengan penis, dan tidak menunggu hasratnya habis.
PLAKH!
"AHH!"
Porche tanpa sadar menelan ludah. Dia merasa sungguh-sungguh mendidih, hingga rasanya bisa meledak bila tidak mengocok penisnya sendiri meski sudah ditusuk-tusuk Kinn di dalamnya.
"Ahhh ... ahhhnnhh ... Kinn! Cepat--ahh!"
Meski biasanya menatap Kinn dengan berani, Porche justru menutup matanya dengan lengan kali ini. Namun, karena tak ingin hubungan mereka berjarak, Kinn pun menyingkirkannya paksa.
PAKH!
"Kinn!"
"Kau benar-benar seksi sekali," puji Kinn, lalu mengecup bibir lembut Porche yang sedikit bengkak berkali-kali. Bagian itu sangat hangat, agak bengkak, tetapi Porche tidak mengeluh samasekali. Dia justru melahap bibir Kinn balik. Rakus!
Porche juga menahan pelukannya pada leher Kinn agar tidak kemana-mana dan ciuman mereka makin lama.
Dari sore, matahari perlahan jadi menghilang. Porche agak takjub dengan sunset yang tenggelam gelap, bahkan kini berganti bulan saat Kinn membalik tubuhnya untuk ronde kedua.
Kinn menggilas cepat bulu-bulu kuduk di punggungnya. Dia memasukkan jari ke dalam mulut Porche, lalu mengaduk-aduk sesuka hati.
"Akhh, ahkk! Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Porche pun terbatuk-batuk karena tak tahan lagi. Dia meremas seprai untuk melampiaskan sakitnya, tetapi penis Kinn justru makin membesar.
Baik, sekarang benda itu mungkin baru menggesek bokongnya, tapi saat Porche sudah bisa mengatur napas, Kinn pun mendorong kembali masuk, lalu membuatnya menelan penuh benda keras tersebut.
"Demi apapun ini indah sekali," celutuk Kinn sebelum mengigit gemas daun telinga Porche. Tatapan laparnya meliar, dan dia seperti tidak kehilangan tenaga bahkan hingga memasuki ronde ketiga.
Kinn pikir, saat Porche memutuskan untuk pergi, dia takkan diperbolehkan menyentuh tubuh ini kembali.
Setidaknya dalam waktu lama. Untung saja tidak. Kinn pasti bisa gila kalau Porche hilang darinya seminggu lebih--
"Porche?"
DEG
Tiba-tiba Porche tidak menjawab samasekali. Kinn kira, lelaki itu pingsan seperti dulu waktu punya luka dalam. Ternyata tidak. Porche hanya tampak merenung. Diam dengan mata berkedip, lalu meliriknya dengan netra yang begitu teduh.
Kinn sampai berdebar hebat melihatnya, dan itu sungguh bahaya!
"Kenapa malah berhenti?" tanya Porche dengan suara berubah serak. "Kupikir kau samasekali belum tenang di bawah."
Kinn pun membalik tubuh Porche kembali untuk melihat ekspresinya lebih jelas. "Tunggu, tidak. Kau sedang memikirkan sesuatu?" Dia bahkan nyaris keluar dari tubuh Porche, tapi tidak lagi karena lelaki itu menahan pinggangnya dengan kaki.
"Ya." Porche memalingkan muka. "Tapi kau tak perlu memedulikannya."
"Mana ada yang seperti itu," kata Kinn. "Berbaikan ya berbaikan. Jangan membuatku jengkel lagi atau malam ini tidak akan selesai!"
Ajaibnya, Kinn menemukan rona merah yang jelas di pipi Porche kali ini. Seriusan ada apa sebenarnya?
"Kemari," kata Porche tiba-tiba. Lelaki itu meraih kedua sisi pipinya, tersenyum bimbang tapi tetap manis, lalu mengecup kening Kinn perlahan. "Aku cuma mau bilang ...."
Bibir Porche bergerak-gerak di telinga Kinn yang merah. Meskipun begitu, aneh. Tidak ada kata yang keluar, sehingga Kinn pun jengkel dan mendorong Porche hingga terjembab lagi ke kasur. Blukh!
"Ulangi yang kau katakan tadi?!"
"Tidak."
"Porche!"
Karena Kinn merasa barusan begitu penting, tetapi dia malah melewatkannya. Tidak! Jangan! Kinn bahkan rela menunggu dengan kedua mata cemasnya agar Porche mau buka mulut lagi.
"Ha ha ha, kenapa wajahmu begitu?" tawa Porche tiba-tiba. Dan itu adalah pertama kalinya suasana diantara mereka mencair setelah saling sentuh sejak sore tadi. "Aku cuma bilang kalau aku juga mencintaimu, Kinn. Dan kau aneh. Kenapa masih bisa betah menghadapiku yang belum pernah mengatakannya sampai sekarang?"
DEG
Hah? Apa itu sungguh-sungguh benar?
Kinn bahkan tidak pernah menyadarinya.
"Tunggu, tunggu, tunggu ... Porche? Bisa ulangi lagi yang tadi, Porche?" pinta Kinn.
Terlalu malu, Porche pun melempar muka Kinn dengan bantal terdekat di sana.
Blukh!
"ENYAH KAU!" bentak Porche kesal. Wajahnya merah sekali, dan Kinn takkan melewatkan sejengkal pun ekspresi itu untuk dia simpan dalam hati paling rahasia.
"Tidak! Memangnya kau pikir aku akan membiarkannya?" balas Kinn. Dengan dada yang mendidih, dia pun memandangi raut salah tingkah Porche sebelum menghajar lubangnya beberapa ronde lagi malam itu.
"Bersiap-siap saja, Porche! Aku takkan mengampunimu!"
Bersambung ....