BAB 55

Venezia, Italia.

Saat mengedarkan pandangan pertama kali, Porche agak tak menyangka bisa melihat tempat ini sekarang. Sebab satu hari sebelum menikah, dia hanya membolak-balik majalah, lalu menunjuk hasil gambar fotografinya.

"Kenapa? Ingin pergi ke sana juga?" tanya Kinn yang mendadak memeluknya dari belakang. Kehadirannya agak mengganggu Porche, tetapi dia tidak memprotes. Hmm ... tak apalah gerah sedikit. Kalau Kinn sudah tak menempel, Porche pasti langsung pergi mandi untuk menyegarkan diri.

"Hmm, bagus," kata Porche sembari membolak-balik halamannya lagi. "Aku ingin naik gondola-nya. Karena di sini bilang, Venice memang terkenal dengan wisata di atas air."

"Yeah, sangat. Coba kau lihat judulnya," kata Kinn kemudian menuntun jari Porche untuk meraba bagian yang dia inginkan. Padahal, percayalah. Tanpa bertingkah begitu, Porche pasti tetap paham larik pembukanya ada di sana. "Mereka menyebutnya "City of Canals", atau "The Floating City", dan masih banyak lainnya."

Porche pun menoleh kepada Kinn. "Jadi, kita benar-benar akan ke sana?" tanyanya.

"Tentu," kata Kinn dengan senyuman. "Ayo pilih tempat lain lagi. Kau bilang ingin ke semua benua. Ha ha ha ...."

Namun kota ini terlalu indah. Jadi, Porche betah lama-lama menontoni Venice, sebelum membalik ke bagian rekomendasi bulan madu yang lain.

"Memang benar-benar cantik," gumam Porche. Tapi kemudian dia tersenyum jahil. "Tapi, kalau kita sungguhan ke sana. Aku ingin sekali menceburkanmu ke sungai."

"Hei ...." protes Kinn refleks.

"Kenapa? Kau harus coba airnya. Berenang baik untuk kesehatan, Kinn."

"Oh, ya?" Kinn justru meremas pinggulnya waktu itu. "Tapi aku punya ide olahraga lain di atas gondola-nya, hm?"

Dan, ya ... begitulah. Bukan Kinn bila tidak mesum. Porche sudah terbiasa dengan kelakuan lelaki itu, bahkan mereka sempat make out sebentar di atas sofa setelahnya.

"Ha ha ha ... dan sekarang aku di sini sendiri," tawa Porche sembari menggelengkan kepala. Dia tak habis pikir. Kemudian menoleh ke gedung tempat dirinya diberhentikan untuk harus turun.

Gedung itu amat sangat mewah. Bukan penjara kotor untuk pengasingan, atau gedung rusak yang membuatmu merasa terancam.

Porche bukannya merasa akan dikuliti di sana, melainkan malah membayangkan akan disambut para pelayan berlesung pipit.

Dan benar saja, para pelayan di sana berjejer di depan pintu. Juga ada bodyguard-bodyguard tampan. Mereka semua berseragam, dan menyambutnya bagaikan raja.

"Selamat datang, Tuan Porche Pacchara Kittisawasd."

Aneh ... memang. Namun, Porche tahu konsepnya tak jauh berbeda. Seperti wanita cantik yang bisa jadi penguras dompet terbaik, maka gedung indah pun bisa jadi tempat pembantaian paling epik. Maka dari itu, meski Porche memang masuk, dia tidak serta merta langsung lengah penjagaan. Melainkan sebaliknya.

Porche melangkah nyaris tanpa suara. Dia mengedarkan mata ke segala arah. Menyadari semua pegawai di tempat itu nyaris seperti boneka.

Maksud Porche, tidak ada yang berkeliaran. Tubuh boleh manusia sempurna seperti "Pete 02" yang terbunuh di pojokan truck, tetapi mereka samasekali tak bergerak dari tempat masing-masing.

Oh, ralat. Sesekali mata mereka bergulir. Mata-mata itu seperti kamera, yang melaporkan setiap gerak-geriknya yang melangkah kesana kemari.

"Ah, jangan bicara pada mereka," batin Porche mengingatkan diri sendiri. "Pasti mereka manusia tidak beres seperti yang melepas topeng waktu itu ...."

Namun, sebenarnya yang membuat Porche bingung bukan itu. Sebab baginya rumah mewah itu biasa. Toh kediaman Theerapanyakul juga memiliki interior elegan versinya sendiri. Melainkan mengapa di dalam rumah ada "Tempat pernikahan"? Maksud Porche, memang dirancang seolah untuk resepsi!!

Naik ke atas tangga, karpet mewah membentang begitu megah. Aromanya wangi bunga mawar, dan Porche bisa lihat ada tulisan yang terukir di setiap pegangan tangganya.

[Il mio cuore è uno]

[My heart is one]

"Jantung hatiku satu."

Kemudian di bawahnya lagi ada tulisan yang lain.

[Il tuo sorriso è vita. La tua vita è un sorriso.]

Sayang tidak ada ukiran versi Inggrisnya. Porche jadi tidak tahu apa makna dari dua kalimat tersebut. Dan dia hanya melewatinya.

Sampai di lantai dua, Porche disambut gerbang masuk yang teramat glamour. Hanya dirinya yang berjalan-jalan di sana, lalu melihat pantulan wajahnya ada di setiap benda.

Di dinding. Di lantai. Di langit-langit. Bahkan di setiap sendok dan piring yang tertata rapi pada meja-meja calon tamu.

"Aku yakin tidak diturunkan pada tempat yang salah," gumam Porche. Sebab pelayan di depan sungguh-sungguh menyambutnya, bahkan dengan nama lengkap. Jadi, sebenarnya semua ini untuk apa?

Seseorang ingin menikah dengannya juga? Di sini?

Gila!

Sudah cukup Porche kerepotan dengan suami seposesif Kinn, juga wanita seobsesif Laura.

Jangan lagi, oke? Aku tidak mau orang lain ikut-ikutan jadi gila--

"Sebentar ...." kata Porche. Lelaki itu nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat, sebab memang ada fotonya yang tergantung tidak jauh dari sana.

Hanya dirinya yang dipajang, padahal Porche tahu itu merupakan couple-shoot.

"Seseorang memotong bagian Kinn dari sebelahku?" bingung Porche. Lalu mendekati figura sebesar dinding tersebut.

Porche sungguh-sungguh ingat, foto ini adalah hasil jepretan Tay yang dikonsep dengan sangat ribut. Tay sendiri yang yang memilih tempat untuk mereka, bajunya, temanya, dan bagaimana cara mereka berpose ....

Tidak hanya itu, ternyata setelah Porche menoleh ke kanan, ada lebih banyak pajangan yang tergantung.

Foto tadi juga, sebenarnya. Tapi versi close-up. Sehingga siapapun yang melihat foto-foto ini, pasti bisa langsung tahu seberapa detail keindahan yang dimilikinya.

Lagi-lagi ada tulisan yang sama di bawah setiap figura, meski Porche tidak bisa memahaminya.

[Il tuo sorriso è vita. La tua vita è un sorriso.]

Shit!

Porche jadi menyesali, kenapa dia tidak dapat guru les bahasa dulu sebelum terjun ke masalah ini. Kenapa "si Tuan" ini tidak menunggunya jadi ahli? Dia bahkan tidak bawa ponsel untuk menilik go*gle translate sebentar ....

"Il tuo sorriso è vita. La tua vita è un sorriso ...." kata seorang lelaki dari belakang. Suaranya begitu jauh. Menggaung dari balik pancang-pancang interior, tapi berat dan seperti disaring mesin.

DEG

"SIAPA?!"

Porche refleks berbalik ke belakang. Namun, meski sudah mengarahkan senjata ke sekeliling, lelaki itu tetap tidak ada dimana pun.

"JANGAN BERSEMBUNYI, BRENGSEK!! KELUAR!!" bentak Porche tidak sabaran.

Suara lelaki itu justru tertawa. "... jika kau belum tahu artinya, maka "Senyummu adalah hidup. Dan hidupmu adalah senyum," katanya. "Indah sekali, bukan? Diam-diam kau pasti sempat mengagumi diri sendiri barusan."

"KUBILANG KELUAR!" teriak Porche. Suara mereka berdua menggaung di tempat itu bergantian. "BERHENTILAH MEMBUAT KEKACAUAN DAN HADAPI AKU SEKARANG!"

Lagi-lagi lelaki itu tertawa senang. Dia seperti baru mendapatkan mangsa, dan Porche siap dilahapnya kapan pun. "Buruan yang sangat menarik ...." pujinya terdengar tulus. "Sayang ... hmm ....." Suaranya mulai berubah jengkel sekarang. "... jika aku ingin kau berhenti tersenyum, bukankah aku harus membuatmu mati?"

DEG

"Apa?"

"Dan jika hidupmu adalah sumber senyumnya, bukankah aku harus membuatmu mati juga?"

"...."

Porche pun terbisu seketika.

"Hasilnya memang sama saja, ya," kekeh suara itu menyebalkan. "Intinya kau harus mati, tapi tidak seru kalau kubunuh begitu saja ...."

"...."

"Kau setuju denganku kan, hm? Pertunjukan megah itu harus menghadirkan penonton." Kali ini ada tepuk tangan beberapa kali. ".... hhmmh ... itulah kenapa si pria kekar tidak boleh meninju jantungmu terlalu keras."

DEG

Refleks, Porche pun meraba dadanya. Padahal dia yakin pertarungannya dengan pria bawah tanah waktu itu hanya insiden, tapi--

"Oh, tapi aku ingat kali ini bukan suamimu saja yang tergila-gila," kata lelaki itu mendadak. "Hmmm ... walau Laura ini agak lain. Bisa-bisanya dia begitu, meski baru mengenalmu? Aku jadi kasihan karena harus kubunuh di laboratorium sendirian--"

"APA?!"

"Oh ... jadi kau peduli padanya?"

"KEPARAT GILA, APA YANG KAU LAKUKAN SEKARANG?!"

KACRAK!

Porche pun menodongkan senjata ke arah yang paling dia yakini.

KACRAK! KACRAK! KACRAK! KACRAK!

Sayangnya, setelah itu juga ada puluhan bodyguard yang muncul dari balik tiang. Mereka menggunakan seragam lengkap hitam putih. Membawa senjata laras panjang masing-masing. Lalu mengepung Porche yang di tengah tanpa ampun.

"Tunggu, jangan tembak sampai aku beri kalian aba-aba," kata lelaki yang masih tidak menampakkan batang hidungnya itu. Dia lalu mengaktifkan entah apa hingga ada bunyi "Klik!", kemudian tampaklah layar virtual melayang di atas kepala Porche.

KACRAK!!

"Jangan bergerak ...."

Baru saja video yang terpampang di sana diputar, Porche langsung diperlihatkan saat-saat Laura ditodong senjata dari belakang.

Bersambung ....

[Il tuo sorriso è vita. La tua vita è un sorriso]

[Senyummu adalah hidup. Dan hidupmu adalah senyum]

____________

"Jika aku ingin kau berhenti tersenyum, maka kau harus mati."

_____

__

_