BAB 68

Review Tercakep Chapter Sebelumnya:

Sama, aku juga 😚 #Canda

Mari haluin aja 🤣 ini cuma FF.

Kim bucin Tawan doang kok. #Uhuy

Kasian Tawan sih saya 😌 Dia juga kagak salah pas dihajar sampe mati #Plak

Tremor kagak, tapi nangis iya 🗿 Kalau adegan sedih, nulis 1 bab doang bisa nangis 5 kali. Itulah saya.

______________________________________

⚠️ WARNING ⚠️

CHAPTER INI MENUNJUKKAN AKTIVITAS SEKSUAL NON - KONTEKSTUAL YANG OBSESIF 🔞 SILAHKAN MUNDUR JIKA MERASA TIDAK NYAMAN DAN BIJAKLAH MEMILIH BACAAN

___________________________

"Namamu Porche Pacchara, milikku. Dan bila kau belum tahu, pada hari aku menemukanmu, ketahuilah ... aku sedang menjadi versi terbaik dari diriku. Jadi, boleh aku dimaafkan karena kau terluka oleh diriku yang sebelumnya?"

[Kinn Anakinn Theerapanyakul]

Begitu Ken tenggelam pergi, Kim tidak memisahkan bibirnya dari tangan Porche Pacchara. Dia sakit mendengar napas Porche yang kembang kempis semakin pendek. Padahal ingin Kinn sebenarnya mengamuk, tapi dia tidak tahu harus apa selain tinggal di sisi lelaki itu. Mungkin, Porche ada tapi akan segera hilang. Mungkin, suhu Porche yang makin dingin juga menunjukkan salam terakhir kebersamaan mereka.

"Aku mencintaimu, Porche ...." desah Kinn. Namun, Porche tak menyahut dan hanya terpejam pedih. Kinn yakin lelaki itu tidak kehilangan kesadarannya. Namun, diantara semua sakit yang Porche rasakan, dia juga tidak kuat membuka mata. "Aku minta maaf karena kau yang justru menanggung segalnya untukku."

Tanpa peduli anyir yang kuat, Kinn mengisap darah yang terus mengucur di tangan itu. Lidahnya menjilat bersih. Dan dia menelusurkan tiap kelembutan di sela-sela jemari Porche.

Jujur, Kinn rindu. Dia mulai egois dan membayangkan hal imajinatif hanya karena tak ada cincin pernikahan mereka di sana.

Kenapa harus ada di jari Laura? Kenapa Porche memberikannya? Apakah lelaki itu sudah memenggal hatinya menjadi dua? Atau justru sudah berubah total? Untuk beberapa alasan naif, Kinn dipenuhi perasaan tak masuk akal selama dia menjilat semakin naik.

Dia tak pernah merasakan perih seperti ini sejak kematian Tawan. Dia juga tak mau benar-benar merasakan kehilangan lagi, tapi Kim tak sepenuhnya salah.

Semua itu dimulai dari dirinya. Yang dulu tak percaya usaha diam-diam Tawan mengambilkan data keluarganya kembali. Justru menganggapnya salah satu Nosa Corta, kemudian membantainya di sebelah kolam renang.

"Kinn! Tolong percayalah padaku, kumohon!"

"Persetan dengan semua ini!"

BUAGGHHH!!

Oh ... mayat lelaki itu juga sempat tercebur ke dalam air setelah tubuhnya tumbang, padahal sang kekasih mungkin hanya ingin menunjukkan bahwa dia bisa membantu juga--hal yang baru Kinn sadari setelah Tawan pergi. Kini, Kim memberitahunya dengan cara yang sangat jelas hingga dirinya paham sekali ...

.... mengapa sang adik tak sanggup mengontrol dirinya sendiri. Mungkin, waktu itu perasaan seperti inilah yang Kim rasakan, tetapi tak ada seorang pun yang melihat kesedihannya.

"Bukankah kematian Tawan 8 tahun lalu?" Kinn baru menyadari ada yang tidak beres dengan semua kejadian ini.

"Aku janji takkan melakukannya lagi, Porche ...." gumam Kinn. Dengan mata yang masih basah, dia menatap wajah Porche yang tersayat pada bagian sisi kirinya. "Aku juga takkan mencari lelaki lain. Aku tidak akan membiarkan siapapun menggantikanmu begitu saja. Tapi, tolong ... kalau masih bisa kembali. Kemarilah .... apa kau tak ingin melihatku lagi?"

Seolah memahaminya, Porche balas menggenggam lemah jemari sang suami. Ujung telunjuknya bergerak-gerak, samar. Namun, napasnya semakin berat. Kinn ....

Kinn memejamkan matanya begitu erat. "Aku bahkan belum membawamu ke mana pun, ha ha ha," kata dengan tawa yang sulit. "Kau bilang ingin ke seluruh benua? Jalan-jalan ... dengan Namsie, mungkin? Aku justru membuatmu seperti ini."

"...."

"Aku tahu ... kau ingin ke Keukenhof untuk melihat bunga," kata Kinn. Dia ingat, meski sambil memeriksa dokumen bisnis, sesekali matanya melirik Porche yang asyik menyusun klip-klip foto yang akan mereka datangi setelah menikah. "Atau pesta kembang api di Yokohama. Dan istana khas Louvre di Chambord--bisa kau datang ke sana bersamaku dulu? Aku janji tidak akan memusuhi Namsie lagi."

Kinn ....

"Aku janji akan menyapanya di lain hari, Porche," kata Kinn. Kini, lelaki itu berbaring di sisi Porche dan memeluk sayang meski mereka terpisah jeruji besi. "Aku akan jadi ayah baik untuknya--jadi kau ... kau dilarang meninggalkan kami berdua seperti ini."

Meski suhu tubuh Porche makin membeku, Kinn tetap mengeratkan pelukannya sebisa mungkin.

"Apa kau tak ingin melihat dia merangkak? Berdiri? Jadi satu-satunya malaikat cantik diantara keluarga besar kita?"

Kinn ....

"Kau tidak kuizinkan membawanya pulang hanya untuk pergi, oke?" Kinn meremas baju Porche yang sudah terkoyak pisau. "Jangan buat aku bingung karena tak bisa menyusuinya--"

Kali ini, napas Porche benar-benar sudah berhenti. Sehingga waktu pun berhenti untuk Kinn Anakinn.

"Porche?"

Kinn pun menilik wajah Porche yang makin pucat.

_______

"Orang ini, punyamu ... kau bisa membuatnya tetap hidup hanya dengan beberapa jahitan. Tapi aku? HA HA HA HA HA HA HA!! Mau berapa tahun pun berusaha, aku tetap kehilangannya hingga hari ini ...."

"...."

"... padahal, kalau pun dia mau berteriak seperti ini, di depanku, aku bisa dengarkan segalanya jika dia mau. Tapi, kenapa dia harus terjebak dengan orang brengsek sepertimu. Ha ha ha ha ha ...."

______

"Oke, Porche ... jangan bercanda denganku lagi, Porrcheee?!" Kinn pun terus mengguncang tubuh diam itu.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Nyawa Kinn serasa ikut menguap bersama lelaki tercintanya. Dia syok. Dia langsung bangun untuk mengecek nadi Porche secara langsung, tetapi tak ada tanda detakan samasekali.

Deg ... deg ... deg ....

Deg ... deg ... deg ...

Seketika, ruangan itu sunyi oleh detak jantung Kinn yang berbunyi seorang diri.

_______

Tidakkah kau merasakan apa yang kurasakan, Kinn?

Tidakkah kau tahu sesenyap itu duniaku sejak dia pergi ....

______

Entah sebenarnya itu suara hatinya sendiri, atau memang Kim sedang berkata begitu di luar sana ... yang pasti, Kinn benar-benar mati rasa membayangkan senyum Porche yang tak lagi ada.

Bagaimana cara lelaki itu tersenyum, menatapnya dengan mata cantik yang jernih, lalu menggodanya dengan tingkah yang menggemaskan.

________

"HEI!"

"Oh, cepatlah ... AYO! AYOOOO!! KINN!"

"Tunggu, Porcheee--"

"KIIINNN! TADAAAAAAAAAH!"

"...."

"Bagaimana? Cantik tidak? HA HA HA! Aku mendadak ingin pakai wig-wig kece di toko ini! Buat seru-seruan saja, oke? Aku masih mau coba yang lain!"

"Ck ... Oi, Porche!"

________

Begitu memori-memori manis itu melintas, Kinn pun kehilangan akal sehatnya seketika.

"HAAAAAARRRRHHHHHHHHH!! teriak Kinn sambil menggampari jeruji besi.

BRAKHHH!

"PORCHEEEEEE!!"

BRAKHH! BRAKH!! BRAKHH!!

"PORCHEEEE!! BRENGSEK, BANGUN!!"

BRAKH!! BRAKH!! BRAKHH!!

"PORCHEE!! KAU TIDAK BISA BEGINI PADAKU!! PORCHE! SUMPAH AKU SENDIRI YANG AKAN MEMBUNUHNYA PORCHEEEEE!!!"

.....

...

..

"Hahhh ... hahh ... hahh ...." Begitu napas relung paru Kinn habis, darah tinjunya pun mengalir bersamaan dengan air matanya ke lantai.

Menjelma menjadi hujan.

Menetes-netes.

Deras ....

..

..

... hingga terdengar suara batuk---

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

DEG

"Porche?!"

Kepalan Porche tiba-tiba meninju besi hingga meleyot---

BRAKH!!!

"Bedebah, Kinn ... BERISIK!" desis Porche dengan kening yang mengerut-ngerut. "Aku ini lapar sekali ... arrhh! AKU SANGAT-SANGAT INGIN ES KRIM!! Tapi kau malah membuatku stress kalau terus-terusan ceramah seperti tadi!"

DEG

Kini, mereka menoleh dan saling memandang dekat. Dari mata ke mata. Bibir ke bibir. Lalu saling terdiam tidak percaya.

"Porche?"

Bukan Kinn, melainkan Porche yang pertama kali meraih wajah suaminya dengan suhu jemari kembali hangat. "Hm, aku ...." katanya. Tapi kemudian gamparannya juga terdengar nyaring. PLAKH! "Awas saja, ya ... barusan otakku sudah merekam semua omongan besarmu itu!" Dia tampak begitu sebal. "Jalan-jalan, jadi ayah yang baik, dan tak akan ada lelaki lain ..."

Masih syok, Kinn sampai tak bisa berkata-kata lagi sekarang. ".... apa?"

PLAKH!

Gamparan kedua ikut menyusul. "Kalau sampai kau ingkar tiga-tiganya

... mau kuapakan kau, hah?!" ancam Porche. "Kukebiri pistol besarmu itu?"

Kinn pun baru menyadari Porche bisa duduk, bahkan luka-lukanya kini mulai menutup perlahan-lahan--SINTING! Sebenernya apa yang sedang terjadi di depan matanya?!

"Lagipula, kenapa seperti bayi? Menangis sampai tidak bisa lihat apa-apa!" omel Porche seperti istri-istri rumahan yang suka berdaster. "Aku ini bernapas! Bernapas! Utuh dan nyaris jengkel ingin mencekikmu--"

GREP! BRAKH!

"DIAM!"

"Ummhh!!"

Kinn tak bisa kendalikan dirinya lagi. Dia menarik tengkuk Porche hingga wajah mereka saling membentur ke jeruji besi. Persetan! Kinn tetap ingin menyatukan bibir mereka yang sama-sama berdarah ...

"Sshhh .... ahhh! Kinn--"

"KUBILANG DIAM, PORCHE!"

"AKU INI SEDANG KESAL SEKALI! TAHU TIDAK?!" batin Kinn yang meraung-raung. Sambil melumat bulat-bulat bibir Porche, Kinn jadi membenci dirinya sendiri.

"Umnhhh ... ugh ... mnnh!"

Mengapa bisa sesakit ini? Porche bahkan langsung kembali. Kinn seperti ... seperti baru dipermainkan oleh sesuatu!! SIAL!

"Ssssssh ... hmmm ...."

Bunyi decapan lidah mereka begitu riuh. Saling bersahut-sahutan dalam ruang berlorong menggema. Dan keduanya tidak sadar keanehan lain karena bisa berpeluk.

"Aku benar-benar merindukanmu, Porche."

"Hmm ...."

.... yaitu jeruji besi yang begitu mudah diremas, hingga Kinn bisa mendekap Porce makin erat pada dadanya.

Bersambung ...