HOT REVIEW 🔥

😻😻 Uwu makasiiih. Walau aku heran banget 👀 ternyata banyak ya yang udah 10 tahunan baca Wattpad 👏 Soalnya ini enggak pertama kali saya baca komen reader yang ngaku begitu. Kalian keren. Aku aja yang ketinggalan zaman ya berarti 😭

Setelah sang klona menggantikan ke konser privat, Kim menggendong tubuh Tawan agar masuk ke kotak. Dia menata posisi lelaki itu dengan hati-hati, lalu membiarkan Ken memeriksa sebentar. "Semua baik. Untung seseorang tidak mengenai kepalanya."

Kim pun memandangi wajah Tawan lebih lekat. "Aku takkan membiarkannya terjadi."
"Ya, walau kotak ini harusnya sudah diganti," kata Ken. "Tapi Jirayu pun tidak pernah bilang dimana yang versi baru."
Mendengarnya, Kim menutup kotak perawatan Tawan dengan dengusan pelan. "Tidak perlu fokus pada yang tak ada," katanya. "Tapi terima kasih mau berjaga di sini."
Kim dan Ken lantas saling berpandangan.
"Tolong jaga dia untukku juga," kata Ken. "Apalagi dirimu sendiri."
"Aku tahu."
Meskipun begitu, Ken tetap tak bisa lepas dari cemasnya. "Kalau perlu jangan pernah kembali," katanya. "Karena urusanmu sudah selesai. Jadi, soal Tuan Kinn, Mossimo, atau siapa pun yang mengincar kita--cukup lupakan hukuman mereka daripada Tawan tidak aman."
Kim pun diam ketika Ken memasukkan beberapa barang untuk dirinya ke dalam koper. Ada barisan ampul dan alat medis, ada persediaan obat-obatan dan senjata, juga hal remeh seperti baju ganti Tawan--


"Aku akan selidiki soal Phi Jirayu selama di Costa Rica," kata Kim tiba-tiba. Dia memang berencana bersembunyi di pulau pribadi yang ada di sana. "Tapi, kau pun harus menyusul kalau sudah tak ada yang penting."
Tangan Ken mendadak berhenti. "Ya, tentu," katanya dengan senyum yang hambar. "Aku akan datang kalau Jirayu sudah kubawa."
"...."
"Karena kita mengawali ini bertiga, Kim. Jadi, takkan kubiarkan dia hilang sebenci apapun kau kepadanya." (*)
(*) Penerbangan dari Cagliari, Sardinia ke Costa Rica, Amerika Tengah memakan 20 jam. Kalau diuangkan, biaya transportasi 1 orang 20 juta lebih sekali jalan. Tapi di sini Kim pake jet pribadi. Dia punya jalur khusus buat pergi.

Tanpa sadar, Kim pun mengepalkan tangan mendengarnya. "Lebih baik kubunuh kau daripada mati konyol karena tangan orang lain," katanya.
"Ha ... kupikir kau sudah tak peduli lagi denganku," kata Ken. Dia menggeleng pelan karena tiba-tiba ingat Kim versi yang dulu. "Walau jika dibayangkan, mati sebenarnya tidak buruk. Toh urusanku pun sudah selesai di sini."
"Apa maksud perkataan lemahmu itu?"
Setelah menghela napas dalam, Ken memutuskan jujur saja. "Apa kau tidak ingat pada hari Tawan mati?" tanyanya. Lalu berbalik dan menghadapi Kim dengan mata menyala. "Aku yang mencuri tubuhnya dari ruang kremasi, Kim. Aku juga yang berpikir agar Jirayu melakukan sesuatu." Lelaki itu tampak sedikit kecewa. "Tapi memang sekarang kau mau berbagi? Aku selalu berpikir untuk apa selama ini membantumu."
Bukannya merasa bersalah, Kim justru menghajar Ken sepuas hatinya.
Buaghh!!
"Ulangi lagi perkataanmu!"
"Arrrgh."
Buagh! Buagh! Buagh!
Kim juga tidak ragu menjambak kerah lelaki itu. "Bagus sekali, Ken," katanya. "Kau protes setelah Phi Tawan hidup. Padahal, siapa yang kehilangan rasa percaya lebih dahulu? Kau! Kau sendiri yang memilih menyerah padanya."
DEG
"Apa?"
Kim mendekatkan wajah mereka untuk mendominasi. "Aku tidak pernah bilang tidak mau membaginya. Tapi bisa kau coba pikirkan?" Lelaki itu membuat Ken nyaris berjinjit. ".... diantara kita bertiga, bagaimana jika dulu berhenti semua."
"...."
"Kau kira Porche akan datang dan membantu? Atau Phi Tawan sampai di titik ini? Bedebah, aku benar-benar tak paham dengan permikiranmu."
Brakh!
Ken pun dihempas hingga jatuh ke lantai. Giginya sedikit berdarah. Dan Kim langsung memberi perintah meski tidak mendiskusikan apapun lagi. "Sistem, kirim Ken dan Phi Tawan untuk pergi ke Costa Rica."
DEG

"Ssssh ... apa?" Ken mengusap sudut bibirnya yang agak terluka.
"Bukankah kau ingin bersamanya?" kata Kim. "Kalau begitu lakukan saja. Sembunyi, Ken. Biar aku yang membawa Phi Jirayu seperti maumu."
Diantara ketegangan itu, sistem malah muncul dengan emoji senyumnya.
[😊😊😊]
[Baik, Tuan. Perintah segera dilaksanakan]
[Empat dari kami dalam perjalanan untuk membantu persiapan]
[Apa Anda butuh sesuatu lagi?]
"Lindungi mereka apapun yang terjadi," kata Kim. "Dan aku tidak akan memaafkan kalian jika ada yang mati." Lelaki itu lantas keluar. Dia mengabaikan teriakan Ken yang mulai menjadi, dan membiarkan empat bodyguard klona masuk ke dalam.
"TUNGGU, KIM! HEI, KIIIIM! MAKSUDKU BUKAN BEGITU! KIIIIMM!"
Brakh!
Kim sudah menutup pintu dengan raut dingin dan rahang mengeras.


"Kim ....!"
Kinn nyaris menabrak sang adik masuk ke ruang tengah. Dia segera meremas lengan Kim sebelum diabaikan, lalu menahannya di tempat.
"Apa? Aku masih ada urusan. Cepat."
Kinn menyerahkan ponsel Ken. "Ini, baca. Cukup sebentar dan pahamilah," katanya. "Seseorang ingin bertemu dengan kita untuk selamatkan aksesmu."

Kim pun memerima ponsel itu meski agak kurang suka.
"Namanya Joseph. Puterinya Jasmine ada di tanganku. Jadi, dia ingin pertukaran. Kalau puterinya kembali, kita bisa diskusikan soal pamor pusat sistemmu di Venezia. Bagaimana?" tanya Kinn.
"Kau berhubungan langsung dengan pemerintah?" tanya Kim agak tak percaya. "Buat apa? Kita bisa gunakan cara yang lain."
"Menurutmu waktu yang sesingkat ini bisa membuatmu aman?" bantah Kinn.
"Tapi ini sama saja dengan jujur kau berbuat apa di sini."
"Sebenarnya kau ini takut atau semacamnya?" tanya Kinn sengaja agar Kim jengkel.
"Kau bercanda?!" tanya Kim. Yang langsung mengepalkan tangan seperti yang Kinn perkirakan.

"Dengar, Kim. Aku ini tidak buta," kata Kinn dengan mata mencecar sang adik. "Pasukanmu yang berkhianat tadi masih kurang stabil. Mereka berhenti menyerangmu tiba-tiba, padahal situasi sudah membuat kalian terpojok. Jadi, aku jujur tak percaya jika pengendalinya Jirayu."
Kim pun tetap di tempat, meski tangannya sudah bergetar ingin meninju.
"Bukankah dia salah satu pembuat klona kalian? Mustahil tidak tahu cara terbaik kendalikan pasukan sebanyak itu," kata Kinn. "Tapi mendebat Mossimo jelas bukan hal menarik. Hanya akan menambah-nambah masalah saja."
Kim pun mendengus ketika mengembalikan ponsel tersebut. "Aku tidak butuh dikasihani olehmu."
Kinn pun membalas. "Aku juga tidak sedang mengasihani dirimu."
"...."
Mereka pun bersitegang sejenak hingga Kinn berkata lagi. "Jujur, meski aku keberatan, kau boleh anggap ini balas budi, oke?" Lelaki itu berusaha meyakinkan sang bungsu dengan tatapannya.
Prakh!
"Terserah. Lakukan saja maumu, tapi jangan libatkan aku di dalamnya," kata Kim sambil melempar ponsel kepada Kinn. Untung saja benda itu mendarat tepat pada tangan sang mafia. "Urusanku tinggal menemukan Phi Jirayu, setelah itu selesai."
Kinn pun membiarkan Kim berlalu. Walau mata masih sulit lepas dari punggung lelaki itu.
"Oke, Naphat. Aku dalam perjalanan ke sana sekarang," kata Kinn setelah menelpon sang bawahan kembali. "Pastikan untuk tetap waspada, lalu tunggu sampai dia bertemu denganku."


Malam itu, Kinn pun berangkat ke tempat pertemuan bersama Vegas dan Pete. Lokasinya di Ravenna, Italia. Sebuah daerah yang tak cukup dikenal, melainkan sepi dari turis dan semacamnya.
Ketiganya sengaja meninggalkan Porche, karena lelaki itu akan turun tangan bersama Laura kembali ke Sisilia. Tujuannya apa? Tentu meminta bantuan plus persenjataan, sekaligus mengamankan Porche dan Laura dari garda depan.
Toh, Mossimo bilang dia kenal dengan Inspektur Smith serta Chief Joseph sekaligus. Mustahil bila mereka tidak kirimkan utusan. Dan meskipun sang mafia agak enggan, dia tetap mengawal secara langsung.
Mossimo menyetir jalur rahasia melalui hutan dengan mobil Jeep berkaca hitam Solar Gard. Dia tidak segan-segan menerobos sungai serta kanal kecil, demi tidak diketahui oleh aparat pemerintahan. (*)
(*) Solar Gard adalah jenis mobil dengan kaca film yang cukup bagus. Warnanya hitam. Beberapa anti SUV, juga punya fungsi menyembunyikan siapa yang ada di dalam kendaraan. Jenis yang lebih bagus ada Huper Optic dan V-Kool.

"Jadi suamimu akan ke Basilica di San Vitale?" tanya Mossimo kepada Porche. Mereka sudah menghabiskan 2 jam di jalan, barulah ada salah satu yang angkat bicara. (*)
(*) Basilica di San Vitale adalah bangunan ikonik di Ravenna, Italia. Di sana berdiri seperti benteng, dan desainnya cenderung lebih sederhana daripada yang di kota besar. [Gambar bangunan di awal adegan adalah basilica-nya].
"Ya," kata Porche yang duduk di jok belakang. "Katanya tidak jauh-jauh dari sana. Pastinya mengambil wilayah terpencil. Karena Kinn bilang tidak akan melibatkan orang lokal kecuali terdesak."
"Cih ... kalian terlalu lembek."
Mata Porche berkilat pelan. "Setidaknya kami bukan tipe cari mati tanpa pemikiran," katanya. "Karena Kinn bilang kau bahkan pernah menyerangnya terang-terangan di Plicenton."

"Oh, yang kau maksud adalah di tengah kota?" Mata Mossimo tertular emosi Porche. "Tidak, kawan. Plicenton di Messina itu masih wilayah kami. Jadi, meski masih ada petugas yang menyebalkan, kasus itu takkan bertahan berlama-lama."
Porche pun diam karena baru tahu ada yang seperti itu. Apa Kinn punya wilayahnya juga di Thailand? Kenapa sang suami tidak pernah mengatakan apa-apa?
Ah, tapi sekarang itu tak penting. Karena Porche masih sulit percaya, bahwa Kim mengabaikan pergerakan mereka setelah pergi.
Sang adik ipar entah mau kemana. Dia membawa mobil dengan pasukan mengikuti di belakang, sementara Ken dikawal klona ke arah lain dengan sebuah kontainer truck gandeng.

"Apa yang di dalam adalah Tawan?" pikir Porche. Karena dia sempat melihat sebuah kotak yang diangkut masuk, tapi punya ventilasi kecil di pojokan.
Namun, Porche rasa itu tidak lagi aneh. Kim pasti memikirkan beberapa klona yang merusak sebagian tempat ini. Lalu ingin mengamankan Tawan dan dirinya.
Apapun itu, perjalanan Kim pasti memiliki misi itu pasti cukup penting. Sebab lelaki itu bahkan tak peduli lagi dengan apa yang mereka lakukan, padahal sebelumnya cukup menggebu ingin menghukum--
"Mossimo, apa kau pikir kita akan berhasil?" tanya Porche tiba-tiba.
"Menurutmu?"
Laura lah yang menyahut kali ini. "Kita semua pasti berhasil." Wanita itu mendadak membuka mata indahnya. Sang ratu mafia ternyata tidak tidur sejak tadi, melainkan hanya bersedekap sambil mempernyaman diri.


Semakin larut, mereka baru berani ke jalur kota. Dan ketika sudah sampai ke tujuan, Laura tidak membuang waktunya. Dia menghubungi Kinn dengan kabar sampai di lokasi, dan membuat Porche takjub karena mereka bisa bekerja sama.
"Aku jadi merasa bersalah," batin Porche dengan mengepalkan tangan di atas pahanya. "Aku benci dipaksa memilih, tolonglah. Ini seperti tak nyata saja."
Laura juga mencari file database awal pabrik AI-nya seperti kata Porche. Dia melakukannya sendiri dan tanpa bantuan karena katanya itu rahasia. Mossimo saja bahkan tidak diizinkan untuk ikut membolak-baliknya.
"Aku butuh melihat sistem adikmu secara langsung," kata Laura kepada Porche. "Kalau perlu bawa aku ke dalamnya. Karena meski desain kami beda, prototip awal tetap milikku. Mungkin, kalau aku menghadapi langsung, pasti bisa kutemukan cara menyatukan aksesnya."

Porche pun memandang Mossimo. "Kau bisa bikinkan jalan ke sana?" tanyanya. Dan bukan Mossimo jika tak sanggup melakukannya. Meskipun begitu, Porche masih takjub dengan Laura.
Bukankah wanita itu dalam kondisi kritis yang cukup lama? Dia melewatkan banyak kejadian. Namun, hanya dengan diberi cerita, Laura langsung paham situasi mereka.
Wanita itu jelas bukan orang Polandia sembarangan. Apalagi "biasa" seperti yang pernah Laura katakan. Pantas saja Mossimo menjadikannya pendamping hidup.
Kenyataan selalu mengejutkannya.
"Jangan lupa pantau suamimu juga," kata Mossimo setelah memberikan ponsel kepada Porche. "Karena sejengel apapun, aku lebih benci melakukan pekerjaan yang tak selesai, paham?"
Dalam mobil pada perjalanan ke Venezia, Porche pun membuang muka dari Mossimo. "Kau tak perlu mengingatkanku."
Drrrt ... drrrt ... drrrt ....
Tepat setelah obrolan itu berakhir, ponsel Porche pun bergetar di genggamannya.
"Ya, Kinn. Bagaimana situasi di sana?"
Suara Kinn pun menyahut dalam. "Kami sedang menunggu mangsa di sini," katanya. "Dan gadis kecilmu aman. Karena aku sendiri yang sekarang memegang."
Tanpa sadar, senyum Porche pun mengembang tipis. "Syukurlah," katanya. Meski suara masih dibuat dingin agar Kinn tahu dirinya belum memaafkan.
"Fokus saja pada tujuanmu, Porche," kata Kinn. "Beritahu jika kalian sudah menyatukan aksesnya."
"Oke."
"Nanti pasti kutelpon setelah urusan kami selesai."
"Hm."
"Stay still. Dan jangan cemaskan apapun," kata Kinn. "Cukup tetap di sisi mereka sementara waktu, dan terus jaga dirimu."
"...."
"Karena jika Laura memang seserius ini, maka aku akan meladeninya nanti," kata Kinn menegaskan. "Tanpa kekalahan. Pasti."
DEG
Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....
Porche pun menyentuh dada berdebarnya. Dia gugup, entah kenapa. Lalu melirik Laura dari spion depan.
"Bisa jangan berkata seperti itu? Aku jadi semakin bingung dengan kalian," batin Porche yang merasa campur aduk. "Kututup dulu telponnya." Dia pun memelankan suara pada akhirnya.
"Hm,"
"Dan jangan pulang dalam kondisi mati."
Bersambung ....

Well, persaingan cinta mereka akan dimulai di sini. 😼 Adil seadil-adilnya.
Kinn pernah bikin kaki Porchay berdarah lalu diobatin ke rumah sakit. Begitu pun Laura yang pernah ngeracunin Porchay lalu dikasih penawar.
Sama-sama bangsat dan brengsek. Sama-sama mendekati dengan cara yang salah. Sama-sama bulol juga.
Sekarang kita lihat gimana perjuangan mereka secara sportif.
😈😈😈