Lovely Review:

Amanat di bab kemarin memang menyangkut kemanusiaan. Bukan hanya soal Laura, tapi Kinn yang menangis meskipun dia mafia. Bukan berarti Kinn menye-menye ya. Tapi, dia punya hati juga. Mafia belum tentu seorang psikopat.
_________
_____________________________________
_______________
⚠️WARNING⚠️
BAB INI MENGANDUNG UMPATAN DAN KEKERASAN YANG MUNGKIN AKAN MENYEBABKAN BEBERAPA PIHAK TIDAK NYAMAN. MOHON BIJAK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH.

"Ketahuilah, Kinn. Hari itu aku memandang kedua matamu dengan tersenyum."
[Porsche Pacchara Kittisawasd]
.
.
.
.
Porto Cervo, Sardinia, Italia.

JIRAYU pun langsung menghubungi Kinn untuk menyampaikan apapun yang dia tahu. Dia menelpon nomor sang mafia berkali-kali, tetapi tidak diangkat juga. Entah apa yang terjadi di seberang sana, yang pasti Jirayu merasa resah.
"Shit! Aku harus menyampaikannya secara langsung!" umpat Jirayu sebelum keluar dari kantor itu. Dia pun menyetir mobil cukup ugal-ugalan menginjak gas sekencang yang dia mau.
BRRRRRRMMMMMMMM!!
"Kinn! Tolong berhati-hatilah! Mossimo kemungkinan tidak bisa di pihakmu selamanya!"

Cagliari, Sardinia, Italia.
KINN pun menggandeng Jasmine masuk untuk melihat keadaan Laura. Senyumnya cukup lega, meskipun mata masih menunjukkan kepiluan. Lelaki itu juga ngobrol-ngobrol dengan Jasmine tentang calon adiknya yang masih di rahim sehingga suasana mencair.
Jasmine bilang, sang ibu ingin dia yang menamai si jabang bayi. Karena kehadiran saudara harus sangat diinginkan agar mereka rukun hingga dewasa nanti.
Semua normal-normal saja, hingga Kinn melihat ceceran darah yang tak wajar membanjir di lantai kotor.
DEG
"Tunggu, Porsche?" panggil Kinn. Jantungnya berdebar keras. Sebab tidak mungkin darah Laura sebanyak itu. Apalagi kini Kinn melihat tubuh si pria tua terkapar di lantai.
Malang.
Pria beruban itu terjengkang dari kursinya, memiliki luka tusuk di beberapa bagian tubuh, dan matanya melotot tak tenang.
Deg ... deg ... deg ... deg ...
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
BRAKHHH!
Mendadak ada suara gebrakan terdengar dari belokan ruangan.
"Arrrrgghh! Sakit, Laura--"
DEG
"PORCHEEEEEEE!!!" teriak Kinn yang langsung berlari. Dia bahkan meninggalkan Jasmine begitu saja. Dan sekujur tubuhnya lemas ketika melihat Laura menduduki dada Porsche di lantai.

Sang lelaki tercinta menutup mata. Menghadap ke arah sana, sementara Laura dalam kondisi baru saja mencekik.
Ekspresi wanita itu terlihat kosong. Bingung. Sementara wajah Porche di bawahnya penuh cakaran dan darah.
"TIDAK! PORRRRCHEEEEEE! TIDAK!"
Pisau yang tadinya di tangan Porche, kini terlempar di sisi Laura. Namun, anehnya lengan wanita itu lunglai di sisi tubuh. Dia tidak lagi menyerang, melainkan menoleh kepada Kinn Anakinn.
"Semua pemerkosa harus mati ...." kata Laura dengan kedipan yang seperti boneka. Wanita itu tampak tidak mengenali Kinn samasekali, padahal Kinn sudah jatuh berlutut sangking syok-nya dengan pemandangan itu. Kinn tahu, setiap yang baru sadar di ambang kematian tidak memiliki memori. Entah banyak atau sedikit, tetapi dadanya terlalu sakit melihat jemari Porche tidak bergerak sedikit pun. "Bukankah kau setuju denganku?" tanyanya.
Kinn pun berteriak hingga relung dadanya kosong.
"ARRRRRGGHHHHHHHHHH!!!"

Wajah lelaki itu memerah. Darah penuh di kulitnya. Sementara Laura justru hanya menatap emosi Kinn dalam diam. Dia tidak berkomentar apapun ketika Kinn menadah air matanya ke telapak tangan. Baru beranjak dan menyeret lengan Laura agar wanita itu turun dari tubuh Porche.
BRAKKKHHHH!!
"MINGGIR KAU DARINYA! JALANG!" maki Kinn. Lalu memeluk Porche ke dadanya. "APA YANG BARU SAJA KAU LAKUKAN?! DIA MENOLONG BUKAN MEMBUNUHMU, BRENGSEK! APA KAU TIDAK TAHU LELAKI YANG KAU CINTAI SENDIRI?! Oh Tuhan ... Porche .... Porche ...." Dia pun membelai wajah Porche yang agak pucat. Luka-luka cakar di wajah tampan itu memang sempat menjahit sendiri, tetapi darahnya tetap keluar.
Lima kali lipat lebih lambat ... lima kali lipat lebih lambat .... lima kali lipat lebih lambat ...
Dan sekarang "jahitan" itu justru berhenti.

"Apa?" kata Laura.
Kinn pun mengecek napas Porche yang ternyata mendadak berhenti. Dia buru-buru membaringkan lelaki itu ke lantai, lalu memberikan napas buatan beberapa kali. "TIDAK! PORCHE! BANGUN! TIDAK!" teriaknya frustasi. Resustasi jantung paru pun mulai diberikan dengan hitungan kelipatan 30 kali. Sementara Laura menatap Porche dan cincin yang terpasang di jari Kinn. (*)
(*) CPR adalah untuk pasien yang henti napas mendadak. Khusus yang baru dicekik, pastinya jalan darah serta napas di sekitar leher menyempit bahkan ada juga menutup. CPR bisa membuat darah kembali menyebar ke seluruh organ penting dalam tubuh.
"Bukankah kau yang suamiku?" tanya Laura.
"Apa?!"
Kinn memang tidak bisa menyalahkan kondisi Laura, tapi dia memilih fokus kepada Porsche. Kinn pun terus memompa dan memompa. Sementara Laura melihat peristiwa itu dengan tercenung.
"BUKA MATAMU, PORCHE! DAMN IT!" bentak Kinn murka. "BERNAPAS! HEI! BRENGSEK AKU TAKKAN MENGIZINKAN KAU SEENAKNYA LAGI SETELAH INI! PORCHE!" Sambil meniupkan udara ke dalam mulut Porche, Kinn pun mengingat memori tentang omongan Ken setelah operasi pendonoran sumsum Tawan.

_______________
_______________
"Ken, kira-kira kenapa Porche begitu?"
"Kenapa, Tuan?"
"Benarkah kemampuan penyembuhannya menurun? Para klona-mu bilang begitu."
".... sepertinya, ya."
"Apa?!"
"Aku sendiri belum tahu benar. Karena seperti yang pernah kubilang ... serum itu belum sempurna dan baru berhasil kepada Tuan Porche."
"...."
"Aku sendiri ingin menyempurnakannya, Tuan. Jadi, akhir-akhir ini berusaha kukembangkan. Dosis kuturunkan untuk rasa sakit yang minim, tetapi juga lambat efeknya. Namun, jika Tuan Porche memang kehilangan kemampuan itu perlahan-lahan ... berarti memang tidak bisa selamanya bertahan."
"Kesimpulannya, mutasi itu berbatas waktu?"
"Bukan, mungkin lebih tepatnya menyesuaikan kondisi inang. Bagaimana pun, Tuan Porche baru mendonorkan sumsum-nya ke Tuan Tawan. Padahal itu termasuk kebutuhan inti tubuh."
"...."
"Kemungkinan, semakin sering tubuh Tuan dirusak ... efek serumnya pun berusaha menutup luka terus menerus. Sampai kemudian, Tuan kembali manusia biasa."
"Ah, begitu."
"Tapi ini baru hipotesis-ku. Kecuali Anda memperbolehkan aku merusak Tuan Porche untuk membuktikannya."
"Fuck--kau pikir aku akan membiarkanmu?!"
"Ha ha ha. Maaf, aku hanya bercanda. Tapi, pesanku tetap hati-hati saja ...."
_______________
________________
"Porche ... kumohon ...." kata Kinn. Dia sudah tak peduli menangis di depan Laura, atau bagaimana isi pikiran wanita itu. Karena Kinn hanya peduli kehidupan Porche saja. "Hidup ... sekali lagi saja ... tolong ... beri aku kesempatan terakhir ...."
Dada Porche pun naik turun atas tekanan Kinn yang berkali-kali. Bibir lelaki tampan itu juga agak terbuka. Sementara Kinn langsung terbelalak ketika mendadak rambutnya dijambak lemah.
Saaaakhh!
"Arrgghh ... sakit--hentikan--hahh ... hahh ...." rintih Porche lemah.
Kinn pun menjauh segera agar Porche bernapas. Tetapi juga langsung memeluk lelaki itu kembali.
BRUGH!
"Oh Ya Tuhan ... kemari kau ...." kata Kinn. Wajahnya mendusel ke wajah Porche. Lalu menjambaknya dalam ciuman singkat.
"Perih ...." kata Porche tetap mengeluh. Kinn pun tanggap mencari-cari mana luka yang masih ada. Lalu menyadari kalau darah Porche masih mengalir dari tiap cakaran dan sayatan yang dia punya.
Wajah, dada, perut, kemudian telapak tangannya yang tadi dibelah--
(*) Gambarnya tak buremin ya ☺️ hehehe ....

GREEEEEK ... GREEEEK ... GREEEK!
Seketika, Kinn pun membuka jas serta kemejanya. Lalu merobek kain putih itu tanpa berpikir. Dia membebat tangan Porche pertama kali, barulah anggota badan lain yang kini tak bisa sembuh.
Mungkin, tadi serum itu berfokus menyembuhkan memar leher bekas cekikan Laura, juga nadi-nadi yang rusak di dalam. Namun, tidak ada lagi yang tersisa sekarang. Porche sudah kembali menjadi dirinya yang lama. Dia bukan manusia super. Dia bukan sosok dengan intelegensi melebihi Kinn. Atau tahan banting seperti sebelum menjadi pendonor.
Dia hanya Porche Pacchara Kittisawasd. Sosok yang Kinn kenal ketika pertama kali bertemu, sementara Laura langsung dia todong dengan pistol ketika hampir mendekat.
"Porsche ...."
DEG
KACRAK!!

"BERHENTI! MUNDUR!!" bentak Kinn kepada Laura. "MAU APA LAGI KAU SEKARANG, HAH?!"
Kali ini, Laura tiba-tiba panik. Wanita itu gemetar melihat suasana aneh di depan matanya, kemudian histeris melihat Porche yang masih megap-megap.
"Tidak! Porche!! Kenapa kau--"
KACRAK!!
"DIAM SAJA DI TEMPAT, LAURA! PIKIRMU INI SEMUA ULAH SIAPA?! KAU! KAU, SIALAN! APA-APAAN REFLEKS GILAMU ITU!" teriak Kinn. Tampaknya sang ratu mafia sudah tersadar kembali, walau pasti tidak ingat dia baru saja melakukan apa.
Laura pun gemetar karena dia terjebak dalam kilasan memori trauma diperkosa dan disiksa beberapa tahun lalu, tapi tidak selain itu. Apa dia baru melakukan kesalahan? Dia hanya tergugah ingin melindungi diri! Tidak! Porche!
"Kinn--!"
"KAU TIDAK PANTAS UNTUK PORCHE, LAURA! TIDAK! TAKKAN KUBIARKAN DIA DENGANMU ATAU SIAPA PUN LAGI MULAI SEKARANG!" tegas Kinn.
Laura pun melirik kepada Porche yang memeluk dada telanjang sang suami karena mencari kenyamanan. "Hahhh ... hhh ...." Napasnya masih amat berisik, hingga mata Laura pun tergenang cairan bening.
"Porche ...."
".... tidak, Laura. Tidak meski dia memilihmu. Atau aku yang terus dibenci nantinya ...."

Laura pun menjambak rambutnya karena tiba-tiba merasa pusing sekali. "A-Aku ... aku tidak ingat apapun. Arrgh ... ssshh .... sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
Meskipun begitu, kewaspadaan Kinn tidak mengendur samasekali. "Kembalikan cincin Porche sekarang juga ...." katanya. "LEPAS! CEPAT! Atau terjadi lebih banyak masalah di masa depan?! Dia itu milikku! Aku! APA KAU TAK PAHAM JUGA?!"
Air mata Laura pun menetes-netes ke lantai berdarah di bawah lututnya. Apalagi saat Laura menatap Kinn yang teguh menodong di depan sana.
"T-Tapi aku sangat mencintai dia ...." kata Laura. "Kumohon ...."
Tak gentar, Kinn pun menembak beberapa kali ke sisi rambutnya sebagai peringatan.
DORR!! DORR!! DORR!!
"CEPAT LEPAS!!"
DORRR!! DORR!! DORR!!

Laura pun mengangkat kedua tangannya ke sisi kepala, lalu meletakkan cincin Porche perlahan-lahan ke lantai. "T-Tapi tolong jelaskan padaku setelah ini ... Kinn, jangan benci padaku ...."
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika berani melukainya sekali lagi ...."
Porche yang sudah mulai tenang pun bisa mendongak perlahan untuk menatap ekspresi mengerikan Kinn di atas sana. "Kinn, jangan ...." katanya, lalu terpejam lagi. "Jangan lakukan tindakan ceroboh. Jangan ...."
Laura pun mundur meski hatinya juga amat perih melihat pemandangan di depan matanya. "Porche, bisa kau memaafkanku?" pintanya. "Aku janji tidak akan begitu lagi. Aku masih ingin menjadi temanmu. Porche ...."
Porche pun meremas bahu Kinn hingga menggurat dadanya. "Hentikan, Kinn. Sudahi sekarang juga ...."

"ARRRRGGHH! FUCK!" teriak Kinn yang langsung melempar pistolnya daripada gatal menekan pelatuk. Dia benar-benar ingin membunuh Laura, tapi rasanya itu bukan hal tepat.
Kinn pun menggendong Porche melewati Laura, lalu merebahkan tubuh itu ke sofa usang.
Kinn tak peduli apakah Laura akan semakin bingung, yang pasti dia menatap sinis wanita itu tiap kali baru bergerak.
"Awas saja kau sampai mendekat..."
Laura pun diam terpekur di tempat, sementara Kinn mencari-cari segelas air di rumah itu untuk Porche minum terlebih dahulu. Wanita itu tampak tidak menyangka ujung kuku-kuku cantiknya tergores darah, pertanda baru saja melukai seseorang.
Dan itu pasti Porche. Pantas saja Kinn marah besar padanya.
"Jangan sampai lepaskan pada siapa pun lagi," kata Kinn posesif. Suara lelaki itu agak lebih dalam daripada biasanya, terutama saat memasangkan kembali cincin Porche. "Kalau dalam masalah besar, kau bisa andalkan aku. Benda ini tidak bisa kau gadaikan dengan mudah seperti dulu, mengerti?"

Porche yang belum benar-benar sadar pun mengangguk saja. "Ya ... hhh ...."
"Aku benar-benar takkan memaafkanmu kalau sampai terulang lagi."
Kinn pun mengecupi tangan itu hingga kekhawatirannya mereda. Sementara Laura yang mengusap pipi basahnya segera keluar.
"A-Aku rasa aku harus segera ke Milan," kata wanita itu setelah ingat kembali dengan semua misi yang diemban. Langkahnya terhuyung-huyung ke belakang, bahkan sempat menabrak tumpukan buku usang karena pusing menyerang secara timbul tenggelam. "Aarrghh ...."
BRAKH!
"...."
"A-Aku akan mengabari kalian lagi, nanti ...." kata Laura. Lantas berlari keluar. "Maaf atas segalanya, Porche ... aku benar-benar minta maaf ...."
BRAKKKHHH!!!
DORRR!! DORRR!! DORRRR!!
"KETEMU!! ITU DIA!! BENAR YANG ITU ADALAH WANITA TADI!!"
DORRR!! DORRR!! DORRR!!
Tepat saat Laura baru membuka pintu, dadanya sudah diserang oleh peluru berulang kali hingga tubuhnya langsung ambruk ke tanah.

BRUGH!
Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnggggg!!
Kali ini, sang ratu mafia tidak merasakan apapun lagi. Pusing dan sakit pun tidak. Dia hanya menatap tanah berdarah yang dia peluk, lalu mengalirkan air mata terakhir saat menoleh ke kiri.
"Hhhhh ... hhh ... hhh ...."
"AYAAAAHH!!"

Dimana di sana Jasmine dipeluk lelaki berseragam mewah. Di belakang mereka ada mobil polisi yang berbondong-bondong datang mendekat. Dan hujan mulai mengguyur sangat deras dari langit berwarna kelabu.
"Aku mencintaimu, Porche," kata Laura sembari menutup mata. "Aku benar-benar ingin menebus kesalahanku padamu ... andai saja masih bisa ...."
Bersambung ....
Maaf lama. Jujur, aku nangis ngarang bab ini. Hope you feel me 🤧 Sekarang kalian akan kuingatkan teoriku soal The Scavager di "BAB 80: MINEFIELDS"

Perhatikan bagian "menyakitkan untuk si hidup", tapi "mudah diterima untuk si mati." Sebab ini berarti pengorbanan Porsche buat Tawan dan Laura itu efeknya beda.
Enggak setiap yang diselamatkan berhasil mutasi dengan sukses. Apalagi Ken bilang ampul serum dia belum sempurna. Tapi, Porsche mana sempet mikir sampe sana. Dia terlalu baik dan hanya pengen menyelamatkan. Akhirnya, Laura memang hidup kembali dari fase sekarat, tapi dia tak terkendali seperti Porche dulu di penjara.
Dan kalau kalian peka, ya ... Porche emang sempet naninu sama Laura. Tapi tujuannya untuk bertukar cairan tubuh saja, sayang abis itu Laura menggila. Dan sekarang bener-bener mati.
God save u, Laura. Good bye and be the most beautiful angel in the sky ....

Laura Biel
RIP [ Wednesday, 28 Sept 20XX]