Fokus .... Fokus .... Fokus ....
Wajah perempuan yang datar dan dingin mengejutkanku.
Aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun dan apa pun. Hembusan napas berat keluar dari mulut. Untung saja, aku bukan tipe orang yang mudah teriak saat terkejut.
Daripada terus-menerus berhadapan dengan wajah yang tidak hidup lagi, aku pura-pura melihat arah lain sambil pergi meninggalkannya.
Halo, namaku Zoe Veronica. Gadis yang bisa melihat sesuatu, sebut saja indigo. Aku tinggal bersama ibu tercinta.
Keseharianku hanyalah bangun tidur, makan, sekolah, pulang, lalu tidur. Tidak lupa membantu orang yang selalu meminta bantuan.
Ini terlihat sangat risih. Kenapa? Karena mereka tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali. Aku bukan pengasuh.
Ibu menginginkanku melakukannya. Membantu manusia bertemu dengan orang yang sudah tiada, itu tidak mungkin. Apalagi, membantu hantu yang ingin berbicara pada manusia, itu lebih tidak mungkin.
Itu pun sebelum tahu bahwa aku anak indigo. Aneh? Ya. Seharusnya, anak yang memiliki indigo itu dari lahir.
Aku? Disaat ulang tahun ke-13 sudah bisa melihat hantu. Sekarang sudah berumur tujuh belas tahun. Lupakanlah empat tahun yang lalu, di mana aku menangis keras ketika ada makhluk halus ikut berpesta.
Gadis yang mengejutkanku masih saja mengikuti. Padahal, aku sudah berusaha untuk tidak melihatnya.
"Aku tahu kamu bisa melihatku." Dia mulai mengajak bicara. Tidak peduli.
Aku tetap berjalan santai menuju sekolah.
"Kenapa kamu tidak ingin melihatku?" Sebenarnya, tidak hanya dia saja yang pernah bertanya seperti itu. Hantu lain juga bertanya. Pertanyaan itu sudah seperti makananku setiap hari.
Saat belok ke kanan, dia terdiam di tempat. Entah kenapa, ingin sekali menoleh dan bertanya, tetapi aku tidak ingin berurusan dengan hantu lagi. Aku yakin dia tidak akan mengikuti lagi. Akhirnya, bisa tersenyum lega setelah tidak diikuti.
Senyumanku menghilang, karena salah mengira. Gadis itu sekarang berdiri di sebelah. Untuk apa?
"Aku dulu juga sekolah, tetapi bukan di sekolah ini." Bicaralah sesuka hatimu. Aku sungguh tidak peduli.
"Namaku Karin Ghotik. Kita terlihat seumuran. Apa kamu berumur tujuh belas tahun?" Hanya kebetulan saja. Dia hantu, bukan dukun. Tidak perlu terkejut.
"Aku telah kehilangan orang tua saat berumur empat belas tahun, lalu Bibi Rachel, dia adik dari ibuku langsung menjemput. Dia ingin aku tinggal bersamanya. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman. Aku ingin sendiri." Dia terdiam ketika aku memakai earphone.
Aku sengaja memakai earphone supaya dia berhenti bicara. Menggerakkan kepala ke atas dan bawah. Dia pasti mengira aku sedang mendengar lagu, padahal tidak.
"Karena merasa tidak nyaman, aku menyendiri. Semua murid menjauh. Aku dianggap seperti orang gila, karena berbicara sendiri. Padahal, aku hanya rindu pada orang tua." Lanjutkan saja.
Aku ingin mengambil buku untuk menyiapkan pelajaran pertama. Tunggu, ke mana bukuku? Kemarin malam sudah disiapkan.
Tatapanku berhenti pada gadis yang siap ingin membuang buku dari lantai tiga. Sial, bagaimana dia bisa mengambil buku? Aku bahkan belum membuka tas.
"Aku akan terus mengganggu. Aku tidak peduli, ketika buku ini lepas dari tangan." Berani sekali dia. Hantu saja bisa mengancam.
"Baiklah. Aku bisa melihatmu. Puas?"
Suara tawa membuatku tersadar. Tidak hanya aku saja yang berada di kelas, tetapi banyak murid lain. Ada yang tertawa dan menatap jijik. Itu juga sudah termasuk makananku setiap hari.
"Bisakah kita bicara nanti?" bisikku pada gadis itu dengan wajah kesal.
"Hey, Zoe si indigo. Kali ini, kamu bicara dengan siapa?" tanya William. Lelaki itu adalah musuhku. Selalu mengganggu, ketika aku diganggu oleh hantu. Menyebalkan sekali.
"Bukan urusanmu," balasku dengan tatapan sinis.
Saat berbalik pada gadis yang mengganggu tadi, aku sudah tidak menemukannya. Yang kutemukan hanya bukuku yang sudah berada di meja. Tidak manusia, tidak hantu, sama-sama menyebalkan.
Setelah diganggu oleh gadis hantu itu, sekarang aku diganggu oleh William. Lelaki yang duduk di sebelah kanan.
Dia selalu melempar kertas kecil ke kepalaku. Sudah tahu kami bermusuhan, tapi tetap saja aku mudah dibodohi. Kupikir dia memberi pesan melalui kertas.
Tapi ada satu yang membuatku ingin tertawa. Gadis hantu itu berdiri di belakang William, lalu menjitak kepala lelaki menyebalkan itu dengan santai.
Aku menutup mulut yang hampir saja ingin tertawa lepas. Terima kasih gadis hantu, sepertinya aku berhutang budi.
"Kamu mengganggunya, aku akan mengganggumu."
Lawan lelaki itu. Aku mendukungmu gadis hantu. Dia tadi memberi tahu namanya. Ya, Karin. Lawan dia Karin.
"Kamu pasti yang menjitak kepalaku."
Tuduhan William membuat wajahku menunjukkan seperti wajah 'Sungguh?'
"Tuan Thunder dan Nona Veronica."
Oh tidak. Jika guru sudah memanggil nama kami, itu tandanya kami akan dapat hukuman. Kami? Sejak kapan aku berteman dengannya?
Ya, benar saja. Hanya karena tidak fokus belajar, aku dan William harus membersihkan lorong sekolah.
"Hey, ambil air untuk ember ini," suruh William.
"Punya kaki? Jalan sendiri. Aku yang menyapu," tolakku mentah-mentah. Enak saja dia menyuruh.
Di saat aku ingin mengambil sapu, gerakan William terlalu cepat. Dia mengambil sapu terlebih dahulu dan memberikan ember tepat di depan wajahku.
"Siapa cepat, dia dapat. Sekarang pergi dan ambilkan air. Aku yang menyapu."
Lelaki ini- Baiklah! Aku tidak ingin menghabiskan waktu. Meladeni kebodohan bukanlah hal tepat. Aku yakin dia akan meninggalkan semua tugas untukku. Dia itu sudah seperti ninja, hilang dengan cepat dan datang tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya ketika aku pergi mengambil air. Dia bergaya seakan sedang menyapu.
Rasanya bosan sekali. Menunggu terlalu lama, jika ditinggal terlalu cepat. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Lalu hawa dingin pun muncul. Aku yakin gadis hantu itu datang lagi.
"Aku sudah membantumu. Sekarang bantulah aku."
Hanya menjitak kepala orang bukanlah membantu. Oh ya, aku bilang berhutang budi dalam hati. Apa dia dengar?
Kran yang tadi menyala, dia matikan. Sepertinya dia benar-benar ingin diperhatikan. Tidak juga, airnya sudah meluap dari ember.
"Baiklah. Bantuan apa yang kamu inginkan?" tanyaku sambil mengusap wajah.
"Aku ingin bertemu dengan Bibi Rachel. Aku ingin minta maaf dan menjelaskan semuanya. Saat aku sudah tergeletak, aku melihat wajahnya sangat terkejut."
Walaupun wajahnya menunjukkan wajah datar, tapi aku bisa merasakan kesedihan. Aku sangat yakin, jika dia melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan. Bunuh diri. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana dia bunuh diri.
"Di mana rumah bibimu?" Aku tidak bisa membiarkannya seperti ini. Rasa kasihanku lebih besar.
"Kamu harus naik taksi dari sini. Perumahan Anggrek."
Aku tahu tempat itu. Lumayan jauh dari sekolah. Harus mengeluarkan uang untuk pergi dan pulang dari sana.
"Aku akan sangat berterima kasih, jika kamu mau membantu. Aku tiada karena bunuh diri dengan cara lompat dari lantai dua. Setelah itu, aku hanya bisa melihat tubuhku dan Bibi Rachel yang menangis. Lalu, semua orang datang-"
"Aku tahu kelanjutan ceritamu." Semua orang datang pasti ingin membantu. Apa yang dia lakukan itu kesalahan besar.
"Seharusnya kamu tidak melakukan it-"
"Apa kamu bicara dengan hantu yang mengganggumu di kelas tadi?"
Lagi, William menemukanku ketika berbicara dengan hantu. Sayangnya, Karin sudah menghilang dan aku seperti bicara sendiri sekarang.
"Kupikir kamu kabur dari hukuman." Aku mencoba mengganti topik.
"Aku tahu kamu sedang mengalihkan pembicaraan. Dengan siapa kamu bicara?"
Aku ingin kembali saja ke hukuman. Berbicara dengannya menghabiskan banyak waktu.
"Sedang bermain rahasia ceritanya?"
Aku sengaja terus berjalan sambil membawa ember. Dia tidak mungkin penasaran dengan hidupku. Hantu saja dia takut.
Dia pernah bilang tidak percaya pada hantu. Kubiarkan itu. Aku tidak memaksanya untuk percaya. Lalu, dia menantangku untuk berdiri selama dua jam di gudang sekolah yang terlihat seram.
Baru dua menit saja dia sudah lari ketakutan. Dan besok, dia mengatakan pada semua murid bahwa dia bisa melakukannya. Lebih dari dua jam.
Aku hanya bisa tertawa dalam hati, melihat murid lain percaya dengan karangan cerita.