"Apa katamu tadi?" tanya Mile tak habis pikir. Dia pun membalik badan Apo sehingga lelaki itu terbelalak lebar. "Coba ulangi sekali lagi."
"Apa yang apa?" bingung Apo. Seolah dia mengatakan hal yang wajar.
"Kau bilang mengajakku berkencan."
Alis indah Apo pun berkerut perlahan. "Ya? Terus kenapa?" tanyanya.
"Kupikir kau tidak bisa dengan lelaki," kata Mile. Diam-diam dia sangat mempertimbangkan hal ini, meski jujur tertarik kepada Apo. Tapi memang siapa yang tidak suka kepada sosok semenawan dia?
"Oh, itu ...." kata Apo. "Aku tidak pilih-pilih kalau cuma untuk jalan sebentar. Selama cocok, kenapa tidak dicoba saja? Toh ini hanya soal have fun." Dia segera meralat perkataan itu. "Tapi kalau kau tak mau, bukan masalah. Aku ini manusia toleran."
Mile pun menarik tengkuk Apo tapi tidak menciumnya. Dia hanya mendekat terlalu dekat. Sampai-sampai mata dan hidung mereka beradu. Dari sana masa depan terlihat beberapa detik. Dimana jika menolak mereka takkan bertemu lagi, tapi jika menerima sosok itu membuka hati untuknya.
Yang benar saja! Mile mana mungkin melepaskan Apo setelah ini. "Oke, tapi bukan untuk pergi," katanya. "Karena aku tidak pernah main-main sepertimu. Jadi, jangan menyesal kalau kau kuikat setelah itu."
DEG
"Menyeramkan," kata Apo dengan senyum pahit yang sesaat muncul. Tapi setelah itu dia menyeringai, dan Mile mana mungkin tak terjerat padanya semakin dalam. "Tapi diikat calon Presdir dari keluarga konglomerat? Siapa yang tidak mau."
Mile pun mengernyit karena sosok Apo sudah berubah dari saat mengeluh "sakit" di bawahnya. Dia ternyata tidak menggemaskan, apalagi selemah yang Mile perkirakan. Malahan menantang dengan mata yang teramat tajam. Mile pun terbakar dengan fiturnya, lantas mencium dengan membabi buta.
"Oke."
Brugh!
"Mmnphh!"
DEG
Apo baru terbelalak setelah dia benar-benar dimonopoli. Dia sepertinya tak menyangka Mile bertindak sejauh itu, apalagi langsung mengajaknya bergulat lidah. Perlahan, Apo pun meremas bahu Mile, meski lengannya masih sakit. Lelaki itu balas memeluk tanda tidak takut sedikitpun. Dan terengah setelah dilepaskan perlahan.
"Baiklah. Kalau begitu dimulai sejak kau sembuh," kata Mile. Lalu mengecup bibir indah Apo sekali lagi. "Kita berkencan. Dan kalau kau yang akhirnya menyesal, aku akan menghukummu dengan cara yang setimpal."
Setelah Mile keluar, Apo baru tercenung memandang langit-langit kamar rawat inap. Debaran dalam dadanya datang terlambat, dan itu fatal sekali. "Sial, aku baru saja menantang maut," katanya sambil menyentuh bibir.
Siapa bilang Apo tidak gugup? Selain penyanyi dia merupakan aktor, jadi untuk ber-akting berani, itu merupakan persoalan kecil. Yah, walaupun seni peran bukan fokus utama.
"Apa ini? Liburan di kapal lagi?" tanya Apo dua Minggu kemudian. Dia dibawa Mile untuk menjelajah lautan ulang, dan itu cukup mengherankan. Kata si bungsu Romsaithong, dia ingin menuntaskan jadwal pestanya yang sempat terjeda, walau dengan Apo saja.
"Ya, dan ucapkan selamat untuk ulang tahunku."
Apo pun memutar otak. "Oh, iya. Pestamu itu untuk ulang tahun, ya."
"Hm. Dan kelulusan."
Apo pun duduk di sebelah Mile untuk melihat ombak yang berdeburan. "Selamat ulang tahun, tuan bungsu," katanya. "Dan selamat juga untuk hari lulusnya."
Mile pun memandang raut Apo dari samping, lalu langit biru di atas sana. "Tidak ada hadiah untukku?"
DEG
"Mana tahu kalau perjalanan ini juga untuk perayaan," kata Apo. "Jadi maaf tidak ada."
"Bagaimana dengan ciuman seperti yang waktu itu?" tantang Mile. Apo pun memicing, lalu menyeringai kepada calon kekasihnya.
"Yakin ciuman saja sudah cukup?"
Mile malah melirik ke kaki Apo. "Aku ingin membekukmu di bawahku, tapi harus dipikir ulang sekali lagi," katanya. "Bagaimana pun jalan masih susah. Jadi harus serius kontrol dengan dokter ortopedi terus untuk saat ini."
"Hmp, alasan." Apo kemudian melirik pangkuan Mile. Dia tersenyum karena tempat itu sepertinya nyaman, apalagi Abby sering naik ke sana. Tapi, sebenarnya bukan itu saja yang menarik perhatiannya. Melainkan benda di balik celana Mile. Sial, ukurannya sudah besar meski bukan dalam kondisi yang tegang. Bagaimana kalau nanti sudah digunakan? Apo pun membuang muka sesaat. "Ngomong-ngomong, Mile. Aku juga laki-laki. Bagaimana kalau kubilang ingin jadi dominannya?"
Mile pun tampak kaget, tapi dia menanggapi dengan santai. "Hmm, semisal untuk main-main, maaf saja. Tapi jika bisa membuatku yakin, maka tidak masalah."
DEG
"Serius?"
"Why not?"
"Kau tidak akan merasa terhina?"
"Tidak, kalau itu memang opsi yang terakhir," kata Mile. "Maksudku, buat apa kukuh posisi jika merasa seseorang tidak tergantikan? Tapi kalau diberi pilihan, aku tetap paling senang jika pasanganku bergantung padaku saja."
Jawaban yang susah dibantah. Apo pun merebahkan diri di lantai dek kapal, lalu memejamkan mata. Dia menikmati hembusan angin yang begitu segar. Rasanya ingin kembali ke titik awal, tapi semua sudah terlanjur. "Sebenarnya aku pernah jadi yang dominan, maksudku jika dengan laki-laki," katanya tiba-tiba. "Ya walaupun agak menjengkelkan. Tapi tak masalah selama hanya main-main. Itu cukup meredakan stress semalam."
"Maksudmu?"
Apo pun bercerita tentang submissive yang pernah dia masuki. Namanya siapa lupa--dia tak mau mengingat-ingat--yang pasti cukup manis dan elegan, tapi setelah di ranjang sangat memuakkan. Submissive itu menjadikan Apo fantasi seks saja. Dia menjerit-jerit dan pipis sembarangan, tapi bukan itu yang membuat Apo paling geli. Melainkan nama yang dia sebut bukan Apo lagi. Malahan si mantan bangsat, jadi Apo lebih selektif sedikit, meski untuk jalan sebentar. Yaaah, setidaknya bukan dari kalangan dengan pemikiran terbelakang. Karena itu dia menerima saja jika seorang Mile Phakpum.
Brugh!
"Jadi intinya tak ada masalah," kata Mile yang tiba-tiba menindih Apo. Sang penyanyi pun membuka mata, lalu terpejam lagi karena ciuman kado-nya diambil.
"Hmmh, ya," kata Apo. Dia memeluk Mile meski tak ada rasa apapun, lalu bertanya pelan. "Ngomong-ngomong, apa kemampuanmu sangat terbatas?" tanyanya.
"Maksudmu?"
"Ya hanya beberapa detik ke depan?"
Mile pun berpikir sejenak. "Kau mau melihat apa sampai bertanya begitu?" katanya.
"Masa depan dengan Tuan Phakpum," kata Apo. "Toh kalau hasilnya jelek, mending disudahi sampai sini. Kita tidak perlu repot-repot mencoba. Karena aku sendiri hanya penasaran."
"...."
"Maksudku mengencani lelaki kaya tujuh turunan."
Mile pun kurang suka mendengar hal itu. "Kalau pun aku hanya yakin dengan penglihatan, kau pasti akan kubiarkan mati," katanya. "Tapi nyatanya masih di sini. Bernapas. Jadi masa depan yang kulihat itu kemungkinan. Belum pasti. Kalau pun hasilnya buruk pun masih bisa dirubah."
"Seperti itu?"
"Kehidupanmu adalah buktinya."
Napas Apo pun tertahan di dalam dada. Dia sadar Mile memang luar biasa, tapi susah mengakui bila tidak digampar kenyataan berkali-kali.
"Oke," kata Apo. Namun perkataannya setelah itu lebih menggampar daripada apapun. "Kalau begitu bawa aku ke ranjang sekarang."
"Apa?"
"Sebelum aku berubah pikiran dan ingin mengakhiri kekonyolan kita di sini."