Masih Ada Sisa Kebodohan

Sepulang dari kantornya, dia bersama seorang rekan kerja, berjalan menuju ke rumah—"Hei, kau dengar sesuatu?" dia berkata pada rekannya yang berjalan di sampingnya.

"Tidak," balas rekannya.

"Aku rasa suaranya dari situ," dia menunjuk pada gedung terbengkalai yang ditumbuhi semak belukar.

"Apa kau yakin?" Dia mengabaikan pertanyaan rekannya, bergegas mempercepat langkah menuju ke dalam gedung, "Hei tunggu aku!" Seru rekannya itu.

Memasuki area gedung, temboknya hampir roboh, cahaya matahari masuk melalui jendela kosong tanpa kaca. Terlihat empat orang pria duduk melingkar di atas tikar, di tengahnya terdapat beberapa minuman beralkohol. Satu orang memakai topi terbalik menghisap rokok—tingginya sekitar 160 cm, yang satu melepas bajunya mengenakan celana jeans dan badannya bertato, yang satunya lagi berbadan gemuk bibirnya sedikit sobek dan wajahnya terlihat mengerikan dengan mata melotot saat berbicara dan nada bicaranya terkesan menghentak, sementara yang terakhir berbadan kerempeng penuh tindikan dan tato pada tubuhnya. Terlihat seorang gadis muda di samping mereka yang terikat di atas kursi, tidak sadarkan diri—mulutnya disumpal oleh kain.

Dia menyuruh rekannya untuk pergi mencari bantuan dan menghubungi polisi. Sementara dia akan menahan para preman itu semampu yang bisa dia lakukan. Rekannya tidak akan membiarkannya mengatasi keempat preman itu seorang diri, tapi kemudian dia meyakinkan bahwa dia tidak akan memancing perkelahian, dia akan bercakap-cakap untuk mengulur waktu. Dengan tatapan gelisah rekannya menengok ke belakang dan berkata, "Jaga dirimu, aku pasti akan kembali dalam beberapa menit," dia mengangguk, menggerakkan tangannya menyuruhnya untuk bergegas.

"Hei bos, kapan kita akan memakai cewek itu," kata seorang yang kerempeng penuh tindikan dan tato pada tubuhnya.

"Cewek itu makanan penutup untuk pesta ini, benar kan bos?" Kata seorang yang memakai topi, sembari mennghisap rokok.

"Huh! badan beging model kalian mana kuat satu menit," orang gemuk di sebelahnya cengengesan, sembari menenggak minumannya.

"Jangan ada yang menyentuhnya lebih dulu, atau kalian akan kubunuh," ancaman yang mengintimidasi dari seorang yang bertelanjang dada, orang-orang yang melihatnya langsung akan menyadari bahwa dia tidak main-main, kulitnya cokelat berperawakan kekar.

Pada sela-sela percakapan romantis diantara kelompok barbar yang ingin bersenang-senang itu, dia (mc) menyela seenaknya berkata demikian, "Apa kabar kalian semua, boleh gabung?" Tersenyum, berjalan tegak dengan santai, melambaikan tangan untuk menyapa, sementara tangan satunya bersembunyi di belakang punggungnya.

Orang kerempeng yang penuh tato mengerutkan alisnya, "Siape lu?"

"Loh kalian lupa, teman tongkrongan dari kampung sebelah," balasnya.

"Kampung mane?" Orang kerempeng itu melihat ke arah teman-teman yang duduk di sekitarnya, "Kalian kenal orang itu?"

Dia menunjuk ke arah gadis yang terikat di kursi, "Nice catch! boleh gue icip ga, tuh cewek."

Orang gendut dengan mata melotot menggerakkan telunjuknya, bermaksud untuk menyuruhnya mendekat, "Sini lu."

Dia menghampiri mereka berjalan santai dengan senyum yang janggal. Saat sudah semakin dekat sehingga sentuhan dapat menjangkau satu sama lain hanya dalam beberapa kaki, dia berhenti dan berkata, "Apa gw boleh ikut gabung?"—Orang gendut itu menatapnya dan menyeringai, "Boleh, hisap dulu kemaluanku! Hahaha!" Semua orang terkekeh mendengar hal itu, seseorang yang memakai topi berkata, "Sekalian kita muncrat di muke loe! HAhaha!" Orang gendut itu menjulurkan lidahnya sambil menggerakkan kepalanya maju-mundur, sembari mengacungkan kedua jari tengahnya mulutnya tersenyum lebar.

Kemudian, dia menggertakan rahangnya mendengar pelecehan yang dia dapatkan; tubuhnya gemas bergetar memusatkan kekuatan pada kaki kanan. Tendangan kilat melesat cepat memukul telak dagu orang gemuk, menjepit lidahnya hingga tersedak menelan segumpal darah dari dalam tenggorokannya. Semua tawa terhenti, menjadi hening beberapa saat, hingga situasi berubah menjadi gerah, teman-temannya merasa geram melihat kawannya diperlakukan seperti itu. Sontak, mereka terbangun mengambil apapun untuk dijadikan alat untuk membunuh orang yang ada di depannya, pikirannya melebur bagai lahar yang akan melumat pria asing itu menjadi debu.

Dia mengelus dagu, berpose selayaknya orang cerdas yang mengamati, orang gendut itu mengalami kejang, "Waduh, mati gak ya?"

"Mati bangsat!!!" Seseorang mengincar kepalanya dengan botol minuman keras, reflek, dengan luwes dia menghindar! Dia mundur ke belakang beberapa meter. Para preman mengejar kesetanan mengharapkan penyiksaan yang mengerikan pada orang asing yang mencelakai teman mereka.

Dia mengambil kuda-kuda seperti pemain boxing profesional, menghindari setiap tinjuan yang diarahkan padanya. Dia menggenggam bolpoin pada kedua tangannya, ujung yang tumpul dari bolpoin itu dia tahan menggunakan jempol, sementara ujung yang tajam mengarah ke bawah, sekarang dia terlihat seperti belalang mantis. Saat melihat celah dari tinju yang meleset, dia menusuk musuhnya menggunakan bolpoin, dia mengincar bisep menukik dari atas ke bawah dengan cepat nan tajam.

Lengan musuhnya melemas, darah mengucur ke bawah melalui lubang-lubang kecil bekas tusukan di antara bisep dan bahunya. Begitu pula dengan nafas yang terengah, amarah musuh mereda, mereka salah menilai manusia yang berada di hadapannya, dia adalah iblis dingin yang tidak segan untuk melukai orang, layaknya binatang ternak. Kemudian iblis itu berjalan dengan nafas yang teratur, ekspresi dingin yang mengintimidasi berbeda dengan perlakuan kasar yang selama ini mereka terima seumur hidup, ekspresi itu 'tidak peduli' jika membunuh beberapa binatang ternak, bahkan itu menyiratkan 'jangan buang waktu' pada kotoran yang seharusnya menjadi pekerjaan pemulung.

Semakin dekat iblis itu menghampiri preman kemarin sore, kaki mereka bergetar, ekspresi mereka meringis ketakutan, hingga mereka bersujud memohon pengampunan. Iblis itu hanya mengucapkan satu kalimat, "Tetaplah begitu," dia memerintahkan ketiga preman itu tetap bersujud.

"Saya tahu, anda sudah sadar, daritadi anda mendesis menahan rasa ngilu saat saya menghajar para bajingan yang menyekap anda di tempat ini," dia berjalan ke arah gadis yang kurang beruntung itu. Kemudian melepaskan gadis itu dari jeratan tali yang mengikat tubuhnya di atas kursi.

Saat gadis itu akan mengucapkan terimakasih, tiba-tiba dari pintu masuk gedung segerombolan warga datang membawa balok kayu besar dan beberapa senjata tajam, sebelum situasi menjadi lebih buruk, untungnya polisi datang tidak lama kemudian.

Rekannya datang menghampiri dengan wajah gelisah, kemudian merasa lega melihatnya baik-baik saja, melihat sekitar senyuman leganya lengser seketika karena keheranan melihat para preman yang bersujud gemetaran. "Apa yang terjadi?" Ucapnya.

"Sudahlah, ayo pulang saja, biar polisi yang mengurus sisanya,"

Gadis itu kehilangan kesempatan untuk berbicara pada orang yang menyelamatkan hidupnya, tangannya ingin meraih, namun desakan dari warga yang merangsek masuk membuatnya kehilangan pria itu.

Sirine mobil kepolisian dan para warga berlalu lalang, membuatnya merasa tidak nyaman. Menghilang dalam kerumunan sesosok bayangan membekuk kejahatan, kejahatan dihukum oleh kejahatan, tangan-tangan bersih tidak boleh melihat wujud kejahatan itu, karena kejahatan akan merajalela begitu dia tersorot cahaya terang.

[DEMIKIANLAH WAHAI ARWAH KU, JIKA KAU MENGENANG HARI INI, BERSEMBUNYILAH DI TEMPAT YANG TIDAK DISUKAI ORANG DAN JANGAN PERNAH KEMBALI.]

"Kenapa Aku melakukannya, biasanya kau akan bilang begitu," rekannya bertanya padanya.

"Entah, kali ini aku tidak kepikiran apa-apa," jawabnya.

"Begitu lebih baik. Selamat datang di masyarakat," rekannya mendorongnya, membuatnya sempoyongan. Dia pun membalas, mereka saling membalas, siluet mereka terlihat dari kejauhan dan semakin mengecil, cahaya merah jingga dari matahari menenggelamkan hari itu seperti sebuah lukisan.