Bab 2-Ngarai Alas Roban

Alas gung liwang liwung

melahirkan anak-anaknya

dibantu oleh kabut, tanah dan pagi

lalu membesarkannya

diasuh oleh sikap luput, rasa gelisah, dan bara api

dari manusia yang penuh basa basi

Raden Soca menyelesaikan samadinya. Tubuhnya terasa sangat segar. Luka-lukanya sudah pulih total. Hawa murni yang dipindahkan oleh Ki Ageng Waskita ke tubuhnya sangat membantu proses pemulihan. Sekaligus juga menguatkan semua ilmu yang dikuasainya hingga berkali-kali lipat. Meskipun juga berakibat luar biasa pada tubuhnya.

Hawa murni Ki Ageng Waskita sangat kuat. Di awal-awal, Raden Soca tidak sanggup menguasai hawa yang berputar-putar dalam tubuhnya dengan hebat. Sebentar siuman, sebentar kemudian Raden Soca pingsan. Hawa murni itu seperti hendak meledakkan tubuhnya menjadi berkeping-keping.

Setelah melihat dalam beberapa hari Raden Soca mengalami hal sama yang terus berulang, Jaka Umbara mendekat.

"Cobalah mengendalikan tenaga raksasa dalam tubuhmu dengan melakukan samadi berdasarkan kitab ini, Raden. Ini mungkin bisa membantu."

Raden Soca menatap penuh terimakasih. Setelah tubuhnya berkali-kali dihajar dari dalam, dia merasa sangat lemah. Apabila tenaga ini tidak segera dikendalikan, bisa jadi tubuhnya tidak sanggup menerima dan dia bisa tewas.

Pemuda dari Lawa Agung itu kemudian melakukan saran Jaka Umbara. Beberapa hari dia mencoba bersamadi berdasarkan petunjuk dari Kitab Inti Bumi. Dan berhasil! Hawa murni raksasa yang berada dalam tubuhnya perlahan-lahan mulai bisa dikendalikan. Dia bisa menyalurkan tenaga sakti itu ke bagian tubuh mana saja dan kapan saja. Raden Soca sudah siap pergi meninggalkan Ngarai Alas Roban.

Dilihatnya Jaka Umbara juga sedang tekun bersamadi sesuai petunjuk Kitab Inti Bumi. Pemuda itu jauh lebih dulu sembuh dibanding dirinya. Namun dia tidak meninggalkannya. Menyediakan makanan bagi mereka berdua saat dirinya masih dalam keadaan tak berdaya. Raden Soca berhutang budi kepada pemuda dari Tuban yang sangat religius itu.

Setelah menyampaikan hormat kepada Ki Ageng Waskita di depan makamnya yang entah kenapa selalu menimbulkan aroma wangi sejak hari pertama dimakamkan, kedua pemuda seumuran yang secara kebetulan menjadi murid tokoh sakti luar biasa dengan caranya masing-masing itu bergerak meninggalkan Ngarai Alas Roban yang misterius.

"Kita berpisah di sini, Raden. Aku harus melanjutkan tugas dari guruku yang tertunda. Kau sendiri hendak kemana?" Jaka Umbara menatap Raden Soca yang membungkukkan tubuh dalam-dalam di depannya.

"Aku akan mencari mereka yang telah melukai kita dengan sangat parah, Jaka. Bukan untuk membalas dendam. Namun ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan. Aku ingin memastikan cerita mereka mengenai cara ayahku tewas dalam pertempuran. Aku mulai curiga dengan cerita yang mereka masukkan ke dalam kepalaku sedari kecil tentang kematian ayahku."

Jaka Umbara mengangguk. Dia tidak tahu persis cerita apa namun tentu dia tidak bisa ikut campur urusan pribadi Raden Soca. Dia sangat yakin pemuda ini adalah orang baik. Meskipun latar belakangnya berasal dari kerajaan yang selalu menimbulkan masalah dan ayahnya adalah tokoh kontroversial yang selalu mencari perkara dengan orang lain.

Sekali lagi Raden Soca menyampaikan terimakasih dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam di hadapan Jaka Umbara yang kontan saja membalas dengan sikap yang sama. Dia juga harus berterimakasih atas pembelaan Raden Soca saat itu. Kalau tidak, dia mungkin sudah tewas di tangan Putri Anila yang telengas itu.

Kedua pemuda itu berpisah jalan begitu sampai di puncak tebing Ngarai Alas Roban. Jaka Umbara melanjutkan tugasnya yang tertunda. Mencari tempat yang tepat untuk mendirikan pondok pesantren seperti yang diamanatkan oleh Kyai Mustofa. Sudah ada beberapa pilihan tempat yang ada dalam catatannya. Tinggal melengkapi beberapa lagi karena dia belum sepenuhnya selesai mengitari lingkar luar Tlatah Alas Roban.

Raden Soca memutuskan kembali ke Pulau Kabut. Dia akan memaksa Panglima Amranutta, Putri Anila dan Putri Aruna untuk menceritakan kisah yang sebenarnya mengenai cara ayahnya tewas dalam pertempuran di Benteng Pangcalikan. Dia menjadi tidak yakin akan cerita sebelumnya bahwa ayahnya tewas dikeroyok. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Ratri Geni dan Arya Dahana di Puncak Ciremai yang menyebutkan bahwa ayahnya tewas setelah bertarung satu lawan satu melawan Dewi Mulia Ratri.

Jika memang cerita Ratri Geni adalah kebenaran, dia tidak berhak untuk marah dan dendam terhadap Dewi Mulia Ratri. Mereka bertarung dengan adil dan ayahnya kalah. Sebuah hal yang jamak di dunia persilatan. Raden Soca mempercepat langkahnya. Mencoba menghapus wajah tersenyum mengejek yang kala itu mengajaknya bertarung di Puncak Ciremai.

Wajah yang beberapa kali hadir dalam mimpi akhir-akhir ini. Dia bukan pemuda lemah yang gampang tertarik pada wajah cantik. Tapi harus diakuinya bahwa gadis yang satu itu memang lain dari yang lain. Berkepandaian tinggi, cantik dan tengil. Dia menyukai tipe gadis yang seperti ini. Raden Soca yang jarang tersenyum itu mendadak tertawa kecil. Membayangkan jika mereka berdua bertarung adu kepandaian. Gadis itu sangat sakti. Dia tidak yakin bisa mengalahkannya. Kalaupun bisa, dia juga tidak akan melakukannya. Raden Soca tidak ingin senyum mengejek itu menghilang dari wajahnya. Dia terpesona karena senyuman mengejek itu.

Raden Soca mengerahkan ilmu meringankan tubuh sekuat mungkin. Dia ingin melupakan wajah yang mengganggu benaknya. Pemuda dari Lawa Agung itu terkaget-kaget saat menyadari tubuhnya melesat seperti kilat. Kecepatan larinya meningkat secara luar biasa. Pemuda ini gembira bukan main. Hawa murni Ki Ageng Waskita ini hebat bukan main. Dia sangat bersyukur diwarisi tenaga sakti oleh kakek yang sangat rendah hati itu.

Tubuh pemuda itu berkelebatan menembus rapatnya hutan. Seperti bayangan hantu yang tidak menyentuh tanah sama sekali. Tak butuh waktu lama bagi Raden Soca untuk tiba di pinggiran Sungai Serayu yang sangat lebar. Pemuda itu berpikir sejenak bagaimana cara menyeberangi sungai besar ini. Dia tidak tahu di mana tempat penyeberangan yang biasa digunakan. Akan butuh waktu untuk menelusuri pinggir sungai sampai menemukan tempat penyeberangan. Dan dia tidak tahu apakah itu ke arah hulu atau hilir. Raden Soca memutuskan untuk mencoba sesuatu. Hawa sakti dalam tubuhnya sedang bergolak dahsyat setelah lari kencang tadi.

Pemuda itu mengumpulkan dahan-dahan kecil yang tidak rapuh atau busuk sambil memperkirakan lebar sungai yang tidak kurang dari tiga ratus depa. Setelah dirasa cukup, Raden Soca dengan penuh keyakinan melempar dahan pertama ke sungai dan melompat sambil melempar dahan berikutnya. Hal yang dilakukannya berulang-ulang.

Sungguh mengagumkan melihat tubuh pemuda itu seolah terbang di atas air sungai yang mengalir tenang. Dalam hitungan kejapan mata, Raden Soca sudah sampai di seberang sungai dengan aman.

Raden Soca menghela nafas untuk meredakan ketegangan. Dia tadi benar-benar hanya uji coba seberapa hebat tenaganya saat ini. Dan dia berhasil. Raden Soca menoleh ke seberang sungai dan membungkukkan tubuh dengan sangat hormat.

"Ki Ageng Waskita, kau mewariskan sesuatu yang tidak akan bisa kudapatkan meskipun puluhan tahun aku berlatih. Terimakasih!"

**