Bab 6-Pertemuan yang Kikuk

Sebuah pertemuan

adalah awal dari perpisahan

atau sebaliknya,

sebuah perpisahan

adalah awal dari pertemuan

berikutnya

Ratri Geni membantu Ibunya berdiri. Gadis itu memeluk ibunya dengan penuh kerinduan. Sudah beberapa bulan dia mengembara dan baru ini bertemu dengan ibunya lagi. Hal yang sama sekali tak disangkanya saat dia memutuskan untuk meninggalkan sementara Gunung Merbabu dengan niatan pulang ke Gua Danu Cayapata. Dalam perjalanan melewati hutan ini, dia mendengar suara dahsyat pertempuran dan menyaksikan ibunya dan Raden Soca sedang coba bertahan dengan luka-lukanya dan bersiap menghadapi Nyai Sembilang dan muridnya yang sangat lihai itu.

Ratri Geni melepaskan pelukannya dan berhadapan dengan Raden Soca yang berdiri dengan kikuk.

"Hmm. Kau sudah bertemu dengan Ibuku rupanya. Apakah kau masih mau melaksanakan niatmu untuk membalas dendam anak muda? Sama seperti di Puncak Ciremai dahulu, kau harus berhadapan denganku terlebih dulu!" Mata Ratri Geni menatap tajam Raden Soca yang terlihat semakin kikuk. Pemuda ini menghela nafas sejenak sebelum menjawab lirih namun tegas.

"Aku adalah lelaki, dan bukan anak muda, yang tidak akan ingkar terhadap sumpahku gadis kecil. Namun aku juga orang yang berpikiran waras sehingga aku akan menelisik kebenaran cerita tentang kematian ayahku sebelum melanjutkan niat balas dendamku."

Ratri Geni melotot sebal. Gadis kecil??

Gadis ini melangkah maju lebih mendekati Raden Soca yang sama sekali tidak menunjukkan gelagat ketakutan maupun hendak menyerang. Dewi Mulia Ratri menarik lengan Ratri Geni. Pendekar wanita ini tertarik mendengar perkataan Ratri Geni. Selain itu dia mencegah putrinya yang tengil ini bertindak berlebihan.

"Apa maksudmu dengan balas dendam Ratri? Dan kemana perginya ayahmu? Aku pikir dia sedang bersamamu."

Ratri Geni melemparkan cibiran sebal kepada Raden Soca dan memeluk Ibunya sekali lagi.

"Kami berpisah di Puncak Ciremai, Ibu. Aku harus menjalankan tugasku sebagai Penjaga Gunung Merbabu. Ah, ceritanya panjang. Dan pemuda bau kencur ini memang ingin membalas dendam kepada Ibu, Ayah, dan semua keturunannya karena kematian ayahnya, Panglima Kelelawar."

Dewi Mulia Ratri tersentak kaget bukan main. Anak Panglima Kelelawar? Pendekar wanita ini memandang Raden Soca dengan tatapan menyelidik. Raden Soca jadi salah tingkah.

"Hmm. Jadi kau ternyata anak Raja Lawa Agung. Kenapa kau membantuku tadi saat kedua orang pemarah itu hendak membunuhku? Bukankah kau pasti tahu bahwa aku adalah Dewi Mulia Ratri yang berada dalam daftar buruanmu?"

Raden Soca semakin kikuk. Dia bingung harus berkata apa. Sudah semakin jelas bahwa cerita Panglima Amranutta sangat berlebih-lebihan. Meskipun dia tetap harus mendengarnya sekali lagi dari Raja Lawa Agung itu supaya bisa merasakan kebenaran atau kebohongannya.

"Maafkan aku Pendekar Dewi. Aku sudah sampaikan kepada putrimu tadi bahwa aku akan mengungkap kebenaran cerita dari Paman Amranutta nanti di Pulau Kabut. Kalau memang Pendekar Dewi memenangkan pertarungan satu lawan satu melawan ayahku sehingga ayahku tewas, aku tentu harus menghapus dendamku."

Sebelum Ratri Geni hendak nyerocos lagi, buru-buru Raden Soca melanjutkan perkataannya.

"Lagipula dendamku sangatlah adil Pendekar Dewi. Meskipun ternyata cerita Paman Amranutta memang benar, akupun tidak akan melampiaskan dendamku kepada keturunanmu. Itu dendam membuta. Dan aku tidaklah buta." Raden Soca melirik Ratri Geni dan melemparkan senyum tipis mengejek.

Ratri Geni maju hendak mendamprat Raden Soca. Semakin sebal karena senyuman mengejek itu. Namun lagi-lagi Dewi Mulia Ratri menarik tangan putrinya.

"Kau anak yang baik. Siapakah namamu? Pergilah temui Amranutta yang licik itu. Dia telah memutar balikkan cerita. Ayahmu memang tewas di tanganku. Tapi dalam pertempuran yang adil satu lawan satu. Aku bisa jamin itu. Ribuan saksi akan membenarkan ucapanku ini."

Ratri Geni tidak bisa menahan ucapannya lagi. Membalas senyuman mengejek Raden Soca dengan senyuman yang lebih mengejek.

"Namanya Raden Soca, Ibu. Dia sama sekali tidak percaya dengan cerita yang sebenarnya. Biarkan aku menghajar tubuhnya yang dipenuhi dendam itu. Biar dia tahu bahwa dendam itu sakit dan tidak sehat."

Raden Soca nyaris terkekeh mendengar ucapan Ratri Geni. Betul-betul gadis tengil!

"Aku mohon diri Pendekar Dewi. Aku mempercayai ucapanmu tapi setidaknya aku harus mendengar sekali cerita dari Paman Amranutta mengenai kematian ayahku. Tapi kau harus yakin satu hal, kalaupun aku harus membalas dendam demi harga diriku, aku tidak akan main keroyokan dan akan menantangmu bertanding satu lawan satu." Raden Soca berjalan pelan meninggalkan tempat itu setelah membungkukkan badan kepada Dewi Mulia Ratri dan mengangguk ke Ratri Geni. Tubuhnya masih terluka parah. Dia tidak bisa mengerahkan tenaga sembarangan. Bisa-bisa lukanya akan semakin parah.

"Heiii! Tunggu! Aku akan menjadi saksi yang akan ikut mendengarkan cerita pamanmu yang licik itu. Aku ikut denganmu ke Pulau Kabut!" Teriakan nyaring Ratri Geni menghentikan langkah Raden Soca yang membalikkan tubuh dengan raut muka terheran-heran.

Dewi Mulia Ratri juga terkejut mendengar perkataan putrinya. Namun dia membiarkan sampai Ratri Geni mengemukakan alasannya dengan berbisik. Berharap Raden Soca yang sudah cukup jauh tidak akan mendengarnya.

"Ibu, aku harus menjadi saksi supaya cerita ini semakin tidak berbelit. Bukankah Ibu selalu mengatakan bahwa segala urusan dendam harus dituntaskan dari akar masalahnya, bukan? Selain itu dia sedang terluka parah Ibu. Buat berjalan saja dia kesulitan. Apakah Ibu tega membiarkan orang yang telah membela dan bertaruh nyawa mati-matian untuk Ibu, pergi sendiri dalam keadaan seperti itu ke tempat yang sangat berbahaya?"

Raden Soca merasakan desir dahsyat memenuhi rongga dadanya. Gadis tengil yang menarik hati itu mengkhawatirkan dirinya!

Dewi Mulia Ratri menatap putrinya dengan mulut melongo. Anak aneh! Pandangannya sampai di jari Ratri Geni yang mengenakan cincin unik dan aneh.

"Cincin apa yang kau kenakan itu Ratri? Aku yakin itu buatan Ayahmu. Tapi untuk apa?"

Ratri Geni terkejut sambil memandang jarinya. Langsung saja dia teringat pada Setengah Pertunangan. Gadis itu tersenyum manis sekali kepada Ibunya. Hal yang justru membuat Dewi Mulia curiga. Pasti anak ini ada maunya!

"Ini juga ceritanya panjang Ibu. Tapi ijinkan aku menemani anak muda penolongmu yang sekaligus dendam setinggi langit kepadamu. Sangat berbahaya baginya kalau pergi ke Pulau Kabut sendirian." Pandang mata memohon Ratri Geni membuat Dewi Mulia Ratri menghela nafas panjang. Mana bisa dia menolak tatapan seperti itu?

"Baiklah Ratri. Pergilah temani Raden Soca mencari kebenaran atas dendamnya. Tapi ingat! Cepat kembali dan jangan berlama-lama di pulau mengerikan itu." Ratri Geni melonjak kegirangan lalu memeluk Ibunya erat-erat. Bibirnya berbisik.

"Kalau Ibu bertemu dengan Ayah. Katakan bahwa Ibu tidak menyetujui pertunangan yang setengahnya lagi ya? Aku tidak mau dijodohkan!"

Dewi Mulia Ratri memundurkan wajah dan menatap putrinya lekat-lekat. Perjodohan? Pertunangan? Cincin itu?

Ratri Geni mengangguk.

"Bibi Arawinda menjodohkan aku dengan anaknya yang bernama Ario Langit. Aku tidak mau Ibu! Aku masih ingin meluaskan pengalaman dan petualanganku. Selain itu biarkan hatiku yang nanti memutuskan kepada siapa aku jatuh cinta."

Dewi Mulia Ratri menggeleng-gelengkan kepala. Urusan perjodohan ini bisa gawat! Arawinda adalah wanita yang sangat keras hatinya.

******