Bab 44-Dendam Tak Berujung

Dendam cinta lebih kelam dari mendung paling hitam

dendam rindu lebih membatu dibanding kekerasan masa lalu

jika dendam memang harus dituntaskan

jatuhkan hujan paling balam agar bisa melubangi batu-batu

"Anakku jangan menjadi lelaki lemah! Ayo bangkitlah!" Suara Arawinda berdesis di telinga Ario Langit. Kalimat yang cukup membuat Siluman Masalembu berdiri tegak kembali. Namun tidak mampu berbuat apa-apa seperti telah disihir menjadi batu. Ario Langit tidak bisa membayangkan jika Ayu Kinasih benar-benar menjatuhkan tangan maut kepada Galuh Lalita, dia bisa menjadi gila karena rasa bersalah yang akan terus-terusan mendera.

Kesiur angin berhawa sangat dingin tiba-tiba memenuhi tempat itu. Dua buah bayangan yang tak terlihat saking cepatnya melakukan dua hal yang sama sekali tak terduga. Bayangan pertama mendorongkan tangannya dengan lembut ke arah tangan Ayu Kinasih yang sudah terayun ke kepala Galuh Lalita. Bayangan lainnya menyambar dengan kecepatan tak kasat mata saat menahan tubuh Galuh Lalita yang terguling setelah terlepas dari tangan Ayu Kinasih yang tangan mautnya tiba-tiba kaku tak bisa digerakkan.

Arya Dahana mendarat dengan mulus di samping Arawinda yang tersenyum manis sekali karena merasa lega. Sedangkan Dewi Mulia Ratri mendudukkan Galuh Lalita lalu menempelkan tangannya ke leher gadis itu untuk membuatnya sadar sekaligus membangunkan kembali kekuatan tubuhnya lewat hawa sakti yang disalurkan.

Siluman Masalembu membelalakkan matanya yang hitam dan lebar. Dua pendekar perkasa yang sangat diseganinya itu hadir bersama-sama di sini! Dua orang yang merupakan calon Setengah Mertuanya! Namun degup jantungnya juga berangsur normal kembali karena Galuh Lalita bisa dengan tepat waktu diselamatkan dari tangan maut Ayu Kinasih.

Sepasang mata pendekar yang dahulu pernah membuat geger dunia persilatan itu mengarahkan pandangan kepada Panglima Amranutta.

"Panglima Amranutta. Alangkah tidak bijaknya jika kita terus menerus bermusuhan dengan musabab yang semestinya bisa kita hindari. Lepaskanlah mereka, kami juga akan segera pergi." Suara pelan namun tegas dari Arya Dahana mengiringi tajam tatapannya yang menghunjam mata Panglima Amranutta yang merasa merinding karena tatapan itu mengandung perbawa yang bahkan lebih menakutkan daripada siluman.

Raja Lawa Agung maju selangkah ke depan. Situasi ini tidak menguntungkan baginya. Dia harus mengalah. Terlalu besar kehancuran bagi pihaknya jika menuruti hawa nafsu bertempur. Lagipula dia dan para pembantu utamanya masih terluka. Dia tidak peduli jikapun dua nenek gila dan sakti itu dongkol atau marah atas keputusannya.

Panglima Amranutta sudah hendak membuka mulut saat 4 orang yang terdiri dari Matamaha Mada, Nyai Sembilang, Dewi Lastri yang masih berwujud Siluman Karimata, serta Ayu Kinasih, menerjang Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri. Panglima Amranutta mengangkat alisnya dan berniat memperingatkan mereka. Namun otaknya yang cerdik mencegahnya melakukan hal itu. Biarlah mereka bertempur sampai mati. Paling penting adalah Lawa Agung saat ini menahan diri untuk tidak ikut campur. Dia tidak mau mengorbankan cita-cita besarnya hanya karena berseteru dengan dua pendekar hebat itu.

Dewi Lastri yang merasa ini adalah saat paling tepat untuk membalaskan dendam ibunya, menyerang membabi buta ke arah Dewi Mulia Ratri dibantu oleh gurunya Nyai Sembilang. Mereka pernah bertarung sebelumnya. Saat itu mereka mengeroyok pendekar wanita itu berempat bersama Hantu Laut dan muridnya sehingga nyaris menewaskan pendekar itu. Tapi keadaan berbalik sekarang. Dewi Mulia Ratri sudah kembali bugar dan kekuatan dari guru murid Dewi Lastri dan Nyai Sembilang tidaklah cukup untuk menaklukkan pendekar wanita yang sudah mencapai kesempurnaan dalam sihir serta memiliki ilmu-ilmu pukulan sakti yang jarang bisa dikuasai orang lain.

Ayu Kinasih dan Matamaha Mada sendiri menerjang Arya Dahana. Nenek gila dan sakti itu sungguh penasaran karena selama ini dia hanya mendengar nama besar Arya Dahana tanpa tahu seperti apa kehebatannya. Dia ingin merasakan sendiri sampai di mana kesaktian pendekar yang terkenal mewarisi ilmu-ilmu pukulan unsur bumi secara sempurna dan telah menaklukkan banyak tokoh sesat nomor satu di dunia persilatan.

Dua gelanggang pertempuran itu menjadi yang terdahsyat hari ini. Bayangan Nyai Sembilang menusuk-nusuk dari segala arah mengirimkan pukulan-pukulan mematikan. Sedangkan tubuh besar Siluman Karimata berdebam-debam melancarkan pukulan mengerikan yang sekali kena berakibat mematikan bagi siapapun. Dewi Mulia Ratri melayani kedua lawannya dengan mengerahkan Gempa Pralaya dan memperkuatnya dengan Sihir Ranu Kumbolo untuk berjaga-jaga jika nenek sakti itu menyerangnya dengan sihir hitam yang sangat dikuasainya.

Arya Dahana bersikap tenang. Serangan Matamaha Mada luar biasa dahsyat. Nenek gila itu menyerang bertubi-tubi tanpa henti menggunakan ilmu pukulannya yang tertinggi. Begitu pula Ayu Kinasih. Wanita yang sedang hamil ini sama sekali tidak ingat kalau orang yang diserangnya mati-matian ini adalah orang yang sangat dikagumi oleh ibunya. Bahkan sampai sekarang hubungan Ayu Wulan dan pendekar itu sangatlah baik. Namun karena beberapa syarafnya sudah putus, tentu saja Ayu Kinasih sama sekali tidak sadar.

Meskipun telah mengerahkan segenap tenaga dan ilmu-ilmunya yang aneh dan dahsyat, Matamaha Mada dan muridnya sama sekali tidak sanggup mendesak Arya Dahana. Kalau pendekar ini mau menjatuhkan tangan keras, tak akan butuh waktu lama baginya untuk merobohkan keduanya.

Berbeda dengan Dewi Mulia Ratri. Nyai Sembilang memang sakti dan ditambah dengan kemampuan Dewi Lastri yang tidak terpaut jauh dari gurunya, kedua orang itu mampu mengimbangi Dewi Mulia Ratri. Pertarungan semakin dahsyat. Ketiganya hanya tampak sebagai bayangan yang berkelebat-kelebat ke sana kemari. Tanah dan pasir di dua arena pertempuran itu porak poranda. Debu-debu tebal beterbangan. Tanah-tanah terbongkar. Dan daun-daunan berhamburan tiada henti.

Arawinda tidak ikut campur tangan. Dia tahu bahwa dua pendekar itu sanggup mengatasi lawan-lawannya. Dia memilih membantu putranya memulihkan diri dari luka yang masih dideritanya. Ario Langit sudah berubah kembali menjadi wujud manusianya. Arawinda juga membantu Galuh Lalita seperti yang tadi dilakukan oleh Dewi Mulia Ratri sehingga gadis dari Padepokan Maung Leuweung itu semakin segar dan cepat pulih dari totokan mengerikan Nyai Sembilang.

Terdengar jerit kesakitan menyayat hati disusul terlemparnya tubuh kurus Matamaha Mada ke udara lalu jatuh berdebum di tanah. Nenek gila itu memutuskan mengadu tenaga karena penasaran setelah sekian lama menyerang hebat tidak mampu mendesak pendekar yang bertahan dengan tenang itu. Dari sudut mulut nenek gila itu mengalir darah segar. Ayu Kinasih menjerit marah bukan main melihat kondisi gurunya. Gadis itu menerjang Arya Dahana dengan membabi buta. Arya Dahana tahu gadis ini sedang hamil karena itu tidak mau melayaninya keras lawan keras. Namun pada satu kesempatan, pendekar ini terpaksa menangkis pukulan Ayu Kinasih dengan hanya mengerahkan sedikit tenaga agar dirinya tidak terluka. Akibatnya tubuh Ayu Kinasih terguling-guling ke belakang meski tidak dalam keadaan terluka karena pendekar itu sangat membatasi tenaganya.

Terdengar kesiur angin keras. Ario Langit berdiri menghadang di antara Ayu Kinasih dan Arya Dahana. Pemuda itu membungkukkan tubuh dalam-dalam dan berkata lirih.

"Maafkan aku pendekar. Aku terpaksa akan melawanmu jika kau berniat melukai gadis itu….."

Belum selesai perkataan Ario Langit, sebuah pukulan mematikan nyaris mendarat tepat di lehernya jika saja Arya Dahana tidak buru-buru mengayunkan lengan menangkis yang mengakibatkan tubuh Ayu Kinasih kembali terlempar bergulingan. Ario Langit menghela nafas panjang. Dia tahu Arya Dahana telah menyelamatkannya dari kematian. Namun tetap saja pemuda ini berdiri menghadang Arya Dahana dengan gerakan lambat karena lukanya bertambah hebat akibat pukulan Ayu Kinasih. Pemuda itu berkata dengan pelan namun tegas.

"Mohon maaf pendekar. Aku sungguh-sungguh akan melawanmu jika kau terus menjatuhkan tangan terhadap gadis ini." Ario Langit lagi-lagi memasang tubuhnya berhadapan dengan Arya Dahana sambil membelakangi Ayu Kinasih yang sudah bangkit kembali.

Arya Dahana menjadi kebingungan dengan sikap Ario Langit sehingga terlambat menyadari saat Ayu Kinasih kembali menyerang Ario Langit dari belakang dengan dahsyat. Kali ini pukulan mematikan diarahkan ke kepala Ario langit yang sepertinya tidak menyadari atau tidak peduli.

Dukkk! Desss!

Sepasang lengan lain yang menangkis pukulan Ayu Kinasih. Tubuh Galuh Lalita terpental dan memuntahkan darah segar sedangkan Ayu Kinasih untuk ketiga kalinya jatuh bergulingan ke belakang. Ario Langit terperanjat. Takut ada apa-apa dengan Ayu Kinasih. Pemuda itu menghampiri dan bermaksud menolong Ayu Kinasih berdiri. Namun gerakannya terhenti karena tiba-tiba saja Arawinda telah menarik paksa lengannya. Pendekar wanita itu memelototi putranya yang hendak membantah dan langsung terdiam melihat tatapan galak ibunya.

Arya Dahana menyadari pasti ada apa-apa dengan sikap Ario Langit. Dan mereka tidak akan bisa menyelesaikannya selama masih bertempur melawan datuk-datuk iblis itu. Tubuh pendekar itu berkelebat ke arah arena pertarungan istrinya melawan Nyai Sembilang dan Dewi Lastri. Sebuah kilatan biru menyilaukan mata menghantam tanah di depan mereka yang mengakibatkan tanah berlubang besar dan memuncratkan api besar. Amurti Arundaya tingkat sempurna saja yang mampu berakibat sedahsyat itu.

Kedua orang itu menjadi jerih bukan main. Tanpa ba bi bu lagi Nyai Sembilang menyambar tangan Dewi Lastri dan tubuh keduanya berkelebat lenyap dalam sekejap. Hanya terdengar gema suara Dewi Lastri yang bergetar penuh dendam di udara.

"Aku akan kembali mencarimu Arya Dahana! Aku akan membuatmu merasakan penderitaan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya."

Gema suara itu terdengar begitu mengerikan karena seperti tak ada habisnya. Arya Dahana menghela nafas panjang. Dendam memang tak pernah berujung. Seperti juga rindu yang selalu datang sambung menyambung.

Ayu Kinasih melotot dengan mata yang seolah mengeluarkan api namun di sela-selanya mengalir sungai airmata ke arah Ario Langit yang hanya tertegun diam. Matamaha Mada melengkingkan kemarahan hebat dan menyambar tangan muridnya untuk diajak pergi dari tempat yang kacau balau akibat pertempuran hebat itu. Kembali terdengar gema suara yang jauh lebih mengerikan dibanding Dewi Lastri. Suara cekikian disertai tangisan panjang Ayu Kinasih yang makin lama makin melemah seiring dengan menghilangnya tubuh mereka berdua dari Lembah Mandalawangi.

Arya Dahana menoleh ke arah Arawinda dan tersenyum. Di sebelahnya Dewi Mulia Ratri membersihkan pakaiannya yang penuh debu akibat pertarungan hebat tadi.

"Arawinda, kami harus pergi. Istriku ingin sekali bertemu dengan Ratri Geni. Sudah lama anak itu tidak berkabar kepada ibunya. Kami tahu dia baru saja dari sini. Kami akan mengejarnya."

Arawinda mengangguk dan balas tersenyum. Namun tiba-tiba mengangkat tangannya.

"Tunggu, tunggu. Dewi Mulia Ratri, aku ingin jawabanmu mengenai Setengah Pertunangan antara anakku dengan anakmu. Sempurnakanlah menjadi pertunangan yang utuh karena itu syarat yang diminta oleh suamimu dulu."

Dewi Mulia Ratri terhenyak kaget. Ya ampuun, di situasi seperti ini? Pendekar ini lalu teringat sorot mata penuh permohonan dari Ratri Geni sebelum mereka berpisah di Sungai Serayu. Pendekar wanita yang masih nampak cantik jelita itu bergumam pelan sambil menggamit lengan Arya Dahana.

"Aku tidak bisa menggenapi Setengah Pertunangan itu menjadi utuh Arawinda. Sepertinya anakmu ini sedang menghadapi masalah besar. Selesaikanlah itu dulu baru kita bicara lagi."

Jawaban Dewi Mulia Ratri seketika membuat merah raut muka Arawinda. Mata pendekar wanita itu berkilat. Buru-buru Arya Dahana membungkukkan tubuh kepada Arawinda.

"Maaf, maaf. Maksud istriku adalah kita tunggu sampai kami bisa menemukan Ratri Geni baru istriku bisa memutuskan baiknya seperti apa, Arawinda. Lagipula benar kata istriku, Ario Langit harus menyelesaikan semua masalahnya terlebih dahulu, terutama dengan gadis yang marah-marah tadi, baru kemudian kita akan bicara lagi." Sekali lagi pendekar itu membungkukkan tubuhnya.

Arawinda menghela nafas pendek. Kepalanya mengangguk pelan. Seketika itu juga tubuh Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri berkelebat lenyap tak terlihat. Arawinda menoleh ke arah Ario Langit yang masih nampak linglung.

"Ayo kita pergi!"

Ario Langit menggelengkan kepalanya dengan lemah. Batinnya sedang terguncang hebat.

"Ibu, maafkan aku. Aku harus tinggal di sini karena sudah berjanji untuk menjadi jaminan atas kesepakatan Ratri Geni dengan Lawa Agung. Aku akan menjelaskannya nanti tapi aku harap Ibu pergi. Aku akan segera menyusulmu Ibu."

Arawinda menggeleng-gelengkan kepala. Merasa dunia semakin aneh. Tatapan matanya berhenti kepada Galuh Lalita yang sedang berusaha keras berdiri. Sudut mulutnya masih menetes darah segar. Gadis itu terluka cukup hebat.

"Lalu bagaimana denganmu anak gadis? Apakah kau juga menjadi jaminan atas sebuah kesepakatan?"

Galuh Lalita berbicara dengan nada gemetar.

"Saya akan tetap berada di sini pendekar putri. Saya akan menemani Ario Langit menjadi jaminan atas kesepakatan Ratri Geni."

Arawinda semakin tidak mengerti. Berulang-ulang menghela nafas panjang namun akhirnya memutar tubuhnya dan berkelebat pergi setelah memeluk Ario Langit dengan penuh kasih.

Tamat

Bersambung buku-3 Widhiwasa Akasa Bhumi