Bianka mengecek m-bankingnya dan mengerang. "Buset, baru gajian berapa hari udah tipis lagi aja ini duit." ia merebahkan kepala di kasur kosannya yang sempit. Bian baru saja mengirim uang gajian untuk ibunya dan keperluan adiknya kuliah dan SPP SMA si bungsu, juga beberapa cicilan seperti cicilan motor, ponsel adiknya, dan pinjaman bank. Sisanya ia simpan untuk keperluan bulanannya di Jakarta, yang ia tahu uangnya tidak akan bertahan lama. Bukan untuk foya-foya tapi uangnya pas-pasan untuk hidup di Jakarta, seringnya pinjem Hava, temannya di kerjaan.
Hari ini Bian pulang agak malam setelah lembur, ia bekerja di hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan dan kosannya terletak tak jauh dari tempat kerjanya. Hari ini hujan, untung saja Bian bawa payung. Setelah sampai kosan buru-buru ia mandi supaya badannya terasa segar, untungnya kamar mandinya berada di dalam kamar. Bian rela merogoh kocek beberapa ratus ribu demi fasilitas kamar dengan kamar mandi di dalam. Ia tidak masalah kamarnya tidak ada ada AC selama kamar mandinya di dalam.
Setelah mandi, ia bersantai dikasurnya sambil iseng memainkan ponsel. Tak berapa lama ia melihat notifikasi di ponsel.
Pak Djabar
Bi, besok ada pop up nih... lo yang handle ya
You
Buset... nggak bisa lebih dadakan lagi, pak?
Jam 8 malem nih
Pak Djabar
Complain sono sama PICnya *
You
Company apa instansi?
Pak Djabar
Company, PT. Jaya Agro Abadi
You
Hmmm... kek baru denger ni perusahaan
Pak Djabar
Gaetan baru anak sales, kelas berat katanya sih. Oke, gw serahin pop upnya ke lo ya
You
Ya
Bian mengerang, ia benci acara event dadakan begini. Ribet ngurusin tetek bengeknya sama orang finance, banquet, kitchen and so on. Ia segera mengetik pesan untuk temannya, Candra, anak finance untuk memberi tahu perihal pop up event ini. Anak finance harus tau nomor satu karena divisi ini paling susah di akhir jadi Bian lebih baik curi start dari sekarang. Setelah chat Candra, Bian tak lupa chat di grup event perihal acara perusahaan dadakan ini.
Tak berapa lama ponselnya berdering, dari Hava.
"Nyet, ngopi sini. Gue udah di warkop nih."
"Males ah... abis ujan."
"Gue bayarin."
"Oke, 5 menit ya"
"Giliran dibayarin aja cepet lu!" sungut Hava membuat Bian tertawa.
"Nolak rejeki itu haram hukumnya buat gue."
"Yaudah buru, males nih gue sendirian banyak yang pacaran soalnya."
"Iya, ini gue baru tutup pintu."
Bian dengan cepat melesat ke warung kopi ujung gang favorit Bian dan Hava. Kosan mereka hanya beda gang tapi perbedaannya signifikan. Kosan Hava termasuk kosan eksklusif dengan fasilitas garasi, laundry baju 5 stel perhari, wifi, rooftop, shower bath, sampai air panas. Berbeda dengan Bian yang luas kamar kosannya bisa dibilang sebelas dua belas sama tanah makam Tanah Kusir alias sempit sekali, fasilitas yang didapat termasuk standar cuma ditambah kamar mandi di dalam saja.
Tak sampai satu menit Bian sudah sampai di warung kopi dan langsung melihat Hava sedang asik melihat ponselnya. Di depan Hava sudah tersuguh 2 es kopi dan roti bakar ukuran jumbo.
"Serius amat melototinnya." canda Bian sambil menjawil dagu Hava, Hava sedikit tersentak tapi tidak terkejut dengan kedatangan Bian.
"Gue lagi liat insta story-nya Fariz, semalem dia ke South Bank ternyata sama mantan lo." Fariz adalah pacar Hava, mereka sudah bersama selama lima tahun.
"Lah? Fariz jadi ke Bandung? Sama Tama?"
"Iya, dia ngabarin gue sih tapi last minute."
"Oh pantes muka lo kusut banget seharian tadi."
"Ya gimana gue nggak ngamuk, Bi. Dia main iya iya aja diajak Gina ke Bandung, Fariz baru balik banget dari Kupang. Sepupunya emang rada-rada kalo udah hedon tuh."
"Cocoklah sama Tama." ujar Bian dengan datar, ia menyeruput es kopinya.
Hava melihat Bian dan meringis kikuk, sejujurnya Hava masih merasa sedikit bersalah pada Bian. Tama jadi pacaran sama Gina secara tidak langsung ada andil Hava yang dulu pernah mengenalkan Gina pada Bian dan Hava ketika acara ulang tahun Fariz.
"Muka lo kenapa deh? Santai aja kali... gue juga udah nggak ada rasa sama Tama. He's a player anyway, cepat atau lambat gue pasti diputusin juga sama dia."
"Ya gue gedeg aja sih sama Tama, kayak nggak ada cewek lain gitu lho... secara Gina kan juga deket sama kita dulu."
"Yaudah biarin aja, sekarang kan jadi tau Gina aslinya gimana."
"Makanya lo cepetan cari pengganti Tama biar dia mampus. Cari yang tajir melintir dan cakep, Bi! Trus lo pamer di insta, biar Tama skak mat."
"Gue aminin dulu deh... gue masih lemes sama lemburan dan event-event kampret ini. Udah nggak ada tenaga buat tebar pesona sekarang ini."
"Lo tebar pesona sama tamu event dong! Kan banyak banget yang potensial tuh... bulan-bulan ini kayaknya banyak company event yang tamunya eksekutif muda deh gue liat-liat."
"Ya tapi udah pada berisitri rata-rata. Sekalinya single, eh berondong. Ogah gue!" tolak Bianka cepat, wajahnya mengerut lucu.
"Elah kalo cuma lebih muda dua tiga tahun mah santai aja lagi... berondong kan service-nya uhuy..."
"Heh! Pikiran lo ya! Nggak ada Fariz liar juga lo"
"Hahahaha... kali-kali, Bi. Eh itu roti dimakan napa? Jangan dianggurin doang..."
Setelah itu mereka langsung menyerbu roti bakar dihadapan mereka sambil membahas topik yang lain.
**
Ale melepas kacamatanya setelah melihat dokumen yang dari kemarin menumpuk di ruang kerja rumahnya, ia menghela napas panjang. Tidak, ia tidak mengeluh. Hanya lelah. Ia melirik ponselnya yang tergeletak di meja dan melihat beberapa notifikasi dari kekasihnya, Joanne. Ale tersenyum dan langsung menyambar ponsel untuk menelpon Jo.
"Halo, Ganteng." sapa Jo dengan suara lembut khasnya, Ale merasakan hatinya selalu menghangat setiap kali Jo memberi kabar.
"Halo, Cantik. Akhirnya sampe juga di Jakarta."
"Akhirnya... thanks to you lho udah bantuin complain ke maskapainya. Kesel banget pas tau pesawatku delay tadi. By the way, kamu lagi dimana sekarang?"
"Di rumah Bandung, Cantik. Ini keluarga besar masih pada ngumpul di ruang tengah tapi aku harus ngecek dokumen dulu baru nelpon kamu."
"Oh... salam ya buat keluarga kamu. Mama masih pusing, Le?"
"Udah nggak, kok. Nanti malem Mama malah pengen ikut ke Jakarta, besok mau ketemuan sama temen-temen arisannya. Untung tempatnya sama kayak event aku jadi aku masih bisa mantau Mama sesekali."
"Oya? Acaranya dimana emangnya?"
"St. Regis. Kamu mau dateng?"
"I wish, tapi besok aku udah ada jadwal rekaman. Nggak bisa di reschedule." jawab Jo dengan nada murung.
"Nggak apa-apa, Cantik. Habis aku event aja aku samperin kamu ya di studio? Boleh?"
"Boleh banget dong! Aku-"
Percakapan mereka terputus ketika sepupu Ale, Putri, melongok dari pintu. "A, kata Uwak disuruh keluar. Teh Lula baru video call tuh..." Ale menoleh ke arah Putri dan mengangguk.
"Bilangin sebentar lagi Aa turun ya."
"Oke"
"Cantik, aku tutup telponnya ya. Aku dipanggil sama Mama soalnya Lula nelpon dari Province. I'll call you later."
"Iya, Ganteng. Salam buat Lula dan keluarga kamu ya. Muah!"
Ale menutup ponselnya dengan senyuman, setelah itu buru-buru ia bergabung dengan keluarganya di ruang tengah. Ale terkekeh melihat beberapa keluarganya berkumpul di depan televisi melihat wajah Lula dengan semringah. Putri, sebagai anak generasi Z, membantu memindahkan video call dari ponsel ke televisi supaya semua keluarga bisa melihat Lula.
"Neng, di sana ada salju nggak? Mana cik Bibik mau liat." seru Mama Putri dengan bersemangat. Lula tersenyum, wajahnya terlihat segar dan sehat.
"Ada salju, Bik. Tapi bukan sekarang. Sekarang masih November, nanti mungkin sekitaran Desember baru ada salju, kadang suka telat turunnya pas Januari. Nanti pas salju turun, Lula video call Bibik lagi ya. Mana si Aa? Katanya ada di rumah?" tanya Lula dengan heran.
"Ada, Teh. Aa Ale masih dikamar tadi tapi udah Putri panggil turun." ujar Putri yang sedang duduk di meja makan sambil mengunyah buah apel.
"Aa disini, Yayang! Gimana kerjaan kamu? Lancar?" Ale berjalan mendekat ke arah ponsel yang dekat dengan TV agar Lula bisa melihatnya.
"Alhamdulillah. Lancar, A. Lagi agak sepi bulan ini tapi nanti Desember udah banyak event lagi."
"Jaga kesehatan ya, Yang. Hujan terus-terusan kan dari kemaren? Nanti Papa jadi jenguk Yayang nggak?"
"Katanya jadi abis Papa ketemu sama Om Hardi di Chicago. Tadinya Yayang mau nyusul ke sana tapi kata Papa nggak usah, Papa mau liat Rhode Island kayak gimana." jawab Lula.
Sudah bukan rahasia lagi kalau Ale sangat menyayangi adik semata wayangnya, Lula Kinasih Mangkoediredja, bahkan panggilan kesayangan buat adiknya selalu membuat orang lain berfikir kalau Lula adalah kekasihnya.
"Oh... terus mau kamu kenalin sama-"
Ale langsung terdiam melihat Lula melotot. "Bos kamu"
"Hah? Bos? Oh... liat gimana nanti, A. kalo Papa nginep di hotel tempat Yayang kerja ya mungkin Yayang kenalin." Lula sedikit bingung awalnya tapi akhirnya berhasil mengikuti alur permainan Ale.
Ale tersenyum licik pada Lula, 'Jadi belum bilang sama Papa?'
Lula berdehem masih melihat Ale, 'Nanti aja atuh, A. Belum siap'
Tiba-tiba Mama berbicara dengan suara yang membuat Ale dan Lula sedikit terkejut, "Neng, bulan ini kamu menang arisan keluarga. Kamu mau ditransfer apa disimpen di Mama?"
"Simpen aja, Ma. Gaji disini cukup kok."
"Yakin kamu? Awas kamu kalo kurang makan."
"Kalo kurang biar Ale yang transfer, Ma. Uang Yayang simpen aja buat nanti dia gede."
"Heh! Emang Yayang masih kecil gitu? Yayang udah gede, udah punya kerja."
"Tetep aja kamu anak kecil. Ya kan, Ma? Bik? Kalo gede mah kayak Putri tuh udah bisa beliin Bibik tanah." ledek Ale dengan jail. Satu ruangan tertawa melihat tingkah kakak beradik Mangkoediredja itu.
Setelah hampir empat puluh lima menit mereka bervideo call, Lula menutup percakapan dan para keluarga pun pamit satu per satu. Kini hanya tinggal Bik Mina, adik Mama yang juga ibu Putri serta Mama dan Ale.
"Le, kamu udah beres-beres buat nanti ke Jakarta?" tanya Mama yang sedang duduk di sofa bersama Bik Mina.
Ale yang sedang mengunyah kue lapis di meja makan mengangguk, "Udah, Ma. Bawaan Ale nggak banyak. Ale udah siapin baju anget juga buat Mama. Mama kadang suka lupa kan."
"Ah di kereta mah nggak terlalu dingin." kilah Mama.
"Ya tetep aja atuh, apalagi nanti kita berangkatnya malem. Ale udah beli tiket yang luxury biar Mama bisa sambil tiduran."
"Terserah kamu, Le. Yang ngerti kamu soal begitu-begitu. Mama nggak paham, yang penting Mama tau duduk aja."
"Oh iya, tadi Ale telponan sama Jo. Tadinya Ale ngajak Jo buat nemenin Mama ke St. Regis besok, kan Ale ada acara di Ball Roomnya."
"Trus?" tanya Mama dengan nada waspada."
"Jo nggak bisa karena ada jadwal rekaman katanya."
Terdengar suara hembusan napas Mama, "Ya nggak apa-apa kalo Jo nggak bisa nemenin Mama. Biasa juga nggak bisa kan?"
Ale berjalan ke arah sofa dan duduk di single seat samping Mama, ia tahu apa yang Mama pikirkan. "Mama masih belum bisa nerima Joanne?"
Ale melihat raut wajah Mama sedikit kaku, Mama terdiam.
"Kalo Bibik jadi mama kamu mungkin Bibik juga kurang setuju, A. Maaf ini mah kalo Bibik kesannya ikut campur tapi setiap kali Bibik denger kalo Jo selalu nggak bisa ketemu Mama sama Papa kamu padahal Aa udah pacaran hampir empat tahun, Bibik jadi mikir keseriusan pacar Aa."
"Jo kan sibuk, Bik. Ale aja suka susah ketemu sama Jo."
"Ya sesibuk-sibuknya artis pasti ada liburnya atuh, A. masa nggak bisa luangin sedikit waktu buat ketemu kami. Katanya serius tapi sekalipun Jo nggak ada niat kenalan sama kami. Pas konser tunggal kemarin aja Jo nggak mau nemuin Mama" jawab Mama menahan kesal.
"Ma, kan Ale udah bilang Jo harus ketemu sama sponsornya dulu. Lagian udah malem banget kalo Mama maksain ketemu Jo habis ketemu sponsor."
"Ah alesan aja."
Ale menghembuskan napas pasrah, ia harus menghentikan percakapan ini. Usahanya membuat Mama menerima kekasihnya masih belum berhasil, ia akan mencoba lagi nanti. Sebaiknya ia mengalihkan perhatian Mama dan Bibiknya ke hal lain.
"Mama sama Bibik mau martabak nggak? Aa laper lagi nih. Put, kamu mau martabak manis nggak?"
"Mau beli dimana, A?" tanya Putri yang sedari tadi memilih diam di kursi santai sambil bermain ponsel.
"San Francisco mau?"
"Mau! Yang Red Velvet Cheese dong, A."
"Oke" jawab Ale sambil memesan martabak di ponselnya.
"Ih makan manis-manis melulu kamu, Put. Jaga badan dong, kemaren ngeluh gendut kamu teh!" omel Bik Mina sambil mendelik tajam ke arah anak gadisnya.
"Diet besok lagi aja, Ma."
Ale terkekeh, "Aa juga pesen martabak asin kok. Spesial buat ibu-ibu sosialita kita ini. Ya nggak, Put?"
"Tuh! Mama juga dibeliin martabak asin. Awas makannya jangan banyak-banyak yaaa... katanya bajunya udah pada nggak muat." goda Putri sambil terkikik membuat ibunya sebal.