1. Surabaya dan Australia

Surabaya, 2027

"Jadi, kamu benar-benar mau mundur dari rencana kita?" tanya Jay dengan lunglai.

Yasmine mengangguk. Air matanya sudah luruh sejak dia bicara dengan orangtua Jay.

"Kenapa?"

"Aku takut." Yasmine terisak. "Setelah keluarga kamu datang malam itu, sampai hari ini, aku tidak berhenti mimpi buruk tentang pesawat. Aku tidak bisa mengikutimu. Aku takut."

"Jadi, rasa takutmu lebih besar dari rasa cintamu?"

"Bukan begitu, Jay." Yasmine gusar dan semakin deras air matanya mengalir. "Kamu tahu pasti, aku mencintaimu sampai bisa ada di titik ini."

"Kalau begitu, lawan rasa takutmu. Dia hanya ada di kepalamu." Jay menggenggam tangan Yasmine.

Yasmine tidak menjawab. Isakannya semakin terdengar keras, tetapi dia barusaha menutupinya.

"Aku tidak akan mengajakmu pergi kalau kamu tidak mau. Kamu bisa menunggu di sini atau di mana pun kamu mau. Kalau itu membuatmu lebih senang."

Yasmine menghela napas. "Mungkin, aku sudah berkali-kali bilang sama kamu. Aku sangat ingin menjadi seperti kamu. Aku ingin melewati rasa takutku. Aku ingin mengitari dunia bersamamu. Tapi, setiap kali terbangun dari tidur dan mimpi gelap tentang pesawat dan orang asing yang berkerumun, aku pikir mungkin aku memang masih harus berada di sini."

Yasmine mengusap hidungnya.

"Bukan aku tidak mencintaimu, hanya saja… kamu tahu pasti bukan itu alasannya. Aku mencintaimu dan aku merasa pedih harus mengurungkan niat kita."

Jay memeluk Yasmine. Air matanya menetes tanpa suara. Dia merasakan Bunga-bunga yang baru dua minggu lalu berguguran di sekitarnya mengering dan berganti menjadi salju dingin membekukan tulang. Dia terlalu mencintai Yasmine untuk melepaskannya begitu saja. Pada wanita manapun yang ada di muka bumi, belum pernah ada yang membuatnya merasa seperti apa yang dirasakannya pada Yasmine.

"Aku mau bicara lagi dengan orangtuamu untuk meminta maaf."

"Kamu tidak salah apapun."

"Aku malu harus menjadi orang yang seperti ini. Tapi, aku benar-benar tidak bisa melawannya, Jay."

"Orangtuaku akan datang untuk bertemu dengan ibumu untuk meminta maaf tentang penundaan rencana kita."

Yasmine mengangkat kepalanya. Dilihatnya bekas air mata di pipi Jay. Diusapnya pelan.

"Maafkan aku."

Jay tersenyum. "Ini hanya masalah waktu. Aku merasa bahwa ini adalah jalur lain yang harus kita tempuh."

"Maksudmu?" Yasmine memandang Jay.

"Sekarang atau nanti, kita akan bersama lagi," ucap Jay. "Simpan cincinnya ya.."

***

Australia, 2027

Rose

Namaku Lady Rose Arlette dan aku adalah wanita paling merana di dunia ini. Umurku tiga puluh tahun, masih single tanpa ada suami. Wanita single berumur tiga puluh tahun saja mungkin masih bisa diterima, tapi Wanita single, tiga puluh tahun, masih perawan dan cinta mati pada seorang pria sejak kuliah, itu agak jarang, sayangnya Wanita itu adalah aku. Selama tiga puluh tahun, jumlah laki-laki yang berhubungan serius denganku bisa dihitung dengan jari, jumlah tawaran untuk menikah hanya satu kali, yaitu Ketika aku berumur 27 tahun, yang kemudian aku tolak. Bobby, satu-satunya laki-laki yang cukup nekat untuk mengajakku menikah setelah menjalin hubungan denganku selama dua tahun itu terpaksa mundur teratur setelah aku memberitahunya bahwa aku akan pulang ke Singapura dan tidak akan Kembali lagi Aussie.

Aku ingat kata-katanya Ketika ia mengantarkanku ke airport.

"Did you ever loved me?" tanyanya dengan nada yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Sejujurnya aku memang tidak pernah mencintainya, setidak-tidaknya bukan cinta yang dia inginkan dariku.

"Of course, I did… I mean I do," jawabku mencoba meyakinkannya tapi suaraku terdengar kosong bahkan untuk telingaku sendiri.

"Is there another guy?"

Aku menarik napas cukup panjang, menimbang-nimbang apakah aku akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kemudian aku memutuskan bahwa aku sudah menghancurkan hati laki-laki tidak bersalah ini, setidak-tidaknya yang bisa kulakukan untuknya adalah mengatakan yang sebenarnya.

"Yes," ucapku dengan nada bersalah. Aku mempersiapkan diri untuk pertanyaan selanjutnya yang memang sudah aku tunggu-tunggu.

"Kalau begitu kenapa kau menghabiskan dua tahun ini bersamaku kalau kau mencintai laki-laki lain?" Bobby bertanya dengan nada tinggi. Itulah saat pertama aku benar-benar melihat Bobby yang berperangai penyabar, penyayang dan tidak pernah berdebat denganku, marah besar.

Sahabatku, Jihan dan suaminya, Daniel, yang berdiri beberapa meter dariku untuk memberi kami privasi, melangkah mendekat. Tapi aku mengangkat tanganku, menandakan bahwa aku tidak apa-apa. Memang aku berhak mendapatkan makian. Sahabatku ragu beberapa detik, tapi kemudian Daniel menariknya menjauh dariku.

"Sejujurnya, aku tidak tahu. Aku hanya berpikir akhirnya aku akan melupakannya. Tapi ternyata tidak bisa," jelasku pada Bobby setelah aku yakin sahabatku tidak akan menghampiriku.

Berakhirnya hubunganku dengan Bobby membuatku sadar bahwa setelah lebih dari delapan tahun, aku masih mengharapkan seorang laki-laki yang tidak pernah menyukaiku.

Bobby hanya memandangku dengan tatapan bingung. Kupikir dia tidak akan bertanya apa-apa lagi. "Dia ada di Jakarta?" akhirnya dia bertanya.

Aku mengangguk, lalu menggeleng. Setelah beberapa detik aku mengangkat bahu. "Sebenarnya, aku tidak tahu dia ada di mana," jelasku akhirnya.

Bobby mengerutkan kening dan menatapku tajam di balik kacamata hitamnya. "Siapa namanya?"

Aku tersenyum sedih sebelum menjawab. Sudah lebih dari tiga tahun aku tidak pernah mengucapkan namanya di depan orang lain. Seorang laki-laki dari masa laluku yang mengganggu masa kiniku dan aku yakin akan ada di masa depan. "Jay," ucapku perlahan-lahan.

"Apa Jihan tahu soal dia?"

"Ya.. kami dulu satu kampus," ucapku lemah.

Aku tidak berani memandang Bobby. Aku menunduk malu. Kemudian tangan Bobby menyentuh pipi kananku. Tangannya yang selalu terasa hangat tapi tidak pernah bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat, membuat wajahku memerah karena malu hanya dengan tatapannya atau membuat lututku jadi lemas di pelukannya. Pada dasarnya hubunganku dengan Bobby lebih seperti teman baik. Dia selalu menjagaku, memastikan bahwa aku sudah makan, mendapat tidur yang cukup dan minum vitamin. Bobby bahkan tidak pernah memintaku untuk tidur dengannya, dia menghormati keinginanku untuk tetap menjadi virgin sampai hari pernikahanku.

Ketika aku berani mengangkat wajahku dan memandang Bobby, aku hanya bisa mengatakan, "I'm sorry."

Bobby tersenyum lemah dan memelukku. Aku tersenyum di pelukannya. Aku tersenyum karena aku tahu Bobby telah memaafkanku. Selain keluargaku, mungkin Bobby lah satu-satunya orang yang mau mencoba mengerti Tindakan-tindakanku yang tidak selalu masuk akal.

"Maukah kau ceritakan padaku apa yang nanti terjadi padanya?" tanyanya tanpa melepaskan pelukannya.

Aku melepaskan pelukannya, mengangkat tanganku untuk mengusap beberapa helai rambut pirang yang jatuh di keningnya dan mengangguk.

"I love you, Rose," ucap Bobby lembut.

"I love you too, Bob," balasku.

Dan dengan kata-kata itu kami berpisah.

To Be Continued