Surabaya, 2027
Yasmine
Minggu pertama kepergian Megan, hampir setiap malam dia menelponku. Tidak terlalu lama, tapi cukup sering. Minggu kedua, mulai berkurang, minggu ketiga sama sekali tidak ada telepon. Hanya dua pesan yang mengabarkan kalau dia sudah mulai tertimbun kesibukan kerja dengan tugas-tugas menulis yang luar biasa menyita waktunya, seolah-olah minta pemakluman kalau dia jarang menelpon.
Aku sendiri setiap kali ingin menelpon, selalu meminta izin dulu dengan mengirimkan pesan, karena aku tahu, Megan mungkin saja sedang bersama kekasihnya. Sayangnya, beberapa permintaan izin itu tidak bersambut balasan. Aku tidak mau memaksa menelpon tanpa izin Megan. Aku tidak mau merusak hubungan Megan dengan kekasihnya itu.
Setelah lewat satu bulan, sama sekali tidak ada telepon dari Megan. Semua e-mail hampir tidak berbalas. Ada rasa pedih yang melintas di hatiku. Aku tidak menyangka, hanya sependek ini hubunganku dengannya.
Dan di saat-saat seperti ini, selalu sebuah nama muncul. Hanya nama itu dan tidak pernah yang lain. Jay. Aku berharap Jay sudah Kembali ke Jakarta agar aku bisa berlari padanya. Aku segera mengirimkan email kepada Jay, tanpa harapan akan dibalas cepat. Mungkin dia bahkan baru akan membacanya dua tiga minggu lagi, saat suasana hatiku mungkin sudah sangat berubah. Namun, itu tidak menyurutkan niatku untuk mengarahkan cursorku ke tulisan sent..
Hi Jae,
It's been a century since the last time we met ya. Apa kabar? Kamu di belahan bumi mana sekarang? Masih di Norwey? Jangan bilang kalau kamu sudah sampai bulan ya! Kamu curang.
Hope you're ok, kirimkan aku foto-foto terbaru, kalau ada souvenir jangan lupa dikirim juga, kalau pulang ke Jakarta kabari aku, jadi kalau kamu tidak bisa ke Surabaya, aku yang akan ke sana. Kalau akhirnya kamu memutuskan untuk menikah, tanpa izinku, awas! Aku akan bawa pawang hujan untuk membatalkan pernikahanmu.
Yours,
Yasmine
Email itu baru berbalas seminggu kemudian.
Hi Mine,
I love you so much for sending me e-mail. Maaf telat balasnya, aku kemarin sedang di pedalaman papua, tidak ada internet. Kamu mau menyusul?
Kamu baik-baik saja kan? Karena aku tahu, biasanya kamu menulis e-mail buat aku kalau sedang ada yang tidak beres. Kenapa? Ada yang bisa aku bantu? Agustus sampai September aku pulang ke Jakarta. Gissele akan menikah as I told you earlier. Aku harus pulang.
Kalau nanti kamu bisa datang, aku akan sangat senang. This is an invitation. Be my date. Ibuku juga akan senang lihat kamu datang pastinya.
Aku sendiri kapan nikah? Itu tidak penting, aku mau menunggu kamu aja
Balas e-mail yang panjang ya, aku rindu dengan cerita-cerita kamu. Ceritakan tentang pacar-pacar versi terbaru kamu. I'd love to hear about them. Pasti tidak ada yang lebih canggih dari si Jay cinta matimu ini. Karena kalau ada, aku yakin saat ini pasti bukan hanya aku yang dapat e-mail seperti ini, tapi yang aku dapat juga pasti undangan pernikahanmu, hehe…
Sudah ya, jaga diri baik-baik, Mine
Hugs,
Jay
Aku tersenyum membaca e-mail dari Jay. Hanya Jay orang yang memanggilku dengan Mine. Jay tidak berubah sama sekali. Sang petualang yang tidak pernah merasa cukup berhenti di satu tempat. Sang petualang yang penuh kasih sayang. Petualang yang membuatku bisa selalu berlari padanya, tidak peduli betapa jauh jarak kami.
Jay. Orang yang selalu aku cintai dengan cara berbeda. Jay yang pernah memorak porandakan hatiku. Dan terus terasa sama sampai detik ini.
***
Jakarta, 2027
Aku mengunjungi keluarga Jay Ketika ibuku sedang mengunjungi beberapa koleganya di Seoul. Selama ini, ibuku memang menjalin hubungan baik dengan pengusaha-pengusaha event pernikahan di beberapa kota. Belakangan, dia mulai mengajakku untuk pertemuan-pertemuan dengan mereka. Tetapi kali ini aku dibiarkan pergi ke rumah Jay
"Wah, ada orang jauh ke sini," ucap Giselle. Adik Jay. Dia memelukku hangat. Hari ini orangtuanya sedang tidak ada di rumah ternyata.
"Tidak jauh juga, toh selama ini aku masih intens datang kesini," sahutku berkelit.
"Tapi, kalau ada abang Jay saja," goda Giselle.
Aku tersenyum. "Memang Jay kapan pulang?"
"Pertanyaan kakak itu hanya bisa dijawab sama abang Jay dan Tuhan." Giselle mengulum senyum. "Rindu ya?"
Aku tersenyum.
"Pacar kakak siapa sekarang?"
"Tidak ada."
Giselle tersenyum. "Hmm, lalu kenapa kakak tidak kembali lagi saja sama abang Jay? Kalian berdua adalah pasangan serasi. Lagian, sampai sekarang juga abang Jay juga tidak punya pacar. Cinta mati dia sama kakak. Barang-barang yang kakak kasih saja masih abang simpan di kamarnya," jelas Giselle.
Aku hanya membalas dengan senyum, sedikit penasaran.
"Coba saja kakak lihat sendiri di kamarnya." Giselle tersenyum jahil.
"Hmm, aku boleh ke kamar Jay?"
"Masuk saja. Aku buatkan minum dulu."
Giselle meninggalkanku sendiri di pintu kamar Jay.
Aku membuka kamar itu. Masih kamar yang sama. Di dinding kamar berwarna navy itu, bergelantungan foto-foto Jay di berbagai tempat, lengkap dengan tanggalnya. Hanya beberapa di antaranya yang ada aku di sebelahnya. Foto-foto itu adalah foto waktu kami masih sama-sama sekolah. Selain itu, hampir semua diambil Jay sendiri atau dengan teman-temannya. Aku memandangi mereka satu per satu. Ada perasaan yang bercampur aduk di dalam perutku. Kupu-kupu itu tidak pernah pergi ketika aku memikirkan Jay.
Di meja kayu dekat lemari baju Jay, ada beberapa fotonya, termasuk foto kami berdua Ketika sedang berada di Alun-Alun kota Surabaya. Aku mengambil pigura itu dan duduk di tempat tidur Jay. Dia memelukku dari belakang di dalam foto itu. Aku menelan ludah. Sudah dua tahun lebih kami bukan lagi sepasang kekasih. Tetapi, aku masih mengingat setiap pelukannya. Erat dan penuh kasih sayang. Seakan dia tidak ingin melepaskanku.
Aku terus menyusuri setiap sudut kamar itu, semua benda pemberiannya masih disimpan. Aku tersenyum. Aku ingat Jay pernah menggodaku, "Koleksi Yasmine-ku tidak bertambah, padahal museum Jay-mu, isinya terus bertambah banyak." Yang dimaksud Jay dengan Koleksi Yasmine adalah koleksi timbunan hadiah pemberianku. Sementara museum Jay adalah lemari berisi barang-barang souvenir dari perjalanan Jay. Aku mengambil pulpen dan kertas di meja kamar itu. Aku menuliskan sebuah pesan.
The room dan I miss you
Yours
"Kak Yasmine!" panggil Giselle dari kejauhan.
Aku segera keluar dari kamar menuju ke arah suara Giselle. Dia sedang bercakap-cakap dengan seseorang di telepon.
"Ada yang mau bicara!" diangsurkannya telepon itu kearahku.
Belum sempat aku bertanya, Giselle sudah berlalu lagi. Aku ditinggal dalam keadaan bingung.
"Halo," ucapku ragu-ragu pada gagang telepon.
"Hi, Mine. Kamu sedang apa di kamarku?"
Jay. Aku tidak bisa menutupi rasa bahagia ini. "Aku acak-acak. Btw, kamu ditelepon sama Giselle?"
"No. Aku yang telepon. Kenapa?"
"Nothing," jawabku menggantung. Dalam hati, aku masih belum percaya dengan semua ini.
"Masih tidak percaya, kalau sengatan listrik kita belum hilang sampai sekarang?" goda Jay.
"I missed you, Jay," ucapku pelan, tiba-tiba saja.
"Me too. Aku akan pulang sebentar lagi. Nanti aku kabarin kalau sudah sampai disana."
Aku mengiyakan. Selanjutnya, kami menceritakan apa yang terlewatkan selama berjauhan, termasuk ceritaku tentang kekesaalanku terhadap Megan yang ternyata sudah punya pacar baru.
Aku merasa bahwa Megan dengan sengaja tidak jujur padaku, dengan menutupi tentang pacarnya. Menurutku, selama ini, Megan seperti memberikan harapan kepadaku.
Aku juga bercerita bahwa sudah beberapa bulan ini sama sekali tidak berkontak dengan Megan.
"Mungkin, dia sedang sibuk di sana," kata Jay.
"Jelaslah. Sibuk sama pacarnya."
"Kamu cemburu?"
"Nope," sahutku cepat.
"Kamu kan punya aku," goda Jay.
Aku tersenyum. "Makanya, kamu jangan pergi-pergi terus.."
To Be Continued