15. Rose dan June

Bandung, 2027

Rose

Rasa resah dan gundah menghantuiku sepanjang hari, aku tidak bisa berkonsentrasi di rapat ataupun saat aku harus memberikan pelatihan mengenai problem solving. Tidak heran karena aku juga tidak bisa menyelesaikan konflik di dalam diriku ini. Kemudian ketika kembali ke kantorku setelah makan siang, aku salah melakukan beberapa analisis data hingga harus mengulang semuanya dan terpaksa tinggal di kantor hingga jam tujuh malam.

Addi yang melihatku masih ada di mejaku sambil makan biskuit yang kusimpan di laci, menyapaku,

"Ka, masih kerja?"

"Iya nih. Aku harus menyelesaikan laporan ini malam ini."

"Laporan apa?"

"Ini, evaluasi pekerjaan kita bulan lalu."

"Bukannya ini seharusnya pekerjaan Jihan?"

Aku memang tahu ini pekerjaan seorang asisten, bukan manajer personalia sepertiku. Tapi Jihan sedang kutugaskan untuk mengerjakan beberapa penilaian kinejra para pegawai di Divisi Keuangan.

"Iya sih, tapi dia sedang banyak pekerjaan lain," jawabku singkat.

"Well, oke. Santai saja, itu tidak perlu buru-buru."

"Tapi, laporan ini kan harus slesai sebelum tenggat besok."

"Memang, tapi terlambat sedikit tidak apa-apa."

Aku tidak berhenti mengetik ketika berbicara dengannya, dan alhasil, analisisku keluar dengan bentuk bagan yang agak aneh. Frustrasi, aku menggeram kesal.

Addi yang tidak pernah melihatku begitu ganas terlihat kaget. "Ka, kamu tidak apa-apa?"

Aku mengambil napas sedalam-dalamnya sebelum menjawab pertanyaan ini.

"Ya... Aku baik-baik saja. Hanya agak banyak pikiran belakangan ini." Aku melemparkan senyuman yang pasti tidak terlihat terlalu meyakinkan.

"Ya sudah, kalau itu ceritamu." Addi kemudian meninggalkan ruanganku setelah menatapku dengan gaya yang selalu dilakukannya untuk menandakan bahwa apabila aku perlu teman untuk bicara, ia akan siap mendengarkan. Andaikan June ada di kantor, mungkin aku bisa ngobrol-ngobrol dengannya untuk menghilangkan kegalauan hatiku, tapi aku tahu dia sudah pulang.

Tiba-tiba, panjang umur, June muncul di ruanganku.

"Rose, sedang apa, kenapa wajahmu kusut?" tanyanya dengan suaranya yang bariton.

Aku hampir loncat dari kursiku karena kaget. "June, kamu bikin kaget."

"Sorry, sorry," tambah June sambil melangkah masuk ke ruanganku dan duduk di sofa putih di sebelah kanan meja kerjaku.

Aku memutar kursiku untuk menghadapnya.

"Kamu bukannya tadi sudah pulang?" tanyaku.

"Belum. Tadi cuma antar Dania ke Mall, sekalian aku cari makan," jawabnya sambil menyandarkan tubuhnya yang kekar di sofaku.

"Dania yang anak baru itu?" tanyaku.

"Bingo." June sepertinya tidak peduli bahwa Dania adalah pegawai baru paling cantik di kantor.

"Hey, kamu sibuk hari Sabtu?" tanya June padaku tiba-tiba.

"Mmmhhh, ada rencana mau nonton."

"Mau nonton?!!! Kenapa tidak ajak aku?"

"Kamu kan punya pacar."

June memberikan tampang malas. "Pacar?"

Aku memandang June dengan tatapan tidak percaya.

"Itu.. itu…siapa sih namanya...? Itu pacarmu, kan?"

"Kamu seperti tidak kenal aku. Just date, beda."

Aku hanya menggeleng. "Memangnya kamu tidak ada rencana sama dia?"

June terdiam sebentar sebelum menjawab. "Nope."

Aku tahu benar kalau June sudah bertingkah laku seperti ini terhadap perempuan, maka perempuan itu pasti sudah membuatnya ilfil dan sebentar lagi hubungan mereka akan history atau mungkin sudah history. "Hah, tuh perempuanmu dumpt lagi?" Aku memutar bola mataku. "Kenapa lagi sama yang ini, kurang punya otak?" candaku.

June memang tergolong laki-laki langka yang menginginkan pacarnya pintar dan bisa diajak bicara dibandingkan sekadar cantik.

"Begitulah," jawab June dengan nada bercanda.

"Kamu juga, kenapa juga mau pergi dating sama dia kalau akhirnya kamu putusin juga?" omelku.

"Soalnya dia ajak aku keluar terus, akhirnya aku tidak bisa cari alasan untuk menolak lagi," jelasnya polos.

Aku tahu bahwa June tidak akan bertindak kasar atau kurang ajar dengan perempuan mana pun kecuali sangat terpaksa.

"Kamu tidak takut dia stalking lagi seperti siapa tuh pacarmu yang waktu itu?"

June mengerutkan kening dan memberikan tatapan siap perang padaku.

"Mona?" tanyanya.

"Oh iya, Mona. Heboh tuh dia, sampai menungguku pulang kerja karena mau tahu apa aku penyebab kalian putus."

Aku tertawa keras mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu itu. June ikut tertawa. Tanpa kurasa ternyata hatiku sudah terasa sedikit lebih lega.

"Ya sudah, besok-besok hati-hati kalau milih perempuan ya. Aku tidak mau sampai ibumu minta aku mecarikanmu perempuan baik-baik lagi."

Ketiga kalinya aku bertemu dengan ibunya June, beliau menanyakan apakah hubunganku dengan June serius. Ketika aku dan June hanya tertawa mendengar pertanyaan itu, beliau meminta agar aku mencarikan perempuan yang baik untuk anak laki-laki satu-satunya itu. Menurut beliau, selama ini perempuan yang dibawa pulang oleh June bentuknya tidak keruan. Ada yang masih pakai kawat gigi, ada yang pakai rok sampai kelihatan celana dalamnya karena terlalu pendek, ada yang hobinya mengibaskan rambutnya yang panjang sampai suatu kali masuk ke sup yang sedang dihidangkan oleh ibunya June, bahkan ada yang minta pulang sambil menangis tersedu-sedu karena digonggong anjingnya June, seekor bulldog yang sudah tergolong 'anjing lanjut usia' karena umurnya sudah dua belas tahun dan hampir buta.

"Siapa bilang aku tidak hati-hati?"

"Biasanya tindakan yang lebih berhati-hati datang dengan usia, dan kebanyakan memang perlu kedewasaan," ucapku. Sengaja dengan nada menggurui untuk mengganggu June.

"Siapa bilang aku tidak dewasa?" June mengambil umpanku dan langsung terlihat tersinggung.

"Soalnya, laki-laki yang sudah dewasa itu tidak akan beli mobil yang hanya punya dua pintu, kan susah kalau harus bawa bayi..."

June akan memotong omonganku, tapi tidak kupedulikan. "Tambahan lagi, laki-laki dewasa itu tidak akan tinggal di apartemen yang lebih kelihatan seperti rumah bordil. Laki-laki dewasa akan beli rumah. Puas?"

"Siapa bilang aku tidak bisa bawa bayi dengan mobilku yang sekarang? Kalau soal rumah, kamu sendiri bilang apartemenku kelihatan seksi. Kalau soal apartemenku yang seperti rumah bordil, kamu pasti bahas bedcoverku yang warna hitam. Itu dikasih sama Mona, dan aku belum ada waktu untuk beli yang baru," June mencoba membela diri.

"Kalau soal women, kan aku memang masih single, jadinya boleh kalau masih milih-milih. Aku juga bingung, untuk apa ibuku minta tolong kepadamu dan kakakku untuk carikan perempuan, aku kan bisa cari sendiri," tambahnya menutup argumentasinya.

Aku mengangkat kedua belah tanganku, mengalah. "Aku tidak peduli sama... kegiatanmu, asal jangan kamu bawa-bawa aku kalau nanti misalnya kamu kena karma karena aktivitasmu ini."

Sebelum June selesai dengan kalimatnya aku langsung memotong.

"Kenapa kamu tanya masalah hari Sabtu?"

June hanya tersenyum melihatku mengganti topik. "Tidak apa-apa, hanya mau ajak kamu jalan," balas June sambil menatap langit-langit ruang kerjaku dan tidak memperhatikan ekspresi wajahku yang sedang menggigit bibir wajahku tanda pusing.

"Oh... jadi stok perempuanmu sedang habis ya, makanya kembali ke aku?" ledekku.

Sesuai dengan perkiraanku, kata-kataku dapat menarik perhatiannya kembali ke bumi. Tepatnya kepadaku. Satu senyuman muncul di sudut bibirnya.

"Aku kangen sama kamu," June kemudian berkata. Wajahnya polos, tidak berdosa. Aku sudah cukup kebal dengan June sehingga kata-kata mesranya sudah hampir tidak memengaruhiku lagi.

Aku memandangi June beberapa saat sebelum menjawab. "Kamu itu, memangnya aku date for rent, apa?" balasku.

June hanya melemparkan senyuman. "Ya... aku ada tiket buat nonton Doomsday Open House, aku pikir daripada aku pergi sama orang lain, lebih baik pergi sama kamu. About this date for rent..."

Aku langsung memotong kalimatnya yang mulai tidak keruan. "Kenapa baru tanya sekarang, tadinya rencana mau pergi sama 'whatever-her-name-is', ya?" tanyaku dengan nada curiga.

"No."

Aku tahu betul bahwa June berbohong, dan aku memang sudah lama tidak pergi ke tempat konser musik Rock. Tapi hanya untuk membuat June merasa bersalah aku menambahkan,

"Aku pikir-pikir dulu ya."

"Rose, kamu tega sama aku? Ayolah... Sorry kalau baru tanya sekarang," June memohon kepadaku.

Aku memberikan senyuman iseng padanya sebelum menjawab. "Ya sudah, memangnya jam berapa acaranya?"

"Jam delapan. Nanti kamu, aku jemput jam empat ya... Jadi kita bisa dinner dulu, oke?"

Aku sudah tahu kebiasaan June, dia paling suka mengajakku makan, karena menurutnya seleraku sama dengannya dan ukuran perutku selalu mampu mengakomodasikan porsi yang besar, sehingga tidak ada yang terbuang. Tidak membuatnya rugi, katanya.

Aku mengangguk, menyetujui rencananya.

June sudah siap beranjak meninggalkan ruanganku ketika aku berkata, "Thanks June."

June kembali menghadapku. "For what?"

"Just thanks," balasku sambil tersenyum.

Tanpa disangka-sangka kemudian June menghampiriku dan mengecup keningku. "No problem." Lalu dengan satu senyuman dia melangkah keluar dari ruanganku.

Beberapa detik kemudian dia masuk lagi, "Hey, Rose, Ka Ocha minggu depan pulang dari Tokyo." June sedang bertolak pinggang, aku lihat dia menggunakan dasi yang kuberikan padanya tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Aku tersenyum pada diriku sendiri.

"Dia mau jalan katanya," tambahnya.

Hubungan June dengan keluarganya yang sangat dekat, membuatnya sebisa mungkin meluangkan waktu untuk berkumpul dengan mereka, terutama kakak perempuannya yang jarang bertemu. Oleh sebab itu, June sering mengajak Ka Ocha kalau dia sedang jalan denganku, membuatku juga dekat dengan kakak perempuan June itu.

"Memangnya dia libur?" tanyaku bingung.

"No. kamu sudah lama tidak jalan sama aku. Dia sudah lulus magister" jawab June santai.

"Oh, gitu?"

"Tadinya aku mau ajak dia ke konser ini..." June terdiam ketika melihat ekspresiku. Dia tahu bahwa dia sudah tertangkap basah.

"Jadi dia yang membatalkan rencana itu?" teriakku.

June terdiam sesaat sebelum menjawab, "Iya," dengan nada bersalah. "Dia bilang mau pulang minggu lalu, tapi ternyata ditunda sampai minggu depan, aku kesal karena tiketnya sudah di tanganku."

Sebetulnya aku berniat untuk membuat June memohon-mohon dulu padaku, mungkin dengan sedikit sogokan es krim, sebelum kemudian setuju untuk pergi dengannya. Tapi aku sadar bahwa hari sudah semakin malam dan aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku.

"So, jadi jam empat ya," June mencoba mengkonfirmasi lagi.

"Ya, Boss," aku menjawab sambil mengangkat tangan ke dahi, memberikan hormat. June pun tersenyum dan meninggalkan ruanganku.

To Be Continued