Terlahir Kembali

Tokyo, 2027

Ruang Operasi

Lebih dari enam jam sudah berlalu sejak operasi dimulai. Yuta dan Yudha berhati-hati akan posisi wajahnya, agar keringat yang tiada henti mengucur itu tidak menetes pada objek operasi.

Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi, harus tetap sadar. Yuta menggerakkan bola matanya, memandangi ruang operasi sambil menyemangati diri dan kawannya.

Yuta dan Yudha menatap wanita yang berbaring miring di depan matanya. Wanita itu terlelap karena diberi anestesi total. Yuta terus memandangi wajah tersebut dengan tajam.

Sempurna. Ekspresinya yang sedari tadi kaku, kini terlihat santai.

Mereka berhasil membuat 'seni' yang paling sempurna berkat kemampuan konsentrasi tingkat tinggi sampai akhir.

Mereka telah menyelesaikan bentuk pada bagian utama seperti kelopak mata, tulang hidung, bibir dan kontur wajah. Selanjutnya, Yudha hanya perlu menjahit luka dengan halus agar tidak meninggalkan bekas.

Sedikit lagi, sedikit lagi selesai.

Sambil menahan rasa mual yang akan membuat seluruh isi perutnya keluar, Yudha menggerakkan tangan kanannya yang memegang penjepit jarum bedah dalam diam. Jarum dengan benang yang sangat tipis itu menjahit kulit bagian dalam dengan gerakan mulus. Begitu benang yang tipis dan lentur itu dia tarik, luka tersebut menutup dengan pas seperti magnet yang saling menarik, menutupi lemak kuning dan serabut otot sewarna buah persik matang yang terlihat di bawahnya. Dicermati pun, luka pada kulit yang sudah disatukan itu akan sulit ditemukan.

Yudha memotong benang yang keluar dari kulit menggunakan gunting, lantas menjepit jarum baru dengan ujung penjepit jarum bedah.

Jika operasi ini berhasil, jika 'karya' ini bisa selesai sempurna, aku bisa terus berkuasa sebagai ahli bedah kecantikan paling hebat.

Yuta membuka mata merahnya lebar-lebar, terus berkonsentrasi melanjutkan gerakan kedua tangannya.

Selama dua minggu setelah operasi, Yasmine dan Rose akan dirawat. Disana mereka akan menerima perawatan pascabedah. Selama dua minggu itu, mereka tidak bisa berhubungan dengan dunia luar, mereka juga tidak diperbolehkan melihat wajahnya di cermin. Itu syarat dari dua dokter bedah mereka.

***

Dua Minggu Kemudian

Yasmine's Room

Didalamnya terpapar ruangan luas seperti sebuah kamar hotel terkenal, benar-benar kamar yang mewah. Seorang wanita sedang berbaring di tempat tidur yang diletakkan di sebelah jendela. Wajahnya dibalut kain perban, seperti manusia transparan yang muncul di film lama.

***

Lorong di depannya begitu panjang. Begitu gelap. Kegelapan yang pekat. Sampai-sampai dia tidak mampu melihat ujung jarinya sendiri.

Dia hanya merasa kakinya melangkah. Melangkah. Melangkah terus. Menelusuri Lorong panjang yang tak berujung.

Tidak ada suara apa-apa. Semua begitu sunyi. Sepi. Mati. Hening.

Dengan putus asa dia meraba-raba. Mencoba mencari jalan keluar. Lolos dari tempat yang menyeramkan ini.

Di manakah dia? Mengapa tidak ada orang di sini? Inikah… Lorong kematian? Pantas udara di sini begitu pengap! Suasananya begitu sepi!

Dicobanya mengucek-ucek matanya. Berharap tiba-tiba terjaga dari mimpi yang buruk…

Dia memekik sekuat-kuatnya ingin meminta tolong. Minta tolong kepada siapa saja yang mendengar jeritannya. Tetapi siapa yang mendengar?

Tak ada apa-apa di tempat ini kecuali kegelapan! Kesunyian! Kematian…?

Lalu tiba-tiba… tiba-tiba saja… di depan sana terlihat seberkas cahaya… makin lama makin terang…

Dia mempercepat langkahnya. Memburu ke arah terang yang menyongsong di depan sana… di sana pasti ada kehidupan!

Dan sinar yang menyilaukan menerpa matanya… begitu terangnya sampai dia merasa matanya sakit… dipejamkannya matanya rapat-rapat… sinar apa? Dari mana? Matahari? Lampu? Api? Api… neraka?

Lalu dia mendengar suara… suara apa? Suara manusia… atau… suara iblis?

Suara-suara itu makin dekat… makin dekat… mereka ada di sini!

Dia membuka matanya kembali. Ingin mencari asal suara itu. Dan sinar yang menyilaukan itu kemballi menyorot ke matanya…

"Dia sudah sadar."

Ada suara yang amat dekat di telinganya. Kedengarannya tidak begitu jelas. Tapi itu pasti suara manusia! Suara siapa? Mengapa dia tidak mengenali suara itu sama sekali?

Lalu sinar yang menyilaukan itu jatuh lagi di matanya. Sekarang dia dapat melihat lebih jelas. Bukan sinar di ujung Lorong. Bukan api yang berkobar-kobar… tapi sorot menyilaukan dari sebuah… sebuah apa? Lampu? Lampu… senter? Mengapa pikirannya begitu galau?

Dikedip-kedipkannya matanya dengan bingung. Dan sinar itu mendadak lenyap. Sebagai gantinya dia melihat wajah seorang manusia. Begitu dekat di hadapannya. Tapi walaupun dekat, wajah itu tampak kabur.

Dipejamkannya matanya kembali. Dicobanya memutar otak. Wajah siapa? Mengapa dia tidak dapat melihat dengan jelas? Tetapi kepalanya malah terasa pusing. Ada sakit yang menggigit, nyeri seperti bekas tertoreh pisau di kepalanya…

Dia ingin mengangkat tangan kanannya. Ingin memegang kepalanya. Mengapa sakit begini? Tetapi tangannya terasa lemas. Begitu lemasnya sampai dia tidak mampu menggerakkannya…

Seseorang memanggilnya. Suaranya dekat sekali. Tapi… siapa yang dipanggilnya?

Diangkatnya kembali pelupuk matanya. Sekarang wajah itu tampak lebih jelas. Wajah seseorang. Tapi seseorang yang tidak dikenalnya.

"Syukurlah anda sudah sadar!" sekarang suaranya terdengar lebih jernih. "Keluarga nyonya sudah khawatir sekali."

Apa katanya? Di mana dia sekarang? Apa yang terjadi? Siapa orang ini? Mengapa semua terasa begitu membingungkan?

"Nyonya berada di rumah sakit. Saya Dokter Yudha, dokter yang merawat anda."

Dokter. Rumah sakit. Semua itu seperti dengung.

***

Dokter Yudha mengawasi reaksi pasiennya dengan cermat. Melihat kosongnya tatapan Yasmine, dia segera mengisyaratkan Jay untuk mundur.

"Dokter, apa yang terjadi?" tanya Jay bingung.

"Dia menderita amnesia. Kehilangan ingatan secara total. Lupa jati dirinya. Lupa pada orang yang dikenalnya. Lupa apa yang terjadi."

Tapi mustahil dia dapat melupakan aku, bisik Jay pahit.

***

Dia, memekik sekuat-kuatnya. Kilatan cahaya yang menyilaukan itu lewat sekilas di depan matanya. Lalu semburat cairan merah mewarnai dunianya. Merah. Merah. Di mana-mana merah… darah!

Ada suara yang amat lembut berbisik di telinganya. Seperti hembusan angin sepoi-sepoi yang membelai kulit mukanya. Suara itu seperti datang dari dunia yang jauh. Amat jauh… dan lengannya terasa diguncang kuat.

Dia membuka matanya. Memandang seraut wajah ramah yang merunduk dekat… topi perawat berwarna putih bertengger di kepalanya… putih, seputih langit-langit di atas sana…

"Nyonya, Mimpi lagi?" sapa perawat itu sabar. "Sudah ada yang anda ingat sekarang?"

Dia mengedipkan matanya dengan resah. Menatap bingung perawat yang sedang menyeka peluh yang membasahi wajahnya.

Belum ada sepotong ingatan pun yang kembali ke dalam kepalanya. Semuanya terasa kacau. Kepalanya terasa kosong. Dan dia dijerat perasaan bingung yang tak mampu diuraikan.

Hanya mimpi buruk yang setiao malam menganggunya. Dan mimpi yang paling sering mengunjunginya adalah mimpi itu.. melihat kilatan cahaya yang lewat di depan matanya… dan semburat merah darah yang meronai pandangannya..

Lalu dia mendengar suara itu… suara yang seperti datang dari tempat yang amat jauh… suara yang sangat mengerikan… suara siapa? Di mana?

Suara yang mengingatkannya pada peristiwa yang mengerikan… peristiwa apa? Mengapa semua seperti lenyap dari ingatannya? Mengapa seperti ada kabut tebal yang menyelubungi area memori di otaknya? Kapan kabut itu akan tersibak? Dan jika kabut itu tersingkap, mampukan dia melihat peristiwa mengerikan yang terpapar di baliknya…?

***

Matanya yang tajam menjadi berkelopak ganda, pipi yang tirus berubah menjadi tembam dan lembut. Bibirnya pun lebih berisi daripada sebelumnya. Tulang hidungnya lebih tinggi dan terkesan lebih besar.

Perubahan-perubahan kecil yang dilakukan membuat kesan perubahannya sangat signifikan. Lady Rose, kini terlahir kembali menjadi Putri Yasmine, seorang ibu rumah tangga yang ramah.

To Be Continued