Pencarian

Bandung, 2027

Yasmine

Kuketik nama Rose di mesin pencari dan munculah banyak sekali informasi tentang Rose, ada salah satu web yang memunculkan foto Rose, wajah itu sekarang begitu mirip denganku. Bahkan terlihat sama. Aku membandingkan foto itu dengan diriku. Kulit berwarna putih, bibir tipis, hidung yang tergolong mancung dan bentuk mata yang khas. Terlihat sama dengan wajahku, bukan mirip.

"Lady Rose," gumamku. Jadi dia cukup dikenal di sini, seorang karyawan muda yang sukses. Berbanding terbalik denganku yang seorang guru biasa.

Sedari pagi hingga malam, aku sama sekali tidak meninggalkan kamar. Bukannya tidak boleh keluar kamar, hanya saja diri ini butuh waktu untuk mencerna semua ini. Sebenarnya Addi mengajak makam malam bersama di bawah, tapi kutolak dan berakhir dengan dia membawakan makanan ke kamar. Sementara itu Mama belum ke sini lagi sejak terakhir bertemu.

Lagipula kama ini terasa nyaman, luas dan rapi, ditambah indah. Ranjang yang luas, halus dan wangi. Kamar mandi yang sangat bersih. Skincare yang sangat lengkap dan terlihat mahal.

Aku belum cukup tahu untuk menyimpulkan segalanya. Mungkin untuk sementara waktu aku akan mengikuti saja apa yang sedang terjadi di sini. Menjadi Lady Rose, tidak ada opsi lain selain itu.

Meski begitu aku tetap berharap, besok ketika kelopak mat aini terbuka, aku sudah berada di Jakarta, di rumah suamiku. Tidak peduli seberapa buruk nasibku saat ini, aku tetap mencintai diriku sendiri dan tidak ingin menjadi orang lain. Aku adalah Yasmine bukan Rose.

Rasanya tubuh ini begitu lelah, mungkin tak pernah selelah ini. Sepertinya semua anggota tubuhku kompak mengamininya, aku menghitung sampai sepuluh dan tertidur.

***

Pagi-pagi mama membangunkanku, menyuruh mandi dan Bersiap-siap untuk sarapan bersama. Aku menurut saja, sudah kuputuskan untuk mengikuti alur cerita di sini.

"Setelah mandi langsung ke bawah, kita sama bersama Ayah dan Addi," ucapnya, terdengar ramah, namun asing.

"Iya, ma." Mama tersenyum, kemudian berlalu ke bawah.

***

Meja makan itu terlihat tradisional, namun ada sentuhan modern. Meja itu berbentu oval, ada ukiran kayu di sana. Tapi aku tidak mengerti itu ukiran apa, seperti abstrak.

Ada Mama, Addi dan satu lagi lelaki seumuran Mama, pasti itu Ayah, yang dimaksud Mama tadi. Dia terlihat ramah, tapi lebih banyak gurat ketegasan pada wajahnya. Aku berjalan dengan langkah ragu, Mama melihatku, ia tersenyum dan menyuruhku untuk tidak sungkan.

Hanya suara denting sendok dan piring yang beradu sebelum Addi akhirnya buka suara. "Kenapa sepertinya aneh sekali di sini, ayolah Ayah, Ma… kak Rose baru pulang kenapa biasa sekali?" Addi memandang kedua orangtuanya, memberikan mimic muka memohon.

Ayah berdehem, dengan suara berat dia menimpali, "Rose-ah, kamu sudah bisa bekerja besok?"

Aku memandang mama, tentu saja dengan tatapan bingung.

"Bekerja?" seru Addi.

"Rose masih kehilangan ingatannya, yah. Kita bisa memberi tahunya secara pelan-pelan," kata mama.

"Untuk apa kakak bekerja?" tanya Addi.

"Sudah, kita habiskan sarapan dulu, nanti mama kasih tahu," tukas mama.

Aku hanya bergeming, menyimak.