Kehilangan

Surabaya

Author POV

Julian gemas sekali. Pesannya yang entah sudah berapa puluh kali di kirim, satu pun tak ada yang dibalas Bunga. Yang lebih mengesalkan, tanda centangnya berwarna bitu, tanda pesan itu dibaca, tapi tidak dibalas. Apakah Bunga mencampakkannya setelah dia tahu aku makan siang dengan Flora?

Sementara itu, di rumah keluarga Bunga, ibunya mondar-mandir di ruang bebas keluarganya. Tidak jauh dari tempatnya mondar-mandir seorang wanita cantik tampak gelisah juga.

"Tante, sudah dua hari Bunga belum ada kabar" seru Suci, berbalut rasa gelisah dan khawatir yang mendalam.

"Suci, diamlah! Jangan membuatku sangat merasa bersalah, Julian sudah menghubungi pihak kepolisian tetapi belum ada kabar beritanya hingga sekarang," jawab ibu semakin tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

Kalimatnya, seolah menyudutkan Suci untuk diam. Tiba-tiba wanita itu beranjak dari ruang keluarga, tampak kesedihan yang mendalam saat tantenya membentak menyebut namanya dengan tegas. Seolah dia merasa tidak berguna.

Memang Suci adalah seorang wanita yang baperan, apa-apa selalu dimasukkan ke hati. Mungkin karena kondisinya yang mengkhawatirkan saudaranya.

"Sayang, maafkan, tante. Bukan maksudku menyinggung perasaanmu. Tante sedang benar-benar panik. Bantulah dengan doa saja, jangan membuatku semakin merasa bersalah atas hilangnya Bunga," bujuk ibu saat melihat keponakaannya itu tiba-tiba wajahnya berubah masam dan beringsut dari samping.

Suci meninggalkan tantenya di ruang itu sendiri, menuju kamarnya dengan segenap rasanya yang remuk redam. Diambilnya kertas yang biasa dia gunakan untuk membuat desain pakaian, lalu dia tumpahkan segala rasanya dalam coretan-coretan sketsa desain dress yang elegan.

Sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah yang luas itu, Ibu mengintip siapa yang datang dari balik tirai gorden ruang keluarga.

"Ma, aku mendapatkan kabar terkini dari Bunga. Dua kali dia shareloc di dua tempat yang berbeda. Tetapi ponselnya tidak aktif. Setiap kali shareloc beberapa detik kemudian mati lagi," jelas Julian.

Ibu buru-buru keluar, setelah mendengar penjelasan Julian. Kabar dari Julian bagai hujan yang datang saat musim kemarau tiba. Sejuk seketika seluruh raga ibu, meluluh lantahkan segala rasa bersalahnya kepada keponakannya.

"Ayo, Nak, masuk ke rumah dulu. Kita bicarakan di dalam." ajak ibu kepada Julian.

***

Flora berjuang keras untuk membebaskan dirinya. Tetapi usahanya tampaknya sia-sia belaka. Kedua pria bertubuh kekar itu memegangi tangan dan kakinya erat-erat. Dia dipaksa tertelentang di tanah. Di atas rumput basah yang membentang di bawah langit kelam di atas kepalanya.

Dia memekik sekuat-kuatnya. Tetapi pekikannya lenyap ditindihi gelak tawa kedua laki-laki itu.

"Menjeritlah semaumu, Manis," ejek pria yang memegangi lengannya sambil mendekatkan mulutnya ke wajah Flora. Bau alkohol yang menyenangat merasuk hidung Flora. Membangkitkan perasaan mual di perutnya. "Hanya setan yang mendengar jeritanmu. Kamu tahu kita berada di mana? Di sebuah kuburan tua yang angker!"

"Kalaupun ada yang mendengar jeritanmu, dikiranya hantu yang sedang melolong kesepian!" sambung bajingan yang memegangi kakinya. "Jadi berhentilah menjerit! Kamu hanya menghabiskan napasmu!"

"Biar saja dia menjerit-jerit, supaya Juna lebih terangsang!"

Juna. Nama itu tiba-tiba saja menyelusup ke benak Flora yang sedang kalut. Juna! Jadi, ini semua rencananya. Pertemuan kita hanya jebakan.

Dan lelaki itu muncul begitu saja di hadapannya. Membuyarkan kebingungan Flora.

Dia tegak berkacak pinggang di hadapannya dengan kaki terkangkang menantang. Suasana yang gelap membuat Flora tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Tetapi dia masih mengenali suara itu ...

"Kenapa? Kenapa Flora? Kenapa harus Julian yang kamu cintai?! Sampai kamu rela menukar wajahmu dengan istrinya.... kamu membuatku gila, Flora! Kamu merusak hidupku! Malam ini, kamu harus membayar lunas hutang-hutangmu!"

Juna menerkam Flora dengan ganas. Sia-sia Flora meronta. Menjerit. Dia hanya menjadi bulan-bulanan manusia-manusia yang telah dikuasi oleh iblis itu.

***

Keesokan Harinya

Bunga POV

Bayangan itu melintas begitu cepat di muka mobilku. Hitam. Tinggi. Dan sempoyongan.

Bunyi derit rem yang panjang menyakitkan telinga melengking membelah kesunyian malam. Mobilku terlonjak berhenti. Aku terdorong ke depan. Dan terenyak kembali ke sandaran bangku mobil.

Terlambat! Bersamaan dengan terdengarnya benturan keras di salah satu bagian mobil, bayangan itu terlontar ke tepi jalan.

Ya Tuhan! Bayangan itu pasti bukan kucing! Dia pasti seorang penyebrang jalan! Penyebrang gila yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilku ...

Kini orang itu pasti sudah terkapar mati di tepi jalan sana. Dalam satu malam saja, aku telah menjadi seorang pembunuh!

Aku masih tertegun bingung di dalam mobilnya. Tidak tahu, mesti turun menengok korban itu atau justru kabur secepat-cepatnya. Ke kantor polisi terdekat. Itu yang paling aman.

Daripada mesti turun seorang diri menghampiri sesosok mayat ... pada pukul dua belas malam!

Dan aku tidak jadi memejamkan matanya. Sesosok bayangan, entah dari neraka mana datangnya, tiba-tiba saja ia menghampiri mobilku.

Takut dan kaget, serentak aku menjerit. Refleks tanganku menyambar kunci mobil untuk menghidupkan mesin.

Tetapi sial! Mesinnya tidak mau hidup! Dan bayangan itu lebih cepat membuka pintu mobil. Menerobos masuk. Langsung duduk di sebelahku ...

Oh, dia pasti setan! Setan dari orang yang mati aku tubruk tadi ...

Sambil memekik sekali lagi. Aku mencoba meloloskan diri dari mobil. Lari. Kabur. Tetapi skeali lagi, setan itu lebih cepat.

"Diam di sini!" bentaknya sambil meraih tanganku.

Bunga tidak tahu apa semua setan bisa bicara. Tetapi setan yang satu ini suara seperti seorang yang aku kenal dan tangannya begitu hangat! Di mana ada setan yang tangannya begitu hangat?

"Jalankan mobilmu!" perintahnya sekali lagi.

Sekarang aku yakin, Dia Flora, yang masih menggunakan identitasku selama ini. Dia pasti belum jadi setan. Masih berwujud manusia. Kalau tidak, untuk apa dia naik mobil? Setan kan bisa terbang?

Dan dalam kegelapan, samar-samar aku dapat melihat wajahnya. Wajah paling kotor yang pernah aku lihat. Tetapi kotoran itu bukan hanya debu. Kotoran itu bercampur darah ... darah yang bercampur keringat!

"Cepat jalankan mobilmu!" perintahnya lagi.

Kali ini aku membaca ancaman dalam suaranya. Tetapi bukan hanya ancaman. Ada nada lain di dalam suaranya. Nada kesakitan ... Ya Tuhan! Dia kesakitan sekali!

"A... akan kubawa kamu ke rumah sakit ..." Aku menggagap bingung.

"Cepat jalankan mobilmu!" geram Flora menahan sakit.

"Ke mana?"

"Pokoknya jalan! Cepat!"

Aku menyentuh kunci mobilnya. Menggenggamnya erat-erat. Memutarnya untuk menghidupkan mesin. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ah, pasti mobil tua ini mogok lagi!

Tetapi pada putaran keempat, mesinnya hidup. Aku sampai lupa bernapas. Dan merasa amat sesak.

Ya Tuhan! Mudah-mudahan semua ini hanya mimpi. Mimpi seperti yang hampir setiap malam aku alami. Aku sering merasa sesak begini. Ketakutan. Membeku di tempat tidur. Lalu tiba-tiba terbangun di dalam kamar yang gelap gulita. Dan bersyukur semua itu hanya mimpi.

Tetapi kali ini sepertinya aku tidak bermimpi. Aku benar-benar berada didalam mobil pada pukul dua belas malam hari ... dengan seorang wanita yang mengaku sebagai diriku!

Sekarang pertanyaannya, kenapa dia menolak dibawa ke rumah sakit? Dia kan butuh pertolongan! Mukanya berlumuran darah. Pasti karena benturan dengan mobilku tadi!

Ah, sandainya aku tahu wanita ini masih hidup! Lebih baik aku tidak berhenti tadi. Lebih baik aku cepat-cepat kabur ke kantor polisi terdekat!

Aku merasa takut. Amat takut. Ingin menjerit. Memekik. Tetapi suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Yang terdengar hanya suara seperti orang tercekik.

Lalu aku tidak dapat menguasai kemudi lagi. Mobil itu meluncur ke tepi jalan. Menabrak batu-batu. Dan terlonjak berhenti di atas kaki lima.

"Kamu bodoh!" bentak Flora antara kaget dan marah. "Kamu mau membunuhku?!"

Tangannya sudah terulur untuk mencengkeram bahuku, tapi tiba-tiba tangan itu mengejang di udara. Matanya berpapasan dengan wajahku yang amat pucat. Dan entah kenapa, melihat wajahku yang membeku ketakutan, dia membatalkan niatnya.

"Kamu kenapa?" desisnya sambil menurunkan tangannya.

"Aku takut ..." rintihku tak sadar.

"Aku juga takut," gumam Flora pahit. "Sekarang jalankan mobilmu."

Suara yang meredam sakit. Untuk pertama kalinya akku berani menoleh. Dan mataku bertemu dengan matanya... sepasang mata yang tajam, tetapi menyimpan kelembutan di baliknya. Aku seperti berkaca setiap melihatnya, apa dia juga merasakan hal yang sama?

Perlahan-lahan ketenanganku pulih kembali. Flora pasti terluka parah. Dia membutuhkan pertolongan dokter.

"Kamu harus ke rumah sakit!"

"Jalankan saja mobilmu."

"Ke mana?"

"Jalan!"

Terpaksa aku menuruti perintahnya. Ketika mobil sudah meluncur kembali di aspal, sekali lagi aku bertanya.

"Ke mana?"

"Ke rumahmu."

Hampir terlepas kemudi mobil dari tanganku. Tetapi kali ini, Flora lebih cepat. Tangannya secepat kilat meraih kemudi mobil. Dan membelokkan mobil yang sudah hampir naik lagi ke atas trotoar itu kembali ke jalan raya.

"Terus!" geramnya gusar. "Jalankan mobilmu baik-baik. Jangan membuatku marah!"

"Tapi aku tidak bisa mengantarmu kesana."

"Aku tidak peduli!"

To Be Continued