Jakarta
Flora POV
Aku termenung di depan jendela kamar. Hp masih teronggok di pangkuanku. Tetapi sejak tadi, telepon itu membisu. Padahal aku begitu menantikan deringnya.
Kenapa Julian belum meneleponnya juga? Begitu sulitkah mencari telepon di Swiss? Ah, rasanya tidak mungkin.
Atau... Julian yang sulit mencari waktu luang untuk sekedar menelpon istrinya? Mustahil! Itu rasanya lebih tidak mungkin lagi
Aku tahu betapa Julian mencintai sosok Bunga.
***
"Kenapa Mas Julian tidak menelpon ya, Ma? Biasanya dia tidak pernah sehari saja tidak ngobrol denganku"
"Mama juga bingung, Bunga. Mama khawatir dia dapat kecalakan."
"Dan tidak ada orang yang mengabari kita? Rasanya tidak mungkin."
"Mama barusan cek penerbangan Jakarta-Zurich, semuaya oke-oke saja! Nama Julian tercantum dalam daftar penumpang yang turun di Zurich"
"Kalau begitu... ke mana dia?"
***
Swiss
Bunga POV
"Kerja di balik panggung teater? Di Zurich?" tanyaku dengan mata membulat.
Setelah menunggu kabar dari Juna, pemuda itu meneleponnya menyampaikan kabar baik.
"Ya Tuhan! Kerja di Opera House! Seriously? Aku boleh kerja di sana?" tanyaku lagi iantusias. Alisku terangkat, mataku membesar, bibirku tersenyum lebar.
"Aku ingatkan, ini bukan pekerjaan mudah, sebagai Flora kau harus memainkan peran ini sebaik mungkin" sahut Juna melalui telepon.
Aku mengangguk-angguk. "Nggak apa-apa, aku sudah biasa bekerja keras walaupun aku tidak punya pengalaman sebagai seorang stylish tapi aku akan belajar"
"Fisikmu harus kuat, dan jangan terlalu banyak bicara."
"Apa tugasku?"
"Kamu dengan temanku yang bekerja mengurus wardrobe pemain teater untuk pertunjukan selama dua minggu. Biar nanti dia jelaskan. Dia butuh tambahan orang, dan setelah kupaksa, mau juga mempekerjakan kamu
walau kamu nggak punya izin bekerja. Hanya tugas selama dua minggu. Apa ini cukup?"
Aku mengangguk-angguk, kemudian berhenti di anggukan keempat setelah menyadari Juna tidak bisa melihatnya.
"It's okay, dua minggu cukup sebagai permulaan. Setelahnya, aku bisa mencari pekerjaan lain yang cocok dengan denganku"
"Baiklah, kau bisa pergi sekitar pukul setengah enam di Opera House, okay?"
"Okay, Juna. Thank you so much. Yon are really my hero."
"I am not a bero. Aku hanya teman yang kebetulan bisa membantumu."
"Oh… ya. Dan kamu selalu membantuku."
"Kamu yang minta bantuan. Kalau suatu hari aku minta bantuanmu, apakah kamu juga mau membantuku?"
"Ah, apakah aku mampu membantumu, Juna? Aku nggak punya apa-apa di sini."
Terdengar Juna tergelak. "Sudahlah, Bye, Bunga. Aku harus kembali bekerja sekarang."
"Bye, see you later, Juna."
Seusai hubungan telepon terpurus, Aku melemparkan ponsel ke tempat tidur, lalu dia melonjak-lonjak senang persis anak kecil yang kegirangan saat berhasil menginjak genangan air. Aku berhenti setelah napasnya tersengal-sengal. Aku mengempaskan tubuh ke sofa, bibirku masih saja tersenyum lebar. Aku menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, mengembalikan napasku hingga kembali teratur.
Baru sekarang aku sadari, inilah hikmah tinggal sendiri. Aku jadi punya kesempatan untuk menjalani hidup yang berbeda. Aku akan bertemu orang baru.
Mendadak Aku membeku. Aku baru ingat, kemungkinan ada pekerja lain yang juga berasal di Indonesia. Bagaimana kalau nanti ada yang mengenaliku? dan manyadari perubahan sikap seorang Flora?
Segera aku menggeleng, membantah pikiranku sendiri. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi jika tidak mencobanya. Aku memilih berani mencoba dan menanggung risikonya. Tentunya aku berharap, pekerjaan ini nanti berjalan lancar.
Aku bergegas menuju lemari pakaian. Memilih pakaian yang layak untuk bertemu dengan orang yang akan memberikanku pekerjaan. Aku berencana akan berangkat pukul empat sore. Dia akan menunggu di Isetlwald.
Aku menempelkan kemeja polos warna biru ke tubuhnya, lalu becermin. Aku
menggeleng, lalu mengambil kemeja lain. Dia mencoba lima koleksi kemeja yang paling layak. Namun, akhirnya aku sadar, kemeja apa pun yang dipilihnya sama saja. Aku akan menutupinya dengan jas tebal. Di bulan ini walau belum musim dingin, tapi malam hari disana anginnya cukup dingin.
Setelah mendapatkan pakaian yang menurutnya paling pantas, dia membereskan pakaian lain. Rasa antusiasku meluap, tak sabar ingin segera berangkat. Aku tak akan terpejam sedikit pun agar tidak terlambat.
Setelah membereskan ruang Airbnb, memasak makan siang dan memakannya sendirian, aku bergegas bersiap. Pukul empat sore aku sudah keluar dari gedung flat, berjalan menuju stasiun. Dari sini lebih cepat dan murah naik kereta ke pusat kota Zurich.
Sesampai di Isetlwald, masih banyak waktu baginya untuk berkeliling dulu. Menjelang pukul lima sore, aku berjalan menyusuri menuju Opera House. Memang indah sekali. Kini aku semakin antusias karena akan bekerja di dalam gedung iru. Juna bilang, pekerjaan itu di belakang panggung teater. Tentunya itu di ruang Drama Teater.
Tampak tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat kerumunan orang-orang, seperti baru saja ada kecelakaan terjadi, salah satu terlihat mencoba menghubungi polisi dan rumah sakit terdekat.
Karena penasaran, aku memutuskan menghampiri kerumunan itu dan betapa terkejut aku melihat itu.
Julian? Sedang apa dia disini? Dan apa yang terjadi padanya.
Tubuhnya tak sadarkan diri menggenang di tengah Lake Brienz dengan kepala berlumuran darah.
Aku yang melihat peristiwa itu dengan jelas, menjerit histeris. Hampir saja aku melompat ke danau kalau orang-orang tidak keburu memegangiku.
Lalu para bantuan berdatangan membantu membawa Julian yang sudah tidak sadarkan diri ke sebuah sekoci yang terdekat ketika melihat tubuh Julian ditarik beramai-ramai ke dalam sekoci, Aku hampir kehabisan napas karena terlalu lama menahan napas. Aku merasa tegang dan cemas sekali.
Tanpa dapat dicegah lagi. Aku berusaha keras menghampiri tubuh Julian.
"Dia Suami saya." kataku kepada setiap orang yang berusaha mencegahku.
"Dan saya seorang perawat! Saya dapat memberinya pertolongan pertama sebelum bantuan datang!"
"Biarkan dia kemari!" seru salah seorang dari dalam sekoci Julian. Dia sedang menggigil kedinginan. Tapi dia masih dapat melihat usahaku untuk menolong Julian.
"Dia memang tunangannya! Dan tampaknya orang ini butuh pertolongan segera!"
Aku langsung menghambur mendekati tubuh Julian yang sudah diam tak bergerak lagi. Tubuhnya basah kuyup. Wajahnya pucat.. Kepalanya berlumuran darah. Aku berlutut di sampingnya sambil menangis.
Aku meraba nadi di leher Julian. Dan aku hampir bersorak ketika merasakan denyut nadinya.
"Dia masih hidup!" desahnya gemetar menahan perasaannya.
Air matanya langsung merebak. Ditatapnya mata yang sudah terpejam rapat itu. Dibayangkannya mata yang dikaguminya. Mata yang selalu tersenyum. Mata yang selalu bersorot tenang tapi menguasai.
"Bertahanlah, Mas Julian," bisiknya sambil menyeka pipi dan bibir laki-laki itu.
"Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!"
Tapi mata Julian tetap terpejam. Bibirnya juga tetap terkatup. Bibir yang selalu menyunggingkan senyum magis yang sangat memikat itu kini diam mernbiru.
Meskipun begitu, aku pantang menyerah. Aku mencoba melakukan resusitasi karena Julian sudah tidak bernapas lagi.
Berkat pertolongan pertama yang dilakukannya, Julian dapat bernapas kembali, meskipun napasnya dangkal dan tak teratur.
Tetapi dia tetap belum memperoleh kesadarannya, aku juga telah membalut kepalanya, mencoba menghentikan perdarahannya. Namun perdarahan di dalam kepala Julian tidak dapat diatasinya.
Darah yang semakin banyak berkumpul di dalam kepala itu menekan otak Julian sehingga dia kehilangan kesadarannya. Jika tidak segera dioperasi. dia pasti tidak tertolong lagi. '
Ketika sedang menolong Julian dengan sekuat tenaga tanpa memedulikan diriku sendiri, tibatiba saja aku sadar. aku lebih rela dia menjalani bersama Flora daripada melihatnya lemah tidak berdaya seperti ini.
Aku bahkan melupakan ketakutannya ketika harus memulai pekerjaan di Zurich. Aku tidak akan meninggalkan Julian barang sekejap pun.
Aku mendampingi terus ketika Julian dibawa ke rumah sakit umum di Zurich. Aku yang memberi keterangan. Aku yang memberi izin operasi karena aku mengaku sebagai Bunga Lastri Irawati. Istri Julian.
Hilangnya semua barang dan paspor Julian di Isetlwald memberikan kesempatan yang baik bagik. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa aku sebenarnya kecuali Juna.
"Lebih baik kamu cepat pulang ke Jakarta. Bunga." Telepon Juna kelika aku mengabarinya di rumah sakit. Saat itu fajar sudah menyingsing. Tapi aku masih menunggu Julian yang sedang dioperasi.
"Sebelum dia sadar. Nanti sore ada penerbangan ke Jakarta."
"Saya tetap di sini sampai Mas Julian siuman, Juna," sahutku tegas.
"Dia tidak punya siapasiapa di sini. Kalau ada apa-apa..."
"Kalau ada apa-apa pun. apa lagi yang dapat kamu lakukan? Semua orang sudah tahu bagaimana kamu berjuang menolongnya. Sekarang, tolong dirimu sendiri. Selamatkan dirimu mumpung masih sempat!" .
"Mereka percaya saya Istrinya, dan saya memang istrinya, Juna!. Dan mereka tidak menanyakan ID saya karena semua paspor Julian hilang. Mereka juga tidak akan mempersulit kita karena kita baru saja kena musibah."
"Aku tahu. Tapi sebaiknya kamu cepat pulang ke Jakarta sebelum rahasiamu terbongkar. Siapa tahu ada yang mengenalimu di sini sebagai Flora. Pulanglah. Sebelum Julian sadar dan dia melihat wajah istrinya berubah!"
"Maafkan saya. Juna," gumamku lirih. "Tapi saya tetap dengan tekad saya. Saya ingin mendampingi Mas Julian."
"Kamu memang kepala batu! Dia memang baik. Tapi tak ada lagi yang dapat kamu lakukan, Bunga! Flora telah merebutnya darimu. Lagi pula kata dokter, harapan hidupnya sangat tipis. Buat apa kamu mempertaruhkan kebebasamnu?"
Tetapi aku tetap dengan pendirianku. Aku tidak akan meninggalkan Julian. Ketika pekerjaan menjanjikan itu lepas dari tanganku, aku memilih tetap tinggal di rumah sakit.
To Be Continued