Flora POV
Aku masih menyumpah-nyumpah dalam hati. Aku bukan saja tidak berhasil membalas dendam pada Bunga. Aku juga tidak memperoleh simpati dari orangtua Julian.
Aku bahkan tidak dapat menemukan Julianku yang lama. Julian yang kukenal. Aku malah seperti menjadi istri orang lain. Orang asing yang tidak kukenal. Dan tidak mengenalku sama sekali!
"Julian lelah," sungut ibu Julian dengan suara datar, ketika aku mendesaknya terus mengapa dia akhirnya pergi ke Swiss.
"Dia perlu istirahat."
"Biar saya antar Mas Julian ke kamar," kataku menahan kekesalanku. Mengapa semua orang di rumah ini seperti memusuhiku? Aku kan tidak salah apa-apa! Bukan salahku dia tenggelam! Bukan salahku Julian jadi begini!
"Biar Ibunya saja," potong ayah Julian dingin.
"Kamu tidur saja. Sudah malam."
Tanpa menunggu jawabanku lagi, ibu Julian menghampiri anaknya. Dan mengajaknya ke kamar. Mematuhi perintah ibunya seperti kerbau dicocok hidung, Julian bangkit mengikutinya.
Yang membuatku tambah jengkel, Julian tidak menoleh sama sekali ke arahnya. Apalagi memberi salam.
"Selamat malam, Mas!" dengusku seakan mengingatkan aku masih di sini. Dan aku bukan patung.
"Tidur yang nyenyak. Besok kita bertemu lagi."
Tapi Julian tidak memedulikanku. Menoleh saja tidak. Membuatku tambah jengkel.
"Apa sebenarnya yang terjadi. Pa?" berungutku sambil berpaling pada ayah Julian.
"Mengapa dia jadi begitu?"
"Julian mengidap amnesia," sahut ayah Julian datar.
"Dia tidak kenal siapa pun."
"Mustahil dia melupakan saya!"
"Namanya saja dia tidak ingat!"
"Sampai kapan. Pa?"
"Siapa yang tahu? Sekarang lebih baik kamu tidur."
"Saya ingin tinggal di samping Julian untuk membantu Mama merawat Mas Julian."
"Tidak perlu." sahut ayah Julian dingin.
"Kalau kami butuh bantuanmu, nanti kami panggil."
Lama sesudah aku pergi dengan wajah cemberut menahan marah, ayah Julian masih termangu-mangu di ruang makan.
***
Author POV
Ayah Julian sendiri tidak mengerti mengapa dia dan istrinya tiba-tiba merasa begitu tidak menyukai Bunga . Wabita itu tidak salah apa-apa. Memang bukan salahnya Julian mendapat kecelakaan. Bukan salahnya pula Julian menjadi berubah begini.
Tetapi sejak pertama kali melihat Bunga. sejak melihat sikapnya pada wanita yang diusirnya itu, ayah Julian merasa tidak menyukai istri anaknya yang satu ini. Entah mengapa, walaupun wanita yang mengaku menjadi Bunga itu seorang penipu, ayah Julian lebih menyukainya.
Dia tampak lebih bersahaja. Lebih seadanya. Lebih tegar. Tanpa kekerasan hati dan kesetiaannya, Julian sudah tidak tertolong lagi.
Itukah juga yang menyebabkan ayah Julian tidak menyukai Bunga? Karena di bawah sadarnya, dia dan istrinya sebenarnya lebih menyukai wanita yang menyamar jadi Bunga itu? Mereka berutang budi padanya. Tapi merasa sakit hati karena ditipu. Perasaan ambivalen itu yang membuat mereka marah. Dan kemarahan itu mereka proyeksikan pada Bunga. Padahal wanita itu tidak bersalah!
***
Semakin hari sifat Julian semakin Jelek. Dia mencurigai setiap orang. termasuk istrinya dan orangtuanya sendiri. Pekerjaannya menjadi berantakan. Karena dia lebih banyak marah-marah daripada bekerja.
Sekretarisnya sudah dipecat bersama beberapa orang stafnya yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Ketika ayahnya menegurnya, dia malah mengusir orang tua itu.
"Mengapa tidak pulang saja ke negaramu, Pa?" sergahnya jengkel.
"Jangan ikut campur urusan saya! Yang Papa tahu cuma politik!"
"Kalau Papa tidak ikut ngomong, sebentar lagi kamu jadi gembel!" gerutu ayahnya marah.
"Karena yang kamu tahu sekarang cuma marah-marah dan memecat orang!"
Selagi mereka terlibat pertikaian sengit. ibu Julian muncul bersama Flora. Dan persoalan yang dibawanya lebih pelik lagi.
***
Flora POV
"Bunga tidak dapat menunggu lagi." cetus ibunya datar.
"Katanya dia mengandung anakmu."
Julian mengawasiku sedemikian rupa sampai yang ditatap bukan hanya marah tapi sekaligus terhina.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Mas Julian tidak percaya anak yang kukandung ini anakmu?"
"Siapa kamu sebenarnya?" tukas Julian dingin.
"Benarkah kamu istriku?"
"Siapa pikirmu yang mau mengaku-aku menjadi calon istri lelaki amnesia seperti Mas Julian?"
"Banyak," sahut Julian seenaknya. Nadanya sangat menyakitkan.
"Karena aku kaya. Kamu perempuan kedua yang mengaku istriku."
"Jangan samakan aku dengan penipu itu!" semburku setelah tidak dapat menahan amarah lagi.
"Jika aku tidak mengandung anakmu, Mas pikir aku masih sudi datang kemari?"
"Kamu dapat membuktikan anak dalam kandunganmu itu anakku?"
"Dia memang istrimu, Julian," sela ibunya datar.
"Sebelum kecelakaan itu terjadi. kalian sudah menikah."
"Bagaimana Mama tahu?" sambar Julian sinis.
"Mama malah tidak mengenalnya!"
"Mama yang menyuruh Flora untuk berpura-pura menjadi Bunga, demi kesembuhanmu ," sahut ibu Julian menahan kekesalannya.
"Itu bukan jaminan. Bukan bukti."
"Kalau begitu biar kugugurkan saja anakmu!" ancamku putus asa.
"Ketika Mas Julian menghilang, aku memang hampir melakukan aborsi."
"Kenapa sekarang harus minta izin lagi padaku?"
"Diam!" bentak ayah Julian tidak sabar lagi.
"Kalian berdua sama-sama sakit! Yang kalian bicarakan itu anak kalian! Darah daging kalian!"
"Papa tahu dari mana?"
"Dengar. Julian," ayahnya mengatupkan rahangnya sesaat menahan marah.
"Apa pun yang ingin kamu lakukan terhadap perusahaanmu, itu urusanmu! Kamu hancurkan sekalipun Papa tidak peduli lagi. Tapi jika kamu bunuh anak kalian, Papa tidak ingin mengakuimu lagi!"
Julian masih sering bermimpi terbenam dalam kubangan lumpur yang pekat. Terengah-engah menahan napas sambil memburu ke arah sinar matahari yang menerobos masuk dalam kegelapan yang pengap.
Julian masih sering terbangun tengah malam sambil berteriak-teriak,
"Jangan! Jangan ambil matahariku!"
Tetapi ingatannya tak kunjung kembali. Justru aku yang menyingkir ke kamar lain ketika bayi itu lahir. Dan aku enggan kembali lagi ke kamar tidur Julian.
Aku tidak mau terjaga malam-malam. Terkejut karena teriakan-teriakan suamiku.
Barangkali dia sudah gila, gerutuku dalam hati. Sebentar lagi harus dirawat di rumah sakit jiwa!
Satu-satunya hiburannya hanyalah putraku. Anak laki-lakinya yang sehat dan montok Bayi lucu itulah yang membuatku tidak menyesal menyamar sebagai Bunga.
Kadang-kadang aku merasa heran, pada suatu saat dulu aku malah hendak melenyapkan bayiku yang montok itu. Hanya karena sakit hati pada ayahnya.
Julian sendiri tidak begitu mengacuhkan anaknya. Kini dia lebih sibuk dengan pekerjaan barunya. Perusahaannya yang lama sudah dijual hanya beberapa saat sebelum krisis moneter melanda. Dan dia meraup untung besar dengan gonjangganjingnya rupiah terhadap dolar.
To Be Continued