Juan-Karina

Jakarta

Author POV

Mommy selalu terlihat anggun dalam situasi apa pun. Bahkan di saat-saat terburuknya ketika harus menjalani operasi transplantasi hati beberapa tahun lalu, aura keanggunan itu tidak lantas lenyap. Jadi, aku tidak heran saat menjumpai Mommy dalam kondisi rapi meskipun memakai seragam pasien. Rambutnya tidak berantakan seperti pasien pada umumnya.

"Mommy nggak apa-apa," kata Mommy setelah memelukku. "Dara seharusnya nggak perlu ngabarin kamu." Namun, ekspresinya tidak bisa berbohong. Mommy tampak senang melihatku.

"Aku nggak mungkin tenang di sana kalau tahu Mommy sakit. Daripada kepikiran, mending aku ke sini, Mom." Aku duduk di pinggir tempat tidur Mommy karena dia tidak langsung melepas tanganku. Genggamannya erat. Mommy terlihat jauh lebih sehat daripada yang aku bayangkan di sepanjang perjalanan. Obat dan cairan yang masuk ke dalam tubuhnya berhasil membuat kondisinya lebih baik.

"Mommy hanya kecapean. Akhir-akhir ini banyak acara di luar kota."

"Dara bilang Mommy makannya pilih-pilih."

Mommy berdecak "Mommy nggak pilih-pilih, kok. Mommy hanya mau dagingnya yang dibuat dari jamur, bukan gluten. Lebih sehat, kan?"

"Itu namanya pilih-pilih, Mom," sela Juan yang duduk di sofa. 'Daripada ribet dengan daging palsu, Mommy mending balik makan ayam lagi. Pantangnya sama daging merah saja. Atau ikan, deh. Itu sumber protein yang bagus karena rendah lemak, kan? Mommy yang sakit, aku dan Dara yang dikasih kuliah gizi sama dokter."

Mommy menatap Juan sebal. "Kamu sebaiknya nyusul Papa ke kantor. Mommy baik-baik saja sama Karina di sini."

"Nggak ada jadwal meeting hari ini, Mom. Aku sudah nyuruh supaya dijadwal ulang semua. Sebagai anak yang berbakti, aku mau nungguin Mommy di rumah sakit saja."

Mommy mengibas. "Mommy nggak perlu kamu tungguin di sini. Karina dan Dara bisa ngurus Mommy. Kamu beneran lebih baik ke kantor. Kerjaan kamu, kan, bukan cuma meeting. Ada hal lain yang harus diuıus di belakang meja."

Juan menatapku dan Mommy bergantian. "Kenapa aku mencium bau-bau konspirasi untuk disingkirkan, ya?" Namun, dia akhirnya berdiri juga.

"Hubungi aku kalau mau sesuatu"

"Karina nggak butuh apa-apa. Kalau mau sesuatu, ada Dara yang bisa nyarün." Tangan Mommy sekali lagi mengibas-ngibas, mengusir. "Sana pergi, jangan bikin Karina nyesel sudah datang ke Jakarta karena kecerewetan kamu."

"Kalau aku nggak cerewet, entar Mommy ngomelin siapa dong? Papa jelas nggak bisa diomelin. Dia, kan, mirip Karina yang ngomongnya kalau penting saja. Lagian, cerewetnya dimaafkan kalau ganteng kayak aku mah."

Aku nyaris memutar bola mata mendengar jawaban absurd itu.

"Kepala Mommy langsung pusing lagi begitu dengar omongan kamu." Mommy memegang kepalanya, pura-pura pusing.

Juan tertawa, lalu melirikku. "Aku ke kantor ya, Rin."

Aku hanya menatapnya, tidak menjawab.

"Heran, kelakuannya nggak pernah berubah padahal dia bukan anak-anak lagi," omel Mommy setelah Juan pergi. "Seharusnya dia tahu kamu nggak suka sikapnya yang selalu seenaknya kayak gitu."

Aku sudah terbiasa dengan sikap Juan yang seperti itu setelah kami pacaran. Pembawaannya yang santai malah membuatku ikut rileks. Kami berpisah bukan karena sifatnya, tetapi karena kata-katanya yang tajam membuatku merasa ditipu mentah-mentah. Tidak ada perempuan di dunia ini yang suka mendengar pacar yang dia cintai akan menikahinya karena terpaksa. Tanpa ada cinta sedikit pun. Apalagi karena kalau pernikahan itu dia harus meninggalkan perempuan lain yang dia cintai.

"Mommy mau makan buah?" Aku meraih keranjang buah di kabinet. Aku tidak ingin mengingat hal-hal yang membuat hatiku kembali berdenyut sakit.

***

Aku baru menutup telepon saat Mommy datang dan duduk di sisiku di ruang tengah. Dia sudah pulang dari rumah sakit kemarin.

"Menghubungi Lombok?" tanya Mommy.

Aku mengangguk. Memang agak sulit punya sifat perfeksionis dan jauh dari tempat kerja.

"Hanya mengingatkan apa yang harus dikerjakan, Mom."

"Mereka pasti sudah tahu. Santai saja, Rin. Kamu nggak ada di sana kayak gini malah bisa jadi ajang pembuktian diri mereka. Mereka akan menunjukkan bisa bekerja tanpa harus kamu awasi langsung. Percaya sama Mommy. Lagian, lusa kamu sudah balik ke sana lagi, kan?"

Aku sebenarnya ingin tinggal lebih lama, tetapi aku meninggalkan Lombok tanpa persiapan. Seandainya aku mengadakan pertemuan dengan para staf untuk memberikan pendelegasian tugas secara langsung, aku tidak akan merasa waswas seperti sekarang. Apalagi tiga hari mendatang para pegawai harus gajian. Bendahara tidak bisa mencairkan cek tanpa tanda tanganku.

"Nanti aku datang lagi, Mom."

"Atau Mommy yang akan mengunjungi kamu di sana."

"Biar aku saja yang ke sini." Lebih sulit mencari bahan makanan Mommy di Lombok daripada di Jakarta. Vegetarian ala Mommy jauh lebih repot daripada para vegetarian yang lain. Di Lombok kami punya sayur organik, tapi akan sulit menemukan daging tiruan yang dibuat dari jamur. Membuat daging tiruan dari gluten jauh lebih mudah daripada menggunakan jamur sebagai bahan utama. Aku tidak yakin koki restoran di Lombok sudah ahli membuat bahan makanan seperti itu.

"Lombok dari sini hanya dua jam kok." Itu jarak waktu yang dilalui di pesawat, belum menunggu di penerbangan di ruang tunggu, dan jarak dari bandara ke rumah ini. Namun, menyebut waktu sesingkat itu akan membuat Mommy tidak merasa aku mengorbankan banyak waktu untuk menjenguknya.

"Kalau begitu, kita bisa gantian. Mommy suka kok suasana di Lombok, meskipun dingin banget."

"Baru juga keluar dari rumah sakit sudah berpikir mau ke Lombok." Suara Papa membuatku mengangkat kepala. Dia ikut duduk di salah satu sofa kosong. "Biar Karina yang ke sini. Kewajiban anak itu mengunjungi orangtuanya, bukan sebaliknya."

"Karina sudah bilang begitu tadi." Mommy langsung membelaku. "Aku yang menawarkan diri ke Lombok."

Papa tidak menanggapi Mommy. Dia langsung menatapku. Kami belum sempat bicara banyak selama aku datang, karena Mommy masih berada di rumah sakit.

"Daripada mengurusi kebun yang nggak seberapa itu, kamu lebih baik pulang ke sini. Ada banyak hal yang bisa kamu kerjakan di kantor sini."

"Jangan mendesak Karina. Dia baru pulang gini sudah diajak bicara soal kerjaan." Mommy lagi-lagi menjawab mendahului aku.

"Aku nggak mendesak Karina, Mom. Aku hanya kasih dia pandangan sebagai orangtuanya. Dia mau dengar siapa lagi kalau bukan kita? Dia hanya menyia-nyiakan kemampuannya kalau hanya berkutat di kebun. Lagi pula, kita semua tinggal di sini. Mommy mau ketemu dia saja repot banget."

Aku hanya menunduk. Papa memang orang yang rasional. Semua keputusan yang dibuatnya adalah hasil pemikiran yang matang. Aku bersyukur dia tidak menyinggung kepergianku setelah berpisah dengan Juan. Keputusan yang menurutnya pasti berlebihan karena diambil berdasarkan emosi. Apalagi Papa mengenalku sebagai orang yang rasional seperti dirinya.

"Masalah kamu dengan Juan seharusnya nggak bikin kamu mengorbankan pekerjaan dan orangtua."

Ternyata aku salah saat mengira Papa tidak menyinggungnya.

"Kalian sudah berpisah, itu cukup, kan? "

"Jangan menyalahkan Karina untuk apa yang Juan laku- kan. Cara perempuan berpikir berbeda dengan laki-laki. Ini semua salahku. Kalau aku nggak minta Juan mendekati Karina, kekacauan kayak gini nggak akan terjadi."

Aku tidak tahu harus mengatakan apa, jadi membiarkan Mommy bicara mewakili aku.

"Tapi semua sudah terjadi, Mom. Kita nggak bisa kembali ke belakang. Kita hanya bisa memperbaikinya. Juan pasti sudah belajar dari kesalahannya. Terlepas dari apa Karina mau memaafkannya atau tidak, Karina nggak bisa meninggalkan kita semudah itu. Dia nggak boleh menimpakan kesalahan Juan kepada kita, terutama Mommy."

"Aku minta maaf," ucapku pelan. Aku memang berutang permohonan maaf kepada Papa dan Mommy.

"Orangtua selalu memaafkan anaknya tanpa perlu diminta, Karina," jawab Papa. "Jadi, kalau kembali ke Lombok, tunjuk orang yang bisa menjalankan usaha di sana, supaya kamu pulang dan kembali masuk kantor di sini."

Permintaan Papa sama sekali tidak terduga. Itu sebenarnya bukan permintaan, karena lebih terdengar seperti perintah. Aku tidak menyangka akan ditodong seperti itu. Aku hanya datang untuk menjenguk Mommy, bukan menjajaki kemungkinan untuk kembali tinggal di Jakarta.

"Kamu pikirkan saja dulu." Mommy menggenggam tanganku. "Kamu yang akan memutuskan mau tinggal di mana. Mommy nggak masalah, selama bisa menghubungi kamu."

"Di depan Karina memang nggak masalah. Di belakang Karina, Mommy mengeluh karena jauh banget," ucapan Papa langsung disambut wajah cembeıut Mommy.

Untunglah percakapan itu terputus karena ponsel Papa berdering, dan dia kemudian menuju ruang kerjanya. Untuk sementara, aku terbebas dari kewajiban menjawab perintah Papa.

Juan muncul tidak lama setelah Papa masuk. Dia duduk di sofa yang tadi ditempati Bapak Dari penampilannya yang terlihat rapi dan segar, dia pasti sudah mampir ke rumahnya sebelum ke sini. Aku tahu karena dia memakai kemeja bermotif. Biasanya dia memakai kemeja polos di balik jasnya.

"Mommy kira kamu nggak pulang ke sini," sambut Mommy.

"Pasti pulang, Mom. Tadi mampir mandi dan ganti baju di rumah."

"Mau makan sekarang?" tawar Mommy.

"Aku sama Karina makan di luar, Mom," jawab Juan.

Aku langsung menatapnya penuh waspada. Aku tidak ingat pernah bicara dan menyetujui ajakannya makan di luar. Licik sekali caranya mengajak di depan Mommy seperti ini.

"Karina... ?" Mommy menyipit melihatku.

Dia seperti bisa membaca keraguanku. Aku benar-benar terpojok. Menolak Juan akan membuat Mommy merasa aku masih mendendam. Namun, aku benar-benar tidak mau keluar bersama Juan.

"Mommy nggak percaya banget, sih, kalau Karina mau keluar bareng aku." Juan berdiri dan berjalan menuju tempatku duduk. "Yuk, Rin. Kita keluar sekarang saja. Di rumah ini, kan, ada jam malamnya. Kamu pasti ditelepon kalau telat pulang."

Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang. "Aku ganti baju dulu." Aku tidak punya pilihan.

"Nggak usah ganti. Itu sudah rapi kok." Cara Juan bicara menyiratkan seolah hubungan kami baik-baik saja. Tidak pernah bermasalah.

Aku tidak menanyakan tujuan kami saat masuk ke mobil Juan. Dia sepertinya tahu aku enggan bicara, jadi dia juga diam selama perjalanan.

Punggungku baru tegak saat mengenali jalur yang dilaluinya. Ini jalur yang sangat familier.

"Kita mau ke rumah kamu?" Aku tidak mau ke sana. "Katanya cuman mau makan malam di restoran, kan?"

"Dari rumah kita langsung ke restoran," jawab Juan dengan ketenangan yang menyebalkan. "Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu. Nggak lama kok"

"Aku nggak tertarik." Apa pun yang ingin ditunjukkannya sama sekali sudah tidak ada hubungannya denganku.

"Lihat saja dulu. Sudah telanjur ke sini juga, kan?"

"Ini nggak telanjur. Kamu sengaja mengajakku ke sini. Telanjur dan sengaja itu beda."

"Oh, ya? Seharusnya dulu aku serius pas belajar bahasa Indonesia di SMA, nggak cuma ngecengin guıunya saja."

Aku langsung mendelik. Benarkah laki-laki ini anak kandung Mommy dan Papa? Mungkin saja dia diadopsi karena sifat mereka sangat bertolak belakang. Kali ini aku memutuskan diam saja. Menjawab Juan hanya akan membuatnya mengeluarkan komentar sok lucu yang lain.

Dari luar, rumah Juan tidak berubah. Sama persis seperti saat kutinggalkan tiga tahun lalu. Pasti sudah dicat ulang, tetapi dia tidak mengubah warna catnya. Namun, agak sulit menilai terlalu banyak, karena meskipun lampu taman dan teras menyala, pencahayaannya tentu saja beda dengan matahari.

Rumah ini dibeli Juan sebelum kami pacaran, tetapi tidak dia tempati karena lebih suka tinggal di rumah keluarganya yang tidak jauh dari kantor. Proses renovasi dimulai setelah kami bertunangan.

Juan memang suka seenaknya saat bicara, tetapi dia sangat peduli pada detail, jadi pengerjaan bagian luar makan waktu cukup lama karena beberapa kali sempat dibongkar setelah dikerjakan, sebab hasilnya tidak sesuai keinginannya. Menurutku, idenya tentang taman, halaman samping, dan belakang rumah terlalu berlebihan, tetapi aku memilih tidak protes. Mungkin saja Juan memang berniat membuat rumahnya senyaman mungkin, sehingga betah tinggal di dalamnya. Lagi pula, dia sudah terbiasa punya halaman yang luar biasa di rumah orangtuanya. Jadi wajar kalau dia juga punya keinginan untuk membuat eksterior menurut versinya sendiri yang berbeda dengan Mommy.

"Masuk, Rin." Juan berbalik saat aku tidak langsung mengikutinya setelah dia membuka pintu. "Yang mau kutunjukin itu di samping. Bagusnya dilihat siang, sih, biar detailnya lebih kelihatan. Tapi karena kamu sempatnya sekarang, ya, apa boleh buat."

Aku mengekori langkah Juan masuk ke rumah, melintasi ruang depan, ruang tengah, ruang makan, menuju pintu yang menghubungkan rumah dan teras samping.

"Sudah jadi." Juan mendorong pintu kaca di sana.

Aku termangu menatap kolam renang dan taman yang dulunya tidak ada di situ. Aku meninggalkan rumah ini saat kolam itu sedang digali. Tamannya juga sementara dikerjakan, dan belum rimbun seperti sekarang.

"Kamu suka?" Juan menekan sakelar, sehingga lebih banyak lampu taman yang menyala. Seperti katanya, tempat ini pasti akan lebih jelas apabila dilihat pada siang hari.

"Bagus." Sebenarnya pendapatku tidak dibutuhkan. Aku sudah bukan penghuni rumah ini sejak dulu. Aku tidak tahu kenapa Juan memamerkannya kepadaku, padahal setahuku dia bukan tukang pamer. Waktu memang bisa mengubah banyak hal, termasuk kepribadian. Sama seperti aku yang sudah bertekad tidak akan tertipu oleh laki-laki mana pun.

"Jadi, kita bisa ke restoran sekarang?"

"Besok kita bisa balik ke sini supaya kamu bisa lihat lebih jelas." Juan seperti tidak puas dengan responsku. "Saung yang sebelah sana cocok buat santai-santai sambil membaca. Atau tiduran."

"Aku sudah lapar." Aku berbalik masuk ke rumah.

"Kamu nggak suka?" Juan menyusulku tanpa merapatkan pintu kaca yang tadi didorongnya.

Aku menghentikan langkah dan berbalik menatapnya. "Ini rumah kamu. Pendapat aku nggak penting."

"Kalau pendapat kamu nggak penting, ngapain aku tanya?" geıutunya. "Kayak orang kurang kerjaan saja."

"Kamu memang kayak orang kurang kerjaan ngajakin aku ke sini. Kalau tahu mau ke sini, aku nggak akan ikut kamu."

"Kamu pasti ikut karena aku ngajaknya di depan Mommy. Kamu akan melakukan semua hal yang bertentangan dengan nurani kamu sekalipun untuk membuat Mommy nyaman."

"Aku beneran lapar," ulangku. Aku kembali berjalan menuju pintu depan.

"Kita akan pergi setelah kamu lihat balkon di atas." Juan menarik pergelangan tanganku dan berjalan menuju tangga.

Kekanakan kalau kami bermain tarik-tarikan di sini, jadi aku hanya mendesah sebal dan mengikuti langkahnya.

"Kita beneran pergi setelah melihat balkon," tegasku.

"lya, Rin. Nggak percayaan banget sih?"

"Memangnya kamu bisa dipercaya?" Aku langsung menyesal setelah mengucapkan kalimat berbau sakit hati itu. Aku seperti kembali mengungkit masa lalu. Seharusnya aku lebih hati-hati supaya kemungkinan terbaca belum move on tidak terbuka lebar.

Juan tidak menjawab. Dia tetap memegang pergelangan tanganku, seolah takut aku akan melarikan diri sampai ke tempat yang ingin diperlihatkannya.

Ruang duduk di lantai atas juga tidak berubah. Yang berbeda hanyalah tirai yang sekarang dikuak Juan. Di balik tirai itu tampak dinding kaca yang lebar. Dulu, pintu kaca gesernya tidak sebesar itu.

Juan melepas tanganku setelah kami berada di balkon.

"Gimana?"

Dari situ, aku bisa melihat lampu-lampu di taman depan yang tadi tidak terlalu kuperhatikan saat baru tiba karena Juan parkir nyaris di depan teras, bukan di garasi. Ada satu set meja dan kursi yang bisa dipakai untuk duduk bersantai menikmati pemandangan di taman bawah, atau sekeliling kompleks.

"Bagus," sambutku pendek.

"Kok ekspresi kamu pas bilang bagusnya gitu sih? Kayak terpaksa banget." Seperti tadi, Juan tampak tidak puas dengan jawabanku.

"Karena aku memang diseret paksa datang ke sini. Sudah untung aku bilang bagus."

"Jadi sebenarnya nggak bagus, dan kamu nggak suka?"

Aku menarik napas panjang-panjang. "Aku nggak bilang begitu." Tempat ini bagus. Taman dan kolam di bawah tadi juga luar biasa. Aku tidak antusias karena semua ini bukan bagian dari diriku lagi.

"Kamu memang bilang gitu, Rin. Kamu bilang bagus hanya untuk sopan-santun saja."

Aku tidak akan terlibat perdebatan bodoh, jadi memutuskan masuk kembali.

"Aku sudah lihat balkonnya. Sekarang kita bisa ke restoran, kan?" Lagi pula, berada di tempat ini tidak sehat untuk kondisi jiwaku. Ada banyak kenangan yang tercipta meskipun aku hanya tinggal dalam hitungan bulan saja.

"Kamu nggak akan pernah memaafkan aku, kan, Rin?"

Aku menghentikan langkah. Nada suara Juan tidak terdengar seperti biasa. Tidak ada nada usil seperti yang selalu digunakannya saat bicara denganku selama aku di Jakarta beberapa hari ini.

"Kita sudah sepakat untuk nggak membahasnya lagi," jawabku tanpa menoleh. "Tapi aku beneran sudah maafin kamu."

"Sikapmu nggak akan banyak ini itu kalau sudah memaafkanku."

Aku menjaga jarak untuk melindungi hati sendiri. Perasaanku kepada Juan belum sepenuhnya hilang. Berdekatan bisa membuatnya menyadari hal itu. Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri.

"Aku nggak tahu kenapa kita harus terus membahas ini. Kita bisa pergi dari sini sekarang, kan?" Aku kembali melanjutkan langkah.

Langkahku belum mencapai tangga saat Juan memelukku dari belakang. Tubuhku membeku. Kakiku seperti dipaku menyatu dengan lantai.

"Semua yang kamu dengar itu beneran hanya ungkapan kekesalanku pada Mommy, Rin. Aku nggak melihat kamu seperti itu lagi setelah kita bersama. Maafkan aku. Tolong kasih aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita lagi," bisiknya terdengar tulus.

Namun, aku sudah pernah tertipu olehnya. Konyol sekali kalau aku melakukan kesalahan yang sama dua kali.

"Mommy ... Mommy akan khawatir kalau kita telat pulang. Kita harus pergi makan malam sekarang."Aku tidak suka terdengar gugup dan tidak yakin seperti itu.

"Kita bukan anak-anak lagi, Rin. Mommy tahu itu. Aku tadi hanya bercanda soal jam malam."

Juan merenggangkan pelukannya dan memutar tubuhku sehingga kami berdiri berhadapan. Dia menangkup kedua pipiku sehingga aku harus menengadah menatapnya.

"Aku nggak suka hidupku tanpa kamu. Aku mau kita kembali bersama seperti dulu lagi."

Aku spontan hendak menggeleng, tetapi kepalaku tidak bisa bergerak karena tangan Juan masih melekat di pipiku. "Tapi ki—" kata-kataku terputus saat Juan menunduk dan membungkamku dengan ciumannya.

Ini benar-benar cobaan. Caranya mencium melemahkan iman. Bahkan hatiku sekarang terbelah dua. Satu sisi menyuruhku memukul Juan untuk melepaskan diri, sedangkan sisi jahat yang tersenyum bengis memintaku menikmatinya.

Sial, aku tidak bertahan lebih lama menghadapi godaan si Sisi Jahat. Aku seperti melihatnya tertawa saat membuka mulut dan mulai membalas ciuman Juan. Kami berpagutan. Juan bergerak maju sehingga aku berjalan mundur menjauhi tangga.

"Kamar kita di sana," katanya saat melepaskan bibirnya sejenak.

Kamar kita, aku mengulang dalam hati. Kedengarannya bagus. Mungkin aku memang sudah gila.

To Be Continued